Kader PDIP Jakarta Dinilai Tak Mudah Melupakan Konflik di Pilkada 2017
- VIVA/M Ali Wafa
Jakarta, VIVA - Jelang pemungutan suara Pilkada 2024, muncul narasi yang menyesatkan dengan beredarnya poster bertulis 'Rebut Kembali Jakarta! Setelah 5 Tahun Sebelumnya Dipimpin Anies dan Kelompok intoleran'.
Selain itu, beredar pula poster dengan narasi 'Ahok Siap di Belakang Pramono-Rano. Ahok: Saya Bertanggung Jawab untuk Kemenangan Mas Pram dan Bang Rano”.
Terkait itu, Juru Bicara PDIP, Chico Hakim menyebut, ada upaya yang sengaja mengadu domba dari pihak yang tidak suka dengan Pramono Anung-Rano Karno.
“Mereka lagi pusing melihat Ahokers dan Anak Abah lebih condong mendukung Pramono-Rano. Bahkan simpul-simpul pendukung kedua mantan gubernur itu aktif bergerak dengan masif untuk memenangkan Pramono-Rano,” kata Chico saat dihubungi di Jakarta, Selasa, 15 Oktober 2024.
Sementara, peneliti senior Trust Indonesia Research and Consulting, Ahmad Fadhli menganalisa narasi seperti itu wajar muncul dalam konteks pemilu. Dia menyinggung kondisi itu merujuk dalam kontestasi Pilkada 2017.
Kata Fadhli, isu perselisihan yang terjadi antara PDIP yang mengusung Pramono-Rano dengan Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) Ulama dan Presidium Alumni (PA) 212 tak bisa dipungkiri. "Pertama, konflik antara PDIP dengan GNPF atau PA 212 itu bukanlah dongeng belaka," jelas Chico.
Dia menyinggung momen politik saat PDIP mengusung pasangan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok-Djarot Syaiful Hidayat di Pilgub Jakarta 2017. Ahok dan Djarot merupakan kader PDIP.
"Peristiwa itu pernah terjadi manakala PDIP ikut menjadi bagian dari koalisi politik yang menyorongkan Ahok-Djarot, yang merupakan kader tulen PDIP pada Pilgub Jakarta 2017,” kata Fadhli.
Menurut dia, peristiwa politik itu cukup berbekas. Misalnya, hal itu saat kampanye Ahok-Djarot yang ditolak di berbagai tempat di Jakarta. Kemudian, kader PDIP sempat bentrok saat mengawal kampanye Ahok-Djarot.
"Karena itulah, persinggungan keras itu akan berbekas dan tidak mudah dipulihkan. Kader PDIP di Jakarta tidak akan mudah memaafkan dan melupakan konflik Pilkada DKI 2017 yang melibatkan kelompok PA 212," ujarnya.
Fadhli mengatakan begitu juga sebaliknya bahwa PA 212 dan FPI tentu tidak akan serta merta menerima calon gubernur yang disorongkan PDIP. "Bagi mereka, PDIP adalah seteru ideologis yang mungkin sulit untuk dipersatukan dalam sikap politik para ulama PA212," tutur Fadhli.
"Lalu, apakah sikap ini akan dipertahankan PA212 dan FPI dalam menghadapi Pilkada DKI 2024? Jawabannya kemungkinan besar adalah iya," sambungnya.
Dia menyoroti salah satu indikator nyata adalah komunikasi yang minim saat ini antara FPI/PA 212 dengan elite PDIP Jakarta. Hingga kini, belum ada komunikasi formal yang terjalin antara elite PDIP Jakarta dengan kalangan ulama tersebut.
"Padahal pemilu kurang lebih tinggal 42 hari lagi. Belum ada tindakan apapun untuk menggaet segmentasi kelompok FPI/PA 212 yang notabene sebagian merupakan pendukung Anies Baswedan," jelas Fadhli pula.