DPR Bisa Sandera Siapa Pun yang Tolak Panggilannya

Gedung DPR-MPR.
Sumber :
  • VivaNews/ Nurcholis Lubis

VIVA - Dalam revisi UU MD3, perubahan tak hanya menyangkut pasal penambahan pimpinan DPR dan MPR, tapi juga ada pasal lain di antaranya soal pasal pemanggilan paksa.

DPR Sahkan Revisi UU MD3 Soal Penambahan Pimpinan MPR

Pasal pemanggilan paksa ini tercantum dalam Pasal 73 UU MD3. Terdapat tiga ayat tambahan dari pasal semula. Salah satunya soal diperbolehkannya kepolisian menyandera badan hukum dan atau warga masyarakat untuk paling lama 30 hari.

Anggota Badan Legislasi Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu, mengatakan tambahan ayat tersebut menjadi mekanisme terhadap setiap orang yang menolak datang untuk memenuhi panggilan atau rapat bersama DPR.

Sepakat Revisi UU MD3, Dua Fraksi Ini Beri Catatan

"Ya terhadap siapa pun (termasuk KPK)," kata Masinton di Gedung DPR, Jakarta, Jumat, 9 Februari 2018.

Saat ditanya soal ayat penyanderaan dalam pasal tersebut, ia menjelaskan parlemen merupakan representasi perwakilan rakyat. Sehingga diberi kewenangan untuk melakukan pemanggilan teradap siapa pun.

Mengapa DPR Bernafsu Revisi UU MD3 di Akhir Masa Jabatan?

"Karena prinsip mekanisme kontrol adanya di DPR sebagai representasi rakyat yang dipilih melalui pemilu," kata Masinton.

Adapun soal urgensi pasal ini, ia menjelaskan kalau yang dipanggil DPR tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang jelas, maka DPR diberi kewenangan melakukan penyanderaan dengan bantuan kepolisian.

"Kayak ditahan sementara-lah," kata Masinton.

Ia menegaskan hal ini sama sekali tak ada kaitannya dengan pansus angket KPK yang sempat gagal menghadirkan KPK. Tapi penambahan ayat dalam pasal pemanggilan paksa itu harus diatur. Lantaran dalam rapat kepolisian bersama DPR, hal itu belum diatur.

"Ini kan berbeda hukum acara antara konteks penegakan hukum dengan UU MD3 yang melaksanakan fungsi pengawasan secara politik," kata Masinton.

Meski begitu, ia juga membantah hal itu merupakan permintaan Polri. Tapi revisi pasal tersebut merupakan inisiasi DPR. Ia menegaskan soal penyanderaan ini merupakan fungsi pengawasan politik dan bukan pengawasan hukum.

"Memang mekanismenya di sana kalau dianggap ini bertentangan silakan diuji. Kan ruangnya diberikan negara oleh Mahkamah Konstitusi," kata Masinton.

Adapun ayat yang diubah ditambah sebagai berikut:

Pasal 73 RUU MD3

Ayat (5) Panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Pimpinan DPR mengajukan permintaan secara tertulis kepada kepala kepolisian negara republik Indonesia paling sedikit memuat dasar dan alasan pemanggilan paksa serta  nama dan alamat badan hukum dan atau warga masyarakat yang dipanggil paksa, dan
b. Kepala kepolisian negara republik Indonesia memerintahkan kepala kepolisian daerah di tempat domisili badan hukum dan atau warga masyarakat yang dipanggil paksa untuk dihadirkan memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

Ayat (6) Dalam hal menjalankan panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menyandera badan hukum dan atau warga masyarakat untuk paling lama 30 hari.

Ayat (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dan penyanderaaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya