Kritik MK yang Tolak PT 20 Persen, PKS: Mungkin Ada Kekuatan Besar

Presiden PKS Ahmad Syaikhu dan elite PKS saat di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sumber :
  • Dok. PKS

VIVA Politik - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) 20 persen dalam Undang-Undang Pemilu. PKS kecewa dengan putusan MK.

Wakil Sekretaris Jenderal DPP PKS bidang hukum, Zainudin Paru menyampaikan putusan MK mesti jadi catatan. Ia menyinggung putusan MK dalam pertimbangannya soal gagasan PT agar berbasis pada kajian ilmiah yang rasional, proprosional dan implementatif. 

“Ini harus menjadi catatan bagi pembentuk undang-undang dalam menentukan angka presidential threshold ke depannya dalam revisi UU Pemilu,” kata Zainudin dalam keterangannya, Jumat, 30 September 2022.

Dia menyampaikan dengan pertimbangan MK agar penentuan PT mesti rasional berbasis kajian ilmiah maka bisa jadi bekal bagi DPR dan Pemerintah untuk menentukan angka PT. Ia menyindir MK yang tak berani mengabulkan gugatan PKS karena akan memunculkan perubahan besar.

“Kami memahami ketidakberanian MK untuk mengabulkan perkara ini karena tentu akan terjadi perubahan yang besar atau melawan kekuatan yang besar," tutur Zainudin.

Presiden PKS Ahmad Syaikhu saat sidang perdana PT 20 persen.

Photo :
  • Dok. PKS

Pun, ia menyoroti MK yang enggan memberi kesempatan kepada PKS untuk menyampaikan pembuktian. Namun, MK langsung buru-buru memutuskan pasca sidang pemeriksaan pendahuluan. Padahal, Zainudin menyebut antusiasme masyarakat cukup tinggi terhadap permohonan terkait PT 20 persen. 

"Di antaranya, seperti yang disampaikan MK dalam putusannya. Ada 67 pihak yang mengajukan sebagai pihak terkait untuk urun rembug dalam membahas PT ini di sidang MK," jelas Zainudin.

Digadang Maju Pilgub DKI, Sandiaga Uno: Tugas Resmi Belum, Kita Pertimbangkan secara Serius

Namun, menurutnya 67 pihak itu juga sama seperti PKS yang tak diberikan kesempatan untuk menjelaskan pembuktiannya. "Sayangnya, sebagaimana dengan kami, mereka tidak diberikan kesempatan dan ruang yang luas untuk menjelaskan dan membuktikan gagasannya," ujarnya.

Lebih lanjut, dia menekankan meski menolak gugatan, tapi MK berikan legal standing atau kedudukan hukum untuk PKS sebagai partai dan Salim Segaf Al Jufri selaku warga negara Indonesia. “Ini mungkin pertama kalinya partai politik yang ikut membahas UU yang diuji diberikan legal standing oleh MK,” katanya. 

Sidang Sengketa Pileg 2024, Hakim MK Tegur KPU Gegara Ajukan Renvoi Tak Tertib

Selain itu, menurut dia, MK juga mengakui alasan yang disampaikan PKS juga berbeda dengan permohonan-permohonan sebelumnya. 

“Kami telah berhasil meyakinkan MK terkait dengan legal standing dan alasan berbeda. Kalau ternyata ketika sampai pokok permohonan MK tidak berani mengabulkan, ya mungkin ada kekuatan besar atau faktor lain yang jadi pertimbangan MK,” sebutnya. 

Soroti Kenaikan UKT, F-PKS DPRD Sumut : Jangan Sampai PTN Menetapkan Melebihi Batas BKT

Ilustrasi sidang Mahkamah Konstitusi (MK).

Photo :
  • ANTARA FOTO/Hafidz Mubarok

Penjelasan MK

Adapun PKS dalam pokok permohonannya meminta angka PT diturunkan dari 20 persen jadi tujuh hingga sembilan persen. Permohonan tersebut diajukan PKS yang diwakili Presiden Ahmad Syaikhu dan Sekretaris Jenderal Aboe Bakar Alhabsyi sebagai pemohon I. Kemudian, Ketua Majelis Syura PKS Salim Segaf Aljufri selaku pemohon II.

Menanggapi permohonan itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan pihaknya tetap pada pendiriannya terhadap ketentuan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 222 mengatur ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden oleh partai politik dan gabungan partai politik. 

Dia menjelaskan bahwa PT merupakan kebijakan politik yang terbuka. Menurut dia, hal tersebut bukanlah menjadi ranah wewenang MK untuk menilai kemudian mengubah besaran angka ambang batas.

“Hal tersebut juga ditegaskan para pemohon dalam permohonannya, vide permohonan halaman 26 merupakan kebijakan terbuka sehingga menjadi kewenangan para pembentuk undang-undang, yakni DPR dengan presiden untuk menentukan lebih lanjut kebutuhan legislasi mengenai besaran angka ambang batas tersebut," tutur Enny.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya