- ANTARA/Spedy Paereng
VIVA.co.id - Kelompok aktivis dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyayangkan kinerja kepolisian yang dianggap lalai dan terkesan membiarkan insiden perusakan Musala di Tolikara, Papua. Apalagi, perusakan terjadi saat umat Muslim tengah melaksanakan Salat Idul Fitri di lokasi.
"Kami menyayangkan pembiaran peristiwa tersebut terjadi, surat untuk pelarangan Salat telah ada sejak 11 Juli sementara Salat diadakan pada 17 Juli berarti ada waktu enam hari sebelum penyerangan dan pembubaran," ujar Koordinator Kontras, Haris Azhar, saat dihubungi VIVA.co.id, Minggu 19 Juli 2015.
Haris mengatakan, seharusnya dalam rentang waktu enam hari itu, kepolisian dapat menetapkan langkah-langkah antisipatif atau mengupayakan agar pelarangan itu tidak terjadi demi menjamin kebebasan menjalankan ibadah bagi warga Muslim di Tolikara.
Untuk itu, Haris menegaskan, kepolisian harus bertanggung jawab atas insiden itu dan segera melakukan tindakan penegakan hukum terhadap pelaku perusakan dan pembakaran Musala.
Dalam hal ini, menurut Kontras, Pemerintah Daerah (Pemda) setempat juga memiliki andil dalam memfasilitasi dan memediasi pihak-pihak terkait bahkan mengupayakan tindakan-tindakan untuk mencegah insiden ini kembali terulang.
Dalam catatan Kontras, selama rentang 4 hingga 6 tahun terakhir, ssu keamanan, kebebasan beragama dan beribadah di Papua menjadi isu yang sensitif. Untuk itu diperlukan sinergitas dari pemerintah pusat, pemerintah daerah , tokoh agama dan tokoh bangsa dalam melakukan pencegahan kekerasan dan konflik di Indonesia secara khusus di provinsi paling timur Indonesia. (ren)