Apakah Boleh Orang Meninggal Tidak Wajar Tak Diautopsi, Ini Kata Dokter Djaja

Ahli forensik, dr Djaja Surya Atmadja
Sumber :
  • Tangkapan layar

Jakarta – Mendiang Mirna Salihin telah meninggal hampir delapan tahun lamanya. Akan tetapi, penyebab kematiannya yang disebut akibat minum kopi Vietnam yang mengandung zat kimia sianida masih jadi perdebatan publik. Ahli forensik yang pertama kali memeriksa jasad Mirna,

Polisi Tetapkan 3 Tersangka Baru Kasus Tewasnya Taruna STIP, Ini Perannya

Dokter Djaja Surya Atmadja juga sampai sekarang masih membantah kalau penyebab kematian itu bukan karena sianida. Lantaran tidak ada kandungan zat kimia tersebut di dalam jasad Mirna. Kemudian, Djaja mengungkapkan apa yang dilakukan terhadap jasad Mirna itu bukanlah autopsi.

Ahli forensik, dr Djaja Surya Atmadja

Photo :
  • Tangkapan layar
BTN Ajak Nasabah Tempuh Jalur Hukum Tuntaskan Kasus Dugaan Penipuan

dr Djadja mengatakan kalau jasad Mirna Salihin hanya diambil sample saja di lambung.  Namun pernyataan itu dibantah oleh Edi Darmawan Salihin.  Ia bersikeras kalau sang putri meninggal karena racun sianida yang dilakukan oleh Jessica Wongso.

Hal itu disampaikan Edi saat wawancara di Karni Ilyas, Jumat, 6 Oktober 2023 malam lalu.

Hakim Suhartoyo Kritik Ketua KPU soal Pemilihan Firma Hukum

"Kenapa tidak diotopsi?," tanya Karni Ilyas.

"Diotopsi," jawab Edi Darmawan.

"Sample aja," kata Karni Ilyas lagi.

Melihat dari kasus ini, banyak yang beragumen atas kematian mirna yang tak wajar dan kabr simpang siur perihal tindakan otopsi. Lalu apakah boleh orang yang meninggal tidak wajar, tapi tidak diotopsi? Ini Jawabannya;.

Dilansir dari hukumonline, Senin, 9 Oktober 2023, Instruksi Kapolri No. Pol: Ins/E/20/ IX/75 mengharuskan prosedur otopsi yang mesti ditaati dan dilaksanakan penuh oleh penyidik dengan bantuan ahli patologi forensik, tanpa terkecuali.

“seharusnya setiap perkara pembunuhan yang mengakibatkan kematian korban, mutlak dilakukan otopsi dari ahli kedokteran (patologi) forensik untuk menentukan penyebab kematian korban,” kata Pakar Pidana dari Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Romli Atmasasmita, saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional bertajuk “Otopsi Sebagai Penentu Kematian Seseorang yang Tidak Wajar” di Universitas Pelita Harapan Jakarta.

Ahli forensik dr Djaja Surya Atmadja sempat bersaksi di sidang Jessica Wongso

Photo :
  • netflix

Romli menegaskan meski secara umum telah diketahui penyebab kematian seseorang prosedur otopsi tetap perlu dilakukan. Hal ini sejalan dengan Pasal 134 ayat (1) KUHAP mengatur, “Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.”

Menurut Romli, keterangan ahli termasuk ahli hukum pidana, tidak bisa menentukan penyebab kematian, kecuali keterangan mengenai teori hukum pidana yang bersangkutan dengan ketentuan Pasal 340 KUHP. “Pihak yang paling berwenang menyatakan penyebab kematian seseorang adalah dokter forensik,” tegasnya.

Romli menyebut dalam perkara Jessica terdapat kerumitan dikarenakan bukti-bukti langsung atas peristiwa pidana tersebut tidak terungkap dengan jelas dan akurat. Yakni, keterangan saksi yang tidak relevan dan tidak berkesesuaian satu dengan yang lain, fakta penyidik tidak mengikuti prosedur tetap untuk melakukan otopsi sesuai dengan standar internasional dan instruksi Kapolri.

“Keterangan ahli forensik Australia yang berpengalaman memeriksa sebab kematian, menegaskan kewajiban mutlak otopsi telah diabaikan atau dkesampingkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili berkara tersebut,” ungkapnya.

Dia menilai Instruksi Kapolri tentang keharusan melakukan prosedur otopsi sekalipun bukan setingkat Undang-Undang (UU), tetap saja merupakan rule of procedure yang mesti ditaati dan dilaksanakan penuh oleh penyidik dengan bantuan ahli patologi forensik, tanpa terkecuali termasuk soal izin orang tua/keluarga korban. Bahkan, apabila ada pihak-pihak yang menghalangi proses otopsi dapat diancam pidana sesuai yang diatur Pasal 222 KUHP.

Begitupula seorang ahli di muka persidangan saat memberi keterangan berdasarkan keahliannya, seharusnya tidak menyimpulkan. Bahkan, memberikan kepastian atas keyakinannya bahwa terdakwa bersalah. “Ini suatu pernyataan yang tabu diucapkan seorang ahli baik di dalam maupun di luar persidangan,” kritiknya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya