Din Syamsuddin: Kenaikan Iuran BPJS Kezaliman yang Nyata

Din Syamsuddin
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

VIVA – Penolakan terhadap kenaikan iuran BPJS Kesehatan terus bergulir. Kali ini dari cendekiawan muslim Din Syamsuddin. Mantan Ketum PP Muhammadiyah itu bahkan menilai kenaikan itu wujud sikap zalim pemimpin terhadap rakyatnya.

Kelas Rawat Inap Standar Bakal diterapkan 2025, Iuran BPJSnya Masih dalam Kajian

Dalam pesan singkatnya, Din mengatakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diputus melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 tahun 2020, adalah keputusan yang tidak bijak.

"Keputusan itu merupakan bentuk kezaliman yang nyata, dan lahir dari pemimpin yang tidak merasakan penderitaan rakyat," kata Din, Jumat 15 Mei 2020.

Aturan Baru BPJS Soal Layanan Kelas Rawat Inap Standar, Begini Tanggapan RS Siloam

Mantan Utusan Khusus Presiden Jokowi untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban itu menilai, dalam situasi di mana rakyat sedang susah akibat pandemi Covid-19, tidak seharusnya pemerintah menaikkan iuran. Ia mengimbau agar pemerintah tidak menambah kesusahan itu.

Mengingat perpres telah terbit, menurutnya tidak menjadi persoalan jika memang itu dicabut. Ia mendorong agar itu dibatalkan.

BPJS Tegaskan Tidak Ada Narasi Penghapusan Kelas di Pepres Nomor 59 Tahun 2024

"Kita menuntut pemerintah untuk menarik kembali keputusannya, karena kalau dipaksakan maka rakyat dapat melakukan pengabaian sosial (social disobedience)," kata Ketua Dewan Pertimbangan MUI itu.

Din juga menyoroti kondisi BPJS Kesehatan. Dalam kurun waktu ke belakang hingga kini, sudah ratusan miliar utang yang belum dibayarkan oleh badan itu ke banyak rumah sakit di Tanah Air.

Seperti yang ia sebut sebelumnya, bahkan ada triliunan utang BPJS Kesehatan kepada sejumlah rumah sakit di bawah naungan Persyarikatan Muhammadiyah. Jangan sampai, justru uang rakyat itu digunakan untuk kepentingan lain seperti proyek infrastruktur.

"Ke mana uang rakyat selama ini? Jika benar uang itu dipakai untuk proyek infrastruktur, maka itu dapat dinilai sebagai bentuk penghianatan terhadap rakyat," tegasnya.

Pada pasal 34 Perpres Nomor 64 tahun 2020 tersebut, mulanya disebutkan bahwa iuran BPJS Kesehatan yang ditetapkan sebesar Rp42 ribu sejak 1 Agustus 2019 bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI). Besaran itu disamakan untuk Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) maupun Bukan Pekerja (BP) di ruang perawatan kelas III.

Namun, sepanjang 2020 ini, iuran akan disokong oleh Pemerintah Pusat sebesar Rp16.500 per orang per bulan sedangkan sisanya yakni Rp25.500 akan dibayar oleh peserta atau pihak lain atas nama peserta.

Sementara itu, iuran bagian Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama peserta sebesar Rp25.500 per orang per bulan yang sebelumnya dibayarkan oleh Pemerintah Daerah akan dibayarkan oleh pemda.

Namun, mulai 2021, iuran mengalami perubahan skema, di mana iuran yang harus dibayarkan peserta sebesar Rp35 ribu sedangkan sisanya yakni Rp7 ribu dibayarkan pempus. Sedangkan untuk yang sebelumnya dibayarkan oleh daerah, Rp35 ribu bisa dibayarkan seluruhnya oleh pemda atau sebagiannya saja.

Bagi Peserta PBPU dan BP dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas II yaitu sebesar Rp100.000 per orang per bulan dibayar oleh peserta PBPU dan peserta BP atau pihak lain atas nama peserta. Sedangkan untuk manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I yaitu sebesar Rp150.000.
 

Direktur Utama BPJS Kesehatan Ghufron Mukti rilis buku terbaru

Kupas Tuntas Dinamika Perjalanan JKN, Dirut BPJS Kesehatan Rilis Buku Terbaru

Dirut BPJS Kesehatan meluncurkan dua buah buku. Yang pertama berjudul “Roso Telo Dadi Duren, Biyen Gelo Saiki Keren: Catatan 10 Tahun Perjalanan BPJS Kesehatan”.

img_title
VIVA.co.id
17 Mei 2024