Biaya Pelatihan Rp1 Juta, Insentif Prakerja Dinilai Tidak Proporsional

VIVA – Sosiolog dari Universitas Indonesia, Rissalwan Habdy Lubis menilai, proporsi pembagian biaya yang digelontorkan pemerintah untuk program kartu prakerja sangat tidak tepat.

Khawatir Timbul Badai PHK, Ribuan Buruh Rokok Tolak Kenaikan Cukai SKT 2025

Menurut dia, dari besaran dana yang selama ini disebut-sebut pemerintah sebagai insentif bagi setiap pemegang kartu itu sebesar Rp3.55 juta, tidak semuanya dialokasikan kepada para pencari kerja yang ingin meningkatkan kemampuan atau skill-nya.

Dia merincikan, dari besaran Rp3,55 juta itu, pemerintah membayarkan biaya pelatihan kepada provider atau penyedia jasa pelatihan online sebesar Rp1 juta rupiah atau 28 persennya. Sedangkan, sisa dari insentif itu baru diberikan kepada penerima kartu.

AstraZeneca Tarik Vaksin COVID-19 di Seluruh Dunia, Ada Apa?

Rinciannya, insentif purna pelatihan sebesar Rp600.000 selama empat bulan dengan total Rp2,4 juta atau 68 persen. Lalu insentif survei sebesar Rp50 ribu dikali tiga kali survei dengan total Rp150 ribu atau empat persen.

"Seharusnya pemerintah bisa lebih bijak dalam membagi proporsi program ini dalam konteks kebutuhan bantuan sosial di saat wabah ini. Dalam kondisi normal, skema proporsi di atas tentunya bisa dikatakan sudah cukup ideal," kata dia kepada VIVA, Kamis 16 April 2020.

Tersandung Kasus Korupsi, Lima Smelter Timah di Babel PHK Ribuan Karyawan

Dia menilai, tidak tepatnya proporsi pembagian dana tersebut karena dalam kondisi di mana banyak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada usia produktif sebagai dampak wabah virus corona (Covid 19). Maka, proporsi biaya provider dan survei seharusnya dapat dialihkan terlebih dahulu untuk lebih fokus pada insentif bantuan sosial korban PHK.

"Pemerintah harus mempunyai keberanian untuk melenturkan kebijakannya agar dapat membantu dan menyelamatkan lebih banyak pemuda yang terkena PHK dan juga dampak melemahnya perekonomian dalam beberapa bulan ke depan," tegas dia yang juga merupakan Direktur Pusat Kajian Kepemudaan (Puskamuda).

Di sisi lain, dia menyadari, sebagai sebuah pemenuhan janji politik, peluncuran kartu itu sangatlah baik bagi publik yang menjadi sasaran dari program ini. Kelompok pemuda sejatinya adalah sasaran utama yang merupakan usia produktif siap kerja, tentunya inu dapat mendukung upaya pencapaian bonus demografi yang optimal beberapa waktu ke depan.

"Namun sayangnya, program ini tampaknya diluncurkan pada waktu yang kurang tepat karena wabah Covid-19 ini, masyarakat lebih membutuhkan bantuan sosial murni daripada bantuan sosial bersyarat pelatihan," paparnya.

Jika memang bantuan sosial pada usia produktif ini menjadi sasaran program, maka kata Rissalwan, tenaga kesehatan di dusun-dusun dan pedalaman yang melakukan sosialisasi dan bantuan darurat pertama berbagai masalah yang terkait dengan wabah Covid-19 lebih layak menjadi sasaran utamanya.

"Akan tetapi mungkin hal ini sulit terjadi karena platform digital yang dipilih, seolah-olah hanya menyasar kaum muda milenial di perkotaan saja," ungkap dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya