Revisi UU KPK Berpotensi Timbul Konflik Kepentingan di DPR
Selasa, 2 Februari 2016 - 11:46 WIB
Sumber :
- ANTARA FOTO/Tri Sp
VIVA.co.id - Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang Widjojanto, menilai adanya potensi konflik kepentingan di DPR, dalam melakukan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Salah satunya, menurut Bambang, terindikasi dari keberadaan Sareh Wiyono selaku Ketua Badan Legislasi DPR.
"Ketua Baleg, Pak Sareh Wiyono adalah orang yang pernah punya masalah dengan KPK dalam kasus Bansos di Bandung. Jadi ada potensi COI (Conflict Of lnterest). Ini perlu diklarifikasi agar tidak menimbulkan syakwasangka tentang motif dan kepentingan revisi," kata Bambang dalam pesan singkatnya, Selasa 2 Februari 2016.
Bambang menambahkan, sikap ngotot anggota dewan yang notabene wakil rakyat dalam melakukan revisi juga menjadi pertanyaan. Menurut Bambang, sikap rakyat yang tercermin dalam petisi di situs Change.org justru menunjukkan adanya upaya masyarakat menolak revisi.
"Jadi kepentingan siapa yang diwakili agar dilakukan perubahan," ujar dia.
Bambang juga menyoroti tidak adanya naskah akademik yang bisa dijadikan dasar rujukan, serta alasan dan argumen atas pasal-pasal yang akan direvisi. Bambang menjelaskan, jika tidak terdapat naskah akademik, maka revisi dilakukan lewat proses yang cacat secara prosedural karena melanggar tata cara pembuatan Undang-Undang.
Selain itu, poin-poin yang diusulkan untuk revisi merupakan isu yang sangat rawan dan berpotensi mengintervensi independensi KPK. "Sehingga akuntabilitas lembaga bisa kehilangan marwah dan legitimasinya dalam menjalankan tugas dan kewajibannya," ungkap Bambang.
Seperti diberitakan sebelumnya, Revisi Undang-Undang KPK masuk dalam daftar Prioritas Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2016. Namun, di gedung DPR, .
"Revisi UU KPK itu kami ini udah agak diam, kami capek disalahpahami. Yang mengungkit ini kan pemerintah. Jangan lempar bola ke DPR," kata Fahri. (ren)
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Bambang juga menyoroti tidak adanya naskah akademik yang bisa dijadikan dasar rujukan, serta alasan dan argumen atas pasal-pasal yang akan direvisi. Bambang menjelaskan, jika tidak terdapat naskah akademik, maka revisi dilakukan lewat proses yang cacat secara prosedural karena melanggar tata cara pembuatan Undang-Undang.