Cara Kapolri Cegah Aksi 'Lone Wolf' Teroris

Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Polisi Tito Karnavian.
Sumber :
  • REUTERS/Tom Heneghan

VIVA.co.id – Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mensinyalir ada dua fenomena serangan teroris jika dilihat dari beberapa kejadian aksi teror yang terjadi belakangan ini. Fenomena pertama, aksi teroris yang dilakukan kelompok teroris atau jaringan teroris yang jamak dilakukan para pelaku teror.

Remaja Tikam 2 Pendeta Resmi Ditetapkan Sebagai Tersangka Terorisme

"Yang kedua, namanya leaderless jihad, jihad tanpa pemimpin, itu disebut dengan 'lone wolf'," kata Tito Karnavian di Mabes Polri, Jakarta, Selasa 4 Juli 2017.

Teroris 'lone wolf' ini tidak terkait dengan jaringan teroris atau jihad tanpa pemimpin. Mereka terkontaminasi dan terpengaruh dari media sosial maupun website yang berkonten radikal. Pelaku juga dipengaruhi chatting dan telegram yang berisi muatan radikal.

Kemarin Gamblang, Kini Rusia Secara Resmi Salahkan Ukraina atas Serangan Terorisme di Moskow

Sehingga, pelaku terpengaruh dan belajar cara mengatur serangan, survei lokasi kemudian melakukan serangan sendiri sesuai yang dia pilih sendiri.

Tito mengatakan, cara penanganan dua modus aksi teroris ini pun berbeda. Untuk kelompok teroris atau jaringan teroris yang terstruktur, maka peran dari kekuatan intelijen dari Polisi, TNI, BIN dan lain sebagainya  sangat penting.

Kremlin: Presiden Vladimir Putin Rasakan Kesedihan Mendalam Atas Aksi Terorisme di Moskow

Hal itu untuk mendeteksi dan memetakan struktur kelompok teroris dengan detil sehingga bisa mengawasi.

"Ketika mereka ada rencana mau berbuat baru dilakukan operasi penangkapan. Kalau mereka sudah melakukan, gagal kita mencegah dan kemudian ternyata terjadi serangan, secepatnya bisa kita ungkap. Nah, ini yang biasanya terjadi," ujarnya.

Mantan Kapolda Metro Jaya ini menambahkan, untuk pola kedua, yakni lone wolf. Pola ini biasanya tidak disertai dengan aksi teroris dengan skala besar lantaran semuanya harus dilakukan pelaku secara sendiri.

Untuk pola seperti ini, harus diperkuat pendeteksian melalui internet atau dunia cyber. Tito menekankan pentingnya patroli di internet dengan memperkuat, mengkonsolidasikan kekuatan cyber nasional, Polisi, BIN, TNI, Badan Syber, dan Kemenkominfo.

"Semua website-website radikal di-takedown, kemudian internet chatting masuk dipenetrasi. Semua saluran komunikasi mereka dipenetrasi atau di-takedown. Yang bisa di-close, di-close. Yang bisa masuk kita masuk bagian dari mereka sehingga tahu rencana mereka," terang mantan Kepala BNPT ini.

Selain itu, kegiatan kontraradikalisasi harus dilakukan. Sebab, kejahatan teroris itu dikarenakan adanya niat, kesempatan dan kapabilitas atau kemampuan. Untuk mengurangi niat, maka perlu dilakukan program kontraradikalisasi, yaitu membuat imun mereka kebal dari paham radikalisme.

"Yang utama BNPT. Bekerja sama dengan Mendikti, Mendikbud, kemudian Unit Pancasila yang sekarang Pak Yudi Latif, Kementerian Pertahanan dengan bela negara dan seterusnya dan seterusnya. Ideologi bisa kalah dengan ideologi. Supaya ideologi radikal mereka tidak berkembang," terang Tito.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya