Logo DW

Kasus Ninoy Karundeng, Indikasi Ganasnya Sistem Politik Indonesia?

picture-alliance/PIXSELL/Puklavec
picture-alliance/PIXSELL/Puklavec
Sumber :
  • dw

Trennya, kebebasan berpendapat cenderung dihalang-halangi?

Jelas, itu sebenarnya cerminan ruang publik dan ruang kelompok sosial itu. Kalau perkubuan secara politik kan bukan cuma di Indonesia, tapi di tempat lain juga. Tapi maksudnya perkubuan politik itu harus diselesaikan dengan debat, diskusi politik atau kampanye politik terbuka, yang tidak menyebarkan atau merupakan advokasi kebencian berbasis agama, karena yang seperti itu kan gak bisa ditolerir. Tapi kalau orang mengkritik Presiden secara terbuka harus dipahami sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Tapi oleh pendukungnya itu diinternalisasi sebagai serangan terhadap, baik institusi pemerintah maupun orangnya, bila dalam konteks membahas Jokowi. Sebaliknya juga gitu kan banyak kelompok anti Jokowi mau mem-framming ada pemuka agama yang dijerat oleh hukum, jadi tersangka segala macem, itu di spin kesannya pemerintah anti terhadap ulama, kriminalisasi terhadap ulama, itu kan tidak sehat. Ulama juga manusia, ada ulama yang juga merupakan bagian dari masalah, tapi juga ada ulama model Quraish Shihab, jadi gak bisa dipukul rata. Nah publik itu tidak dituntut oleh politisi ini untuk berpikir lebih jernih. Memisahkan mana orang sebagai individu, maupun orang sebagai ulama, yang harusnya mencegah supaya agama tidak ditafsirkan oleh satu politisasi tertentu, dengan ulama yang menyalahkan posisi sosialnya untuk melakukan politisasi tertentu. Nah ini sayangnya, kubu-kubu 01-02 masih berlanjut terus dengan bentuk yang berbeda. Si Ninoy itu kalau tidak salah kan diserangnya oleh kubu 212 yang dari kampanye, aktif menentang 01. Itu juga tidak bagus. Itu siapapun harus ditangkap pelaku kekerasan.

Dari grafiknya, ke depan kasus seperti ini masih terus bertambah?

Itu yang kita tidak bisa hitung, karena terlalu banyak kan, apalagi di daerah kan? Karena daerah itu juga terpolarisasi kalau lihat dari pemilu. Artinya, Jokowi artinya 55 persen mendapat suara, tapi kan daeranya beda-beda ada Aceh, Sumatera Barat, yang secara disproporsional itu anti Jokowi misalnya, itu yang berbahaya. Konflik politik itu sesuatu yang sehat dalam masyarakat demokratis. Tidak bisa semua orang satu suara. Harus ada masyarakat terbuka yang saling kritik. Justru dari kritik itu kalau direspon tanpa kekerasa tapi dengan pendekatan akal sehat, dialog, itu justru sebenarnya memperkuat institusionalisasi demokrasi. Tapi kalau diselesaikan lewat “otot”, bahayanya polarisasi ke depan makin besar. Itu bergantung pada “otot” mana yang banyak, jadi polarisasi mayoritas, minoritas jadi bahayanya kalau mayoritas di garis yang dibentuk oleh identitas agama, etnis itu bahaya tuh Indonesia. Karena salah satu kekuatan Indonesia kan sebetulnya diskusi debat di dalam publik tidak didasari dengan garis-garis primordial semacam itu, tapi didasari oleh kepentingan publik harusnya.

Kenapa perilaku kekerasan seperti itu cenderung marak dilakukan?

Kayaknya sederhana, ini kayak jurnalis meliput kejadian di lapangan. Ini ada pihak yang ingin menutupi fakta ada pelanggaran HAM yang terjadi selama aksi Mei 21-23, selama aksi di September khususnya juga pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Apalagi di Papua kan satu akses jurnalis internasional terbatas, padahal isu Papua jadi isu yang emblematic yang ada di Indonesia. Sebetulnya Indonesia sejak 1998 kan relatif praktek HAM nya membaik, cuma di beberapa spot ada Timor Leste, ada Aceh, ada Papua. Nah setelah Aceh, Timor Leste beres, ya tinggal Papua malah perhatiannya. Dan itu malah ditutup, padahal kalau dibuka jurnalis asing bisa mendapat gambaran seutuhnya di Papua itu apa yang terjadi. Tapi ini justru di-framming, kalau media internasional selalu mem-promote pemisahan Papua. Dan itu juga aneh menutup rapat-rapat yang terjadi Papua ditengah-tengah erupsi yang luar biasa di tanah itu karena satu kejadian di Surabaya. (pkp/vlz)