Perayaan Idul Fitri dan Kisah Istilah Halal Bi Halal

Ilustrasi perayaan malam takbiran di Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko

VIVA.co.id - Tradisi perayaan Idul Fitri di Indonesia punya sejarah panjang. Kisahnya bisa ditelusuti hingga era kerajaan Mataram. Di era tersebut, tumbuh  kebudayaan Kejawen yang merupakan akulturasi Jawa, Hindu, Buddha dan Islam.

Perempuan Bernama Y Kini Kuliah di UNY

Upacara Grebeg, misalnya adalah upacara pemujaan roh nenek moyang berupa kenduri gunungan yang merupakan tradisi sejak zaman kerajaan Majapahit. Perayaan ini biasanya jatuh pada hari besar Islam, sehingga timbul istilah Grebeg Syawal pada hari raya Idul Fitri dan Grebeg Maulid pada bulan Rabiul Awal.

Grebeg Syawal adalah upacara adat keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang diselenggarakan tiap 1 Syawal penanggalan Hijriyah, atau bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Upacara ini biasanya dilangsungkan di sekitar Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta seusai dilaksanakannya shalat Idul Fitri berjama'ah. 

Pasangan Ini Temukan Harta Karun dari Kursi Rp86 Ribu

“Tradisi Grebeg Syawal merupakan simbol Hajad Dalem, sedekah serta kedermawanan Sultan kepada rakyatnya. Inti upacara ini adalah pelepasan Gunungan Lanang yang kemudian diperebutkan oleh masyarakat. Sebelum dilepas, Gunungan Lanang terlebih dahulu diarak dari Pagelaran Keraton Yogyakarta menuju halaman Masjid Agung Kauman untuk didoakan,” ujar Harjo, abdi dalem keraton Yogya.

Usai penghulu masjid Agung Kauman memanjatkan doa kesejahteraan, Gunungan Lanang pun dilepas kepada masyarakat. Konon, sesaji berisi beraneka hasil bumi yang disusun membentuk kerucut ini mampu membawa keberuntungan. Lantas Gunungan Lanang menjadi bahan rebutan massa. 

Di Toko Ini Anda Bisa Bawa Anjing Peliharaan

Sementara, tradisi shalat Idul Fitri di Jakarta, pertama kali dipublikasikan dalam buku Java Bode. Disebutkan, pada jaman Hindia Belanda, sekitar tahun 1929, umat Islam melaksanakan shalat Idul Fitri di lapangan Gambir atau yang dulu disebut Koningsplein. 

Kebiasaan shalat bersama di Koningsplein ini berlangsung hingga pendudukan Jepang. Ketika itu namanya berganti menjadi lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta). Harry J Benda dalam The Crescents and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation menulis kebijakan agama penguasa Jepang membuat sakit hati.

Tapi, rasa sakit hati inilah yang nantinya melahirkan kebiasan silaturahmi, atau yang juga dikenal dengan istilah halal bi halal. 

Adapun, alasan yang membuat sakit hati adalah karena otoritas Jepang mengimbau agar shalat Ied diadakan di pagi buta persis selesai subuh. Alasannya, sebelum matahari terbit Jepang harus upacara sekerei (sembah matahari) di lapangan yang sama.

Sementara ketika Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakan pada 17 Agustus 1945 jatuh pada bulan Ramadhan. Panitia Proklamasi Kemerdekaan pun memiliki rencana untuk menggelar shalat Ied di halaman gedung Proklamasi di Pegangsaan Timur No 17, Jakarta. Shalat tetap bisa dilaksanakan tetapi di sekitar gedung dijaga ketat oleh tentara Dai Nippon.

Akhir tahun 1945 ibukota RI dipindahkan ke Yogyakarta. Belanda dengan membonceng pasukan sekutu masih ingin kembali berkuasa di Indonesia. Pada bulan Ramadhan 1946, beberapa tokoh menemui Bung Karno. Mereka meminta supaya Bung Karno pada hari raya Idul Fitri yang bertepatan jatuh pada bulan Agustus, bersedia merayakan lebaran dengan mengundang semua tokoh revolusi yang berbeda pendapat. 

Diharapkan pada suasana lebaran itu, semua pihak yang berbeda pendapat akan saling memaafkan dan menerima keragaman mereka untuk sama-sama berjuang melawan Belanda yang kembali ingin berkuasa. Bung Karno pun setuju. 

Ridwan Saidi, budayawan Betawi menuturkan peristiwa itu melahirkan istilah halal bi halal. 

“Istilah dari bahasa Arab yang dirancang oleh para pendiri RI sebagai ajang menghalalkan perbedaan, tetapi bersatu dalam kebersamaan. Ketika Lebaran tiba, di Istana Yogyakarta diselenggarakan halal bi halal,” ungkap dia. (ren) 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya