Mengenal Khairil Anam, Penggerak Satgas Tunas Hijau Pertamina di Muara Enim

Khairil Anam, petani jeruk yang mengembangkan jamur Trichoderma.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Lis Yuliawati

Muara Enim – Botol-botol plastik berjajar di sebuah rak alumunium. Cairan berwarna cokelat tampak di dalamnya. Enceran itu bukan sekedar air, melainkan larutan yang mengandung jamur Trichoderma.

Masa RAFI 2024, Konsumsi Avtur Naik 10%

Adalah Khairil Anam yang mengembangkannya. Berawal ketika petani jeruk di Desa Air Talas, Kecamatan Rambang Niru, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan ini mengalami kerugian. Sebab, berbagai tanaman yang ditanamnya mulai dari jeruk, cabe, tomat gagal panen lantaran terkena hama CVPD.

Menghadapi itu, ia hampir menyerah. Namun di tengah kegelisahannya, ia mendapat informasi dari beberapa nara sumber, di antaranya dari Pertanian 32 Indralaya tentang jamur Trichoderma sebagai agen hayati. Khairil bersama rekan-rekannya lantas mencoba mengembangkan jamur itu. Mereka masing-masing membawa 10 gram nasi sebagai median untuk mengembangkan jamur tersebut.

2 Debt Collector yang Hendak Ambil Paksa Mobil Polisi di Palembang Jadi Tersangka

“Kita coba, kita pancing isolatnya, kita kembangkan, kita aplikasikan. Alhamdulillah tanaman itu sampai sekarang masih belum terkena penyakit,” ujar Khairil saat ditemui VIVA bersama tim CSR Pertamina dan sejumlah media lainnya, di Desa Air Talas, Selasa, 21 November 2023.

Khairil Anam, petani jeruk yang mengembangkan jamur Trichoderma.

Photo :
  • VIVA.co.id/ Lis Yuliawati
Mendag Zulhas Tegas Tolak Impor Bawang Merah di Tengah Lonjakan Harga

Pria kelahiran 1982 ini terus mengembangkan jamur tersebut, dengan penguatan dari tim Corporate Social Responsibility (CSR) Pertamina yang datang sejak 2018. Pertamina memberikan bantuan pelatihan hingga peralatan seperti lemari untuk menyimpan Trichoderma, drum-drum untuk wadah penampungan Trichoderma.

Saat ini, Khairil bersama para petani lainnya sedang memproduksi Trichoderma dalam skala besar. Hasilnya dijual kepada para petani. Untuk lima liter pertama, petani dikenakan biaya Rp150 ribu. Dengan membeli pada pemakaian pertama, menunjukkan ada keseriusan petani untuk mengaplikasikan Trichoderma. Kemudian untuk lima liter kedua dan ketiga akan diberikan secara gratis.

Pemberian secara gratis itu, kata Khairil, dilakukan lantaran ia ingin agar lahan tanaman, khususnya jeruk siam, di Desa Air Talas tidak beralih fungsi. Saat ini, dari 150 hektar lahan jeruk sudah hampir 60 hektar beralih fungsi menjadi kebun sawit.   

Khairil memperkirakan, beralihnya lahan jeruk menjadi sawit lantaran petani jenuh. Sebab, saat siklus pertama hasilnya bagus tapi ketika umur 5 tahun tanaman tersebut sudah mulai ada kerusakan. Kemudian petani sulam tanam  baru lagi tapi satu tahun kemudian kuning kembali dan tidak berkembang sehingga petani jenuh lalu memilih menanam sawit.

Menurut pria asal Bali ini, tanaman rusak itu salah satunya lantaran penggunaan pupuk nonorganik yang tinggi. Kebanyakan petani ingin yang lebih simple dan menganggap penggunaan pupuk organik ribet. “Padahal sebenarnya (penggunaan pupuk organik) enggak (ribet),” katanya.  

Pelan-pelan, Khairil mulai mengajak para petani lainnya untuk menggunakan pupuk organik jamur Trichoderma itu. Sebab banyak manfaat dari Trichoderma tersebut, di antaranya sebagai agen hayati, biofertilizer, decomposer untuk meningkatkan kesuburan tanah. “Masalah hasil kita juga enggak kalah dengan anorganik dan cenderung tanaman kita lebih sehat,” ujarnya.

Pusat studi Trichoderma yang dibangun Pertamina di Desa Air Talas, Muara Enim.

Photo :
  • VIVA.co.id/ Lis Yuliawati

Pembuatan Trichoderma pun relatif tak sulit. Khairil mencontohkan, nasi sekitar 50 gram dimasukan dalam wadah yang bersih. Kemudian gali di plakaran bambu sekitar 10 cm. “Udah kita pancing ditanamnya dalam tanah, atasnya itu kita pakai kardus karena enggak ditimbun tanah lagi, lalu pakai daun keringnya ditutup,” ujarnya.

Delapan hari kemudian, ketika berbagai cendawan mulai kelihatan, diambil hanya jamur Trichodermanya saja yang berwarna biru pekat. Kemudian dibawa pulang dan dipancing kembali dalam 100 gram nasi dalam wadah selama 4-5 hari. Hingga muncul jamur Trichoderma murni. Selanjutnya dijadikan pupuk dalam bentuk padat dan cair.

Saat ini, Khairil dan rekan-rekannya mengembangkan jamur itu di pusat studi Trichoderma yang dibangun Pertamina. Tak hanya itu. Untuk penanggulangan hama di Desa Air Talas, para petani dan Pertamina juga telah membentuk satuan tugas (Satgas) bernama Tunas Hijau.

Terdapat 51 orang anggota satgas.  Anggota satgas dan para petani lainnya mengadakan pertemuan satu bulan sekali untuk pelatihan maupun membahas berbagai persoalan pertanian.

Khairil didapuk sebagai ketua satgas yang dibentuk sejak 2023 itu. Sebagai ketua, tugas Khairil antara lain meninjau lahan-lahan yang telah menggunakan Trichoderma. “Pengawalan tinjau yang sudah aplikasikan Trichoderma,” ujarnya.

Pengembangan Trichoderma ini merupakan program Budidaya Jeruk Siam (Bu Jusi). Program ini menjadi bagian dari program Agribisnis Penggerak Desa Wisata Air Talas (Anggrek Dewata) yang diinisiasi PT Pertamina EP Limau Field. 

Khairil Anam, petani jeruk dan tim CSR Pertamina di Desa Air Talas.

Photo :
  • VIVA.co.id/ Lis Yuliawati

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut memberikan bantuan berupa pelatihan dalam pemanfaatan jamur Trichoderma hingga membangun pusat studi untuk mendukung keberlanjutan program dan petani di Desa Air Talas.

Anggrek Dewata digulirkan untuk mengembalikan kondisi awal agrowisata di Desa Air Talas, melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat. “Anggrek Dewata menjadi komitmen kami dalam melaksanakan program pemberdayaan masyarakat di ring 1 EP Limau Field yang berfokus kepada ESG dan target SDG’s,” ujar Senior Manager (SM) Limau Field Dadang Soewargono.

Dadang menambahkan, “Anggrek Dewata telah terbukti merubah sistem pertanian menjadi ramah lingkungan dan mengentaskan angka kemiskinan serta memberikan manfaat lebih dari 900 orang.” 


 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya