Formappi Sebut Pasal Penghinaan DPR Tak Sesuai Reformasi

Suasana Sidang Paripurna DPR beberapa waktu lalu.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

VIVA – Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menilai, kemunculan Pasal 122 huruf k dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3), tidak sesuai dengan era reformasi.

Yandri Susanto dari Fraksi PAN Jadi Ketua Komisi VIII

Pasal itu berpeluang menjadi pasal karet untuk membungkam kritikan dengan dalih dianggap penghinaan.

"Tentu terkejut sekali. Ada pasal yang seharusnya itu ada di era otoritarian tapi muncul di era reformasi," kata Salang di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 17 Februari 2018.

DPR Sahkan Revisi UU MD3 Soal Penambahan Pimpinan MPR

Salang mengaku lebih terkejut lagi karena UU MD3 ini dilahirkan oleh DPR yang mayoritas anggotanya adalah generasi lebih muda ketimbang DPR periode sebelumnya.

"Itu dilahirkan oleh DPR yang mayoritasnya muda, itu yang tidak habis saya pikir. Berpikir saja sudah keliru, apalagi menuangkannya di pasal," ujar pengamat politik ini.

Sepakat Revisi UU MD3, Dua Fraksi Ini Beri Catatan

Dia juga mempertanyakan soal penambahan pimpinan MPR yang terkesan hanya seperti bagi-bagi kekuasaan saja. Hal ini menurutnya seperti bertentangan dengan akal sehat.

"Menurut saya kita sedang menghina akal sehat," kata Salang.

Sebelumnya, DPR telah mengesahkan revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3) dalam Sidang Paripurna, Senin, 12 Februari 2018.

Salah satu pasal yang menimbulkan kontroversi dalam undang-undang ini, yaitu Pasal 122 yang mengatur wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Dalam Pasal 122 huruf k mengatur
wewenang MKD untuk mengambil langkah hukum atau langkah lain terhadap perorangan, kelompok orang atau badan hukum yang dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya