Vaksin Nusantara Bisa Diterima oleh Penerima Vaksinasi Konvensional

Dahlan Iskan disuntik vaksin nusantara.
Sumber :
  • Instagram Dahlan Iskan.

VIVA – Tim vaksin Nusantara masih terus mengembangkan dan melakukan tahap-tahap pemutakhiran vaksin tersebut. Peneliti Utama Tim Vaksin Nusantara, dr Jonny Sp. PD, K.GH menjelaskan bahwa vaksin Nusantara juga boleh diterima seseorang yang sudah menjalani vaknisasi menggunakan vaksin konvensional.

Vaksin Nusantara Buatan Terawan Kembali Masuk Jurnal Internasional

Menurut dr Jonny, vaksin besutan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto itu tidak akan saling mengganggu indikasinya.

"Itu jauh lebih bagus karena vaksin yang diberikan oleh vaksin konvensional itu untuk menimbulkan imunitas antibodi. Tapi vaksin yang kita berikan (Vaksin Nusantara,red) untuk menimbulkan imunitas seluler," kata dr Jonny sebagaimana dirilis tim Vaksin Nusantara, Rabu 10 November 2021.

Vaksin Nusantara Terawan Bisa Sembuhkan Penyakit? Ini Kata Pakar IDI

Namun kata dia untuk mengecek antibodi tidak akan didapatkan di Vaksin Nusantara. 

"Karena dendritik vaksin ini merupakan imunitas seluler, tubuh kita ini punya imunitas. Ada yang disebut imunitas bawaan dan imunitas spesifik. Imunitas bawaan itu biasanya pada tubuh kita itu kebanyakan ada di sel darah putih, ada leukosit, neutrofil dan monosit," lanjutnya.

Ajaib Vanessa Bisa Berjalan Lagi Setelah Disuntik Vaksin Nusantara

Ahli tersebut melanjutkan bahwa pada waktu tubuh seseorang terinfeksi maka virus ini akan dikenali oleh tubuh kita dengan mengubah monosit menjadi sel dendritik. Sel dendritik diketahui perannya bukan mengeluarkan antibodi melainkan mengkomunikasikan bentuk kuman COVID-19. 

"Nanti sel dendritik ini setelah mempunyai memori terhadap COVID-19 dia akan ngasih tahu ke sel yang lain," katanya.

Lalu jika hal itu terjadi di dalam tubuh maka diperlukan waktu agar imunitas seluler seseorang mempunyai memori terhadap COVID-19 dan bisa melawannya. 

Disebutkan, perlu proses dan waktu kurang lebih 7 hari. Dalam 7 hari, apabila imunitas menang dan bagus maka tidak akan timbul gejala COVID-19. Namun jika imunitas seseorang itu kalah maka akan timbul gejala COVID.

Namun demikian kata dia menang atau kalahnya tergantung pada imunitas seseorang tersebut. Pun tergantung dari sel dalam tubuh tersebut. 

"Kalau virusnya masuk maka virus ini bisa menyerang untuk mempertahankan sel induknya. Dia menyerang sel imun kita termasuk menyerang dendritik dan sel T. Jadi sel dendritik bisa dikalahkan sama virusnya, bisa diserang balik virus kalau itu terjadi di dalam tubuh kita," tutur dr Jonny.

Untuk itulah vaksin Nusantara dibuat di luar pasien agar didapatkan sel dendritik yang berkualitas baik. 

"Yang dapat memberikan sinyal atau memori kepada sel T ini. Jadi kita itu bukan mempersiapkan amunisi tapi tentaranya. Kalau dicek antobodinya tidak ada, kecuali kalau sudah datang yang baru, masuk ke dalam tubuh dan melawan baru muncul. Tapi kita (vaksin Nusantara) tidak perlu waktu karena sel T sudah kenal. Sifatnya kita mempersiapkan tubuh menghadapi COVID-19," katanya lagi.

Uniknya menurut dia, sel pertahanan tubuh seseorang yang mendapatkan vaksin Nusantara akan berkembang berbeda dengan vaksin konvensional yang semakin lama akan menurun daya tahannya.

"Imunitas seluler ini bisa lebih panjang (bertahan,red) di dalam tubuh kita. Ini dibuktikan kita masih bisa mendeteksi Flu Spanyol yang terjadi 2012 lalu sampai sekarang masih ada imunitasnya. Jadi, kalau darahnya kita ambil, kemudian ditaruh di media dan kita ambil virus Flu Spanyol itu, maka imunitas seluler masih bisa menghambat pertumbuhan virus itu," kata dia.

Hal itu kata dr Jonny disebut dengan istilah Plaque Reduction Neutralization Test yang menunjukkan seberapa mampunya darah seseorang mengambat pertumbuhan virus. 

Di sisi lain, dr Jonny belum dapat mengungkapkan kapan perkiraan uji klinis Vaksin Nusantara tahap III diluncurkan. Hal itu kata dia, tergantung kebijakan pemerintah. 

"Sekarang kita terhambat karena ada MoU tiga pejabat yang menyatakan uji klinis itu harus dihentikan, yang boleh adalah penelitian berbasis pelayanan," ujarnya.

Namun demikian jika pelayanan yang dimaksudkan tersebut dilakukan kepada manusia maka dinilai alangkah lebih baiknya dilakukan uji klinis terlebih dahulu. 

"Kalau tidak diuji klinis, langsung kita layani ke publik mana bisa dan kalau kita mau jual ke luar akan nanya dulu mana uji klinisnya. Kalau hanya dibatasi di RSPAD saja saja tidak ada berkembang dan negara lain enggak akan bisa beli atau tidak akan mau beli. Berarti kita tidak menghasilkan devisa buat negara," kata dia.

Oleh karena itu pada fase III nanti pihaknya akan melibatkan sebanyak 1.600 relawan uji klinis. Dia mengatakan bahwa relawan yang mendaftar hingga saat ini sebenarnya sudah ratusan ribu. Sayangnya banyak yang mundur karena terlalu lama menunggu.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya