Yusril: Reshuffle, Jokowi Harus Minta Restu Megawati

Yusril Ihza Mahendra
Sumber :
  • VIVA.co.id/Purna Karyanto Musafirian

VIVA.co.id – Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menilai, reshuffle jilid II kabinet Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, tidak boleh menafikkan peran Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.

Tiga Tahun Nawa Cita Tak Maksimal, Jokowi Didesak Evaluasi

Yusril memahami, secara hukum ketatanegaraan, adalah preogratif Presiden untuk merombak kabinetnya. Namun peran partai pendukung, juga tidak boleh dikesampingkan.

"Dalam hal Presiden Jokowi, masukan dan pandangan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri mutlak harus menjadi pertimbangan Presiden Jokowi dalam penyusunan dan reshuffle kabinet, karena PDIP adalah partai penentu dan pendukung utama terpilihnya Jokowi menjadi Presiden," ujar Yusril, dalam siaran persnya, Selasa, 12 April 2016.

Kepala PPATK Juga Dihujani Pertanyaan soal Reshuffle

Tidak menafikkan peran partai, sejatinya sudah dilakukan oleh Presiden pertama Soekarno. Walau, elektabilitas Bung Karno saat itu sangat tinggi.

"Betapapun wibawa Bung Karno begitu besar dan boleh dibilang bisa menentukan segala-galanya, namun beliau toh tetap mempertimbangkan masukan ketua partai-partai politik dalam menyusun kabinet," kata dia.

Mentery Yuddy: Hanya Presiden yang Tahu Soal Reshuffle

Dengan begitu, lanjut Yusril, Megawati harus ditempatkan sebagai pihak yang menentukan juga dalam memilih menteri di kabinet.

"Khususnya untuk pos-pos kementerian tertentu dan personalia tertentu yang menjadi keberatan Ketum PDIP seyogyanya dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh oleh Presiden Jokowi," ucap Yusril.

Tidak dilibatkannya partai politik, setidaknya membuat proses reshuffle lamban. Sehingga, apa yang menjadi masukan Megawati perlu diperhatikan oleh Jokowi.

"Untuk mempercepat penyelesaian reshuffle agar tidak tertunda-tunda lagi dan demi solidnya kabinet yang mutlak perlu untuk melaksanakan seluruh program kabinet yang dinanti-nantikan seluruh rakyat," kata pakar hukum tata negara itu.


Baa juga:

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya