Politik Dinasti Marak di Pilkada 2020, Cara Rekrutmen Parpol Dikritik

Pekerja mengangkut kotak suara berisi logistik pemilu 2019 yang akan didistribusikan di Gudang KPU Badung, Bali
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Fikri Yusuf

VIVA – Jelang Pilkada 2020, publik disuguhkan isu politik dinasti di sejumlah daerah. Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni menilai ada beberapa penyebab politik dinasti marak.

Unik, Pendaftaran Bakal Calon Bupati di Manggarai Serahkan Ayam Jago dan Tuak ke Panitia

Titi menyinggung karena adanya beberapa faktor seperti kaidah hukum yang memungkinkan itu terjadi. Dengan akses pencalonan terbatas, hanya bisa dimiliki partai-partai yang punya dana dukung besar.

Dia menilai adanya ambang batas pencalonan kepala daerah 20 atau 25 persen suara sah, itu juga mempengaruhi akses yang limitatif di dalam proses pencalonan Pilkada.

Risma Populer di Jatim tetapi Elektabilitas Khofifah Tinggi, Menurut Pakar Komunikasi Politik

Baca Juga: Candu Kekuasaan dengan Politik Dinasti di Pilkada Tangsel

Pun, ia menyinggung kelembagaan partai politik di Tanah Air yang ikut menyumbang maraknya dinasti politik. Menurut Titi, saat ini proses perekrutan di partai politik belum berjalan demokratis.

Megawati Belum Putuskan soal Usulan Kerja Sama dengan Prabowo

"Sekarang bisa dikatakan rekrutmen itu kan elitis, yang memutuskan itu hanya segelintir orang saja di partai politik. Jadi, pemilu yang demokratis itu kan harusnya pemilu yang kompetitif," ujarnya.

Menurutnya, dalam demokrasi yang kompetitif itu mestinya ada keterlibatan pengurus dan anggota partai yang dilibatkan.

Titi menilai, saat ini sebagian besar partai politik di Indonesia juga melangengkan proses dinasti dalam pemilihan kepengurusan. Banyak keluarga atau kerabat elite partai politik yang jadi pengurus di partai politik tertentu.

"Sebenarnya politik dinasti kita itu ketika proses Pilkada adalah refleksi dari politik dinasti di internal partai. Jadi, dia itu memang kelanjutan dari politik dinasti yang terjadi di internal," katanya.

Titi menambahkan, politik biaya tinggi juga menjadi salah satu faktor yang berkontribusi hadirnya politik dinasti. Harus diakui, biaya pilkada di Indonesia mahal.

Dengan kondisi itu, mahar politik juga jadi sesuatu yang ada. Namun, instrumen hukum di Tanah Air tak bisa menangkap itu. "Berapa uang yang dia punya, dia bisa belanja kan. Akhirnya memicu orang untuk mengeluarkan uang sebanyak mungkin untuk memenangi kontestasi," ujarnya.

Kemudian, ia menambahkan, politik dinasti juga lantaran kesadaran masyarakat dalam mengevaluasi yang masih rendah. Kesadaran yang rendah itu disebabkan pendidikan pemilih, pendidikan politik yang tidak berjalan secara optimal.

"Akses informasi masyarakat itu rata-rata juga kurang baik di dalam mengenali siapa calonnya. Jadi, kesadaran masyarakat yang rendah ini juga dikontribusikan oleh faktor-faktor lain," ujarnya.

Kurang lima bulan jelang Pilkada 2020, publik disuguhkan kebiasaan politik yang belum berubah. Kemunculan politik dinasti masih mewarnai dinamika politik di sejumlah daerah.

Misalnya, majunya putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka ke Pilkada Kota Solo meramaikan pemberitaan media massa. Nama Gibran erat dikaitkan dengan Jokowi selaku Presiden dan pernah menjabat Wali Kota Solo.

Baca Juga: Gibran: Saya Ikut Kontestasi, di Mana Dinasti Politiknya?
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya