Berlaku Progresif, Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura Bakal Libas 31 Pelaku Tindak Pidana

OTT KPK Basarnas
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

Jakarta – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI Yasonna H. Laoly menegaskan pemerintah Republik Indonesia dan Singapura telah resmi memberlakukan secara efektif perjanjian tentang ekstradisi buronan per tanggal 21 Maret 2024.

Terkuak, Ada Perjanjian Pisah Harta Harvey Moeis dan Sandra Dewi

Perjanjian ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2023 tentang Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura tentang Ekstradisi Buronan yang disahkan DPR RI pada tahun 2022. 

"Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura ini merupakan capaian kerja sama di bidang hukum yang luar biasa dan menjadi sejarah keberhasilan diplomasi yang sangat penting," kata Yasonna H. Laoly dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat, 29 Maret 2024

Terkuak, Ini Peran 5 Tersangka Baru Kasus Korupsi Timah

Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura ini merupakan perjanjian ekstradisi ke-12 yang telah diberlakukan pemerintah Indonesia setelah dengan Malaysia, Filipina, Thailand, Australia, Hong Kong SAR, Republik Korea, Republik Rakyat China, India, Papua Nugini, Vietnam, Persatuan Emirat Arab, dan Iran.

Menkumham Yasonna Laoly saat konferensi AALCO di Nusa Dua, Bali

Photo :
  • VIVA/Maha Liarosh
5 Orang jadi Tersangka Baru Korupsi Timah, Siapa Saja Mereka?

Perjanjian yang ditandatangani di Bintan, Kepulauan Riau, oleh Yasonna pada 25 Januari 2022 tersebut telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2023 tentang Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura tentang Ekstradisi Buronan.

Menurut Yasonna, perjanjian tersebut menjadi sejarah keberhasilan diplomasi Indonesia mengingat Singapura sebelumnya hanya memiliki kerangka kerja sama ekstradisi dengan negara-negara dan yurisdiksi tertentu.

"Yakni Amerika Serikat, Jerman, Hong Kong SAR, dan negara-negara yang tergabung dalam commonwealth of nations (negara persemakmuran, red.),” imbuh dia.

Dijelaskan Yasonna, status Singapura yang saat ini merupakan salah satu pusat ekonomi terbesar dunia juga menjadi pertimbangan Indonesia dan Singapura harus terikat dalam sebuah perjanjian ekstradisi.

Selain itu, perjanjian ekstradisi juga melengkapi dan menyempurnakan komitmen kedua negara dalam kerja sama hukum, khususnya tentang pemulangan buronan pelaku tindak pidana ke negara asalnya.

"Indonesia dan Singapura sudah memiliki perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana (ASEAN Mutual Legal Assistance Treaty) sebagai dasar berbagai bentuk kerja sama hukum diantaranya terkait pencarian pelaku kejahatan, pengembalian kesaksian, penggeledahan maupun penyitaan aset pidana," tutur Menkumham.

OTT KPK Basarnas

Photo :
  • VIVA/M Ali Wafa

Yasonna menerangkan perjanjian ekstradisi buronan antara Indonesia dan Singapura bersifat progresif karena terdiri atas pasal dan ruang lingkup yang berguna untuk masa sekarang dan masa depan. "Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura bersifat progresif, fleksibel, dan tindak kejahatan di masa sekarang dan masa depan," kata Yasonna 

Dia menjelaskan perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura terdiri atas 19 pasal dengan ruang lingkup kedua negara sepakat untuk melakukan ekstradisi bagi setiap orang yang ditemukan berada di wilayah negara mana dan dicari oleh negara peminta untuk penuntutan, persidangan, dan pelaksanaan hukuman untuk tindak pidana yang dapat diekstradisi.

Dalam perjanjian ekstradisi ini, terdapat 31 tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi, di antaranya tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme dan pendanaan kegiatan terorisme, serta berbagai tindak pidana lain berdasarkan hukum kedua negara.

Tidak hanya itu, ekstradisi Indonesia-Singapura juga mempunyai fitur khusus, yakni penentuan kewarganegaraan pelaku tindak pidana ditentukan pada saat tindak pidana dilakukan.

Hal ini untuk menutup celah yang mungkin timbul akibat pergantian kewarganegaraan dari pelaku tindak pidana yang mencoba menghindari proses hukum.

"Lebih lanjut untuk menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, perjanjian ini menganut prinsip retroaktif hingga 18 tahun sebagai upaya menjangkau tindak pidana yang dilakukan sebelum perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura dilakukan," jelas Yasonna.

Menkumham berharap perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura ini dapat langsung dimanfaatkan para penegak hukum, memberikan efek deterrence atau pencegahan, dan mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana dalam melarikan diri. (ant)
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya