Pemerintah Akui Banyak Kelemahan dalam Undang-Undang Pilkada

Panwaslu Malang Pangkas Anggaran Pilkada hingga Rp1,5 Miliar
Sumber :
  • D.A. Pitaloka/Malang
VIVA.co.id - Pemerintah mengakui masih banyak kelemahan dalam Undang-Undang tentang Pilkada. Pemerintah pun setuju merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Namun tidak dilakukan pada tahun ini, melainkan pada 2016.
Mendagri Tolak Jadi Ketua Pansel KPU

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Sony Sumarsono, menjelaskan bahwa ditemukan sedikitnya lima hal kelemahan Undang-Undang Pilkada berdasarkan pengalaman penyelenggaraan pilkada serentak tahun 2015.
Kemendagri Sosialisasi PP Tentang Perangkat Daerah

Pertama, Padahal Undang-Undang mensyaratkan pilkada diikuti sedikitnya dua pasang calon.
Ketua KPU: Ahok Siap-siap Kena Sanksi Bawaslu

Kedua, wacana pemberian sanksi kepada parta politik (parpol) yang tak mengusung calon. Persoalan itu dituding sebagai sebab empat pilkada harus ditunda karena sejumlah parpol tak mengusung calon.

Ketiga, usulan pembatasan dukungan pencalonan bagi parpol untuk mengusung calon. Usulan itu akan dimasukkan dalam revisi undang-undang agar ada batasan maksimum dukungan parpol kepada pasangan calon.

Keempat, MK menginginkan waktu penyelesaian sengketa pilkada ditambah karena masa paling lama 45 hari itu masih terlalu pendek.

Kelima, usulan menurunkan syarat pencalonan bagi calon independen atau calon perseorangan atau nonparpol. Sekarang syarat dukungan minimum adalah 6,5 persen-10 persen dari jumlah penduduk.

"(Undang-Undang tentang Pilkada) harus direvisi, (karena) sekarang saja sudah ada yang melakukan judicial review (uji materi undang-undang di Mahkamah Konstitusi), kata Sony di kantor Kemendagri, Jakarta.

Sony memperkirakan revisi Undang-Undang Pilkada selesai tahun 2017 kalau dimasukkan dalam program legislasi nasional DPR pada 2016. Soalnya tidak akan banyak persoalan krusial yang akan menjadi perdebatan antara DPR dengan Pemerintah.

Lagi pula, DPR sebelumnya memang menghendaki merevisi undang-undang itu karena memang ditemukan sejumlah kekurangan.

Dia hanya menerka satu hal yang kemungkinan bakal menjadi perdebatan panjang, yakni usulan pemberian sanksi kepada parpol yang tak mengusung calon dalam pilkada. Sebab, mengajukan calon atau tidak adalah hak parpol. Namun di sisi lain, parpol yang tak menggunakan haknya memicu pilkada diikuti sepasang calon.

Selain itu, DPR pun adalah representasi parpol sehingga mereka diperkirakan menolak sanksi. "Itu harus dibicarakan. Pemerintah memang tidak layak memberikan sanksi kepada parpol. Kita konsisten serahkan kepada rakyat untuk menilai. Ketika jelek, jangan dipilih," ujar Sony.

Pada prinsipnya, Sony berpendapat, memang perlu aturan atau sanksi bagi parpol yang tak mengusung calon. Sanksinya bisa saja parpol yang bersangkutan tak boleh mengikuti pilkada berikutnya.

"Pemerintah boleh melemparkan ide itu. Tapi, kan, perlu persetujuan. Sanksi penting diatur tapi kita membangun pemahaman bersama dengan DPR," ujar Sony.

Pada Mei 2015, DPR memang mewacanakan merevisi Undang-Undang Pilkada. Tetapi Pemerintah tak setuju sehingga rencana itu batal.

Pemerintah tak setuju karena kala itu Undang-Undang Pilkada belum lama direvisi sehingga tak ada alasan mendesak untuk merevisi lagi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun kala itu serupa dengan Pemerintah. (ase)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya