PAN: Amandemen UUD 1945 Tak Boleh Berdasar Politik Sesaat

Anggota Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay.
Sumber :
  • Dok. DPR.

VIVA - Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional, Saleh Partaonan Daulay, turut merespons mengenai rencana amandemen UUD 1945 dengan menyertakan pokok-pokok haluan negara (PPHN). Menurut Saleh, amandemen UUD 1945 adalah pekerjaan tidak mudah.

Ketua MPR: Putusan MK Menjadi Akhir dari Berbagai Upaya Hukum Konstitusional

Dia menilai perubahan atas pasal-pasal yang terdapat di dalam konstitusi akan berimplikasi luas dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Karena itu, sebelum pintu amandemen dibuka, Saleh menyarankan sebaiknya seluruh kekuatan politik, civil society, akademisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan berbagai elemen lainnya dapat merumuskan agenda dan batasan amandemen tersebut.

"Konstitusi adalah milik seluruh rakyat. Perubahan terhadap konstitusi sebaiknya didasarkan atas aspirasi dan keinginan rakyat. Perubahan itu pun tidak boleh hanya demi tujuan politik sesaat," kata Saleh, kepada wartawan, Rabu, 18 Agustus 2021.

Ikut UU MD3, Airlangga Tegaskan Golkar Tak Incar Kursi Ketua DPR

Baca juga: Ketua Fraksi Golkar MPR: Amandemen Konstitusi Belum Mendesak

Agar agenda amandemen tersebut fokus dan terarah, kata Saleh, perlu dilakukan pemetaan terhadap pokok-pokok dan isu yang akan diubah. Sebelum dibuka, harus ada kesepakatan semua fraksi dan kelompok DPD di MPR terhadap peta perubahan yang diajukan.

Elite PDIP Percaya Golkar Tak Akan Nekat Revisi UU MD3

Dengan begitu, tidak ada kekhawatiran bahwa amandemen akan melebar kepada isu-isu lain di luar yang telah disepakati.

"Sekarang ini, amandemen UUD 1945 disebut sebagai amandemen terbatas. Apa yang membatasinya? Nah, itu tadi kesepakatan politik antar fraksi dan kelompok DPD yang ada di MPR. Agar lebih akomodatif, semua elemen di luar MPR juga perlu didengar dan dilibatkan," kata Saleh.

Wakil Ketua MKD DPR juga mengatakan, secara teknis, pelaksanaan amandemen juga tidak mudah. Dalam Pasal 37 UUD 1945 disebutkan bahwa pengajuan perubahan pasal-pasal baru dapat diagendakan apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.

"Untuk mengubah pasal-pasal, sidang harus dihadiri 2/3 dari jumlah anggota MPR, dan putusan untuk mengubah pasal-pasal hanya dapat dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% +1 dari seluruh anggota MPR," ujar Saleh.

Selain berbagai kepentingan politik yang mengelilinginya, persoalan teknis ini juga diyakini menjadi alasan mengapa amandemen sulit dilaksanakan. Padahal, MPR periode 2009-2014 isu amandemen ini sempat menguat atas usulan DPD, isu amandemen juga berlanjut pada periode 2014-2019.

Bahkan, isu-isu yang akan dibahas dan diangkat sudah dirumuskan. Namun, amandemen tersebut belum bisa dilaksanakan.

"Nah, bila hari ini amandemen UUD 1945 diagendakan lagi, maka kesulitan yang sama tetap akan ada. Ditambah lagi, Indonesia sedang fokus menghadapi pandemi. Tentu akan ada persoalanĀ  'kepatutan' jika melakukan amandemen di tengah situasi seperti ini. Kalau belum siap, sebaiknya ditahan dulu. Lakukan dulu kajian lebih komprehensif. Pengkajian itu sendiri dapat dianggap sebagai bagian dari proses amandemen," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya