Guru Besar Hukum UI Sebuit RKUHP Bakal Kriminalisasi Pers
- ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
"Nah, kalau kita lihat di pasal 281 itu dijelaskan proses persidangan, memang universal, enggak boleh diliput itu. Contohnya, tindak pidana yang dilakukan oleh anak, perzinaan, itu tidak boleh diliput. Bahkan negara yang liberal sekalipun, wartawan tidak boleh meliput itu," katanya.
Indriyanto mengingatkan, jangan salah mengartikan dan menganggap bahwa pasal terkait berita bohong adalah untuk mengkriminalisasi pers. Sebenarnya, menurut dia, tindak pidana sudah terjadi bahkan sebelum berita tersebut dimuat.Â
"Siapa sih subjeknya untuk pemuatan atau publikasi dari berita? Coba siapa? Berita bohong, yang dicantum-cantumkan tadilah penyebaran berita bohong, penghasutan, penghinaan terhadap kekuasaan pemerintah yang sah, kekuasaan lembaga, harkat dan martabat presiden. Siapa subjek di situ? Dari pembuat dan publikasinya itu," katanya.
Aksi menentang kekerasan terhadap jurnalis. (Foto ilustrasi).
- ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
"Sudah dari awal ada tindak pidana, siapa itu? Ya, pemberi beritanya. Wartawan dikasih berita, wartawan muat; logikanya, itu wartawan kan yang memuat, yang dipidana kan. Yang memuat berita, yang melakukan publikasi. Dalam hukum pidana pers, delik pers, perkembangan delik pers, itu universal, bukan. Dia tindak pidananya sudah terjadi sebelum adanya pemuatan dan publikasi," ujarnya.
Terakhir, kata Indriyanto, sangat perlu untuk memahami delik pers. Karena jika tidak, Indriyanto menilai bukan hanya 19 pasal yang dianggap dapat menggerus kebebasan pers, tapi lebih daripada itu.Â
"Satu itu, menentukan subjek, bukan wartawannya. Jadi, kalau pemahaman teman-teman terhadap pasal ini seperti pemahaman logika awam, ya, dikriminalisasi. Enggak usah 19 pasal, 400 pasal ini kriminalisasi, bagian publikasi," katanya.