Jokowi Tawari Dua Eksil Korban Peristiwa Tragedi 1965-1966 Kembali Jadi WNI

Presiden Joko Widodo saat melucurkan program penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia di Rumoh Geudong, Gampong Bili Aron, Kabupaten Pidie, Aceh, Selasa, 27 Juni 2023.
Sumber :
  • ANTARA/Khalis Surry

Pidie – Presiden RI Joko Widodo menawari dua eksil korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu akibat Peristiwa 1965-1966, Sudaryanto dan Jaroni Soerjomartono, untuk kembali mendapatkan kewarganegaraan Indonesia (WNI).

Terpopuler: Kesaksian Mengejutkan Kematian Satpam, Manajer Resto Hotman Paris Bawa Kabur Uang

Tawaran itu disampaikan Presiden Jokowi saat meluncurkan Program Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat di Pidie, Aceh, Selasa, 27 Juni 2023, yang dihadiri langsung oleh Sudaryanto dan Jaroni Soerjomartono.

"Pak Daryanto sama Pak Soerjo ingin jadi warga negara Indonesia lagi enggak?" tanya Jokowi setelah ia meminta keduanya menceritakan kisah mereka yang terasing dan sempat tak bisa kembali ke Indonesia dalam acara yang disiarkan langsung kanal YouTube resmi Sekretariat Presiden.

Gerindra Tepis Anggapan Jokowi Jadi Penghalang PDIP Berkoalisi dengan Prabowo

Monumen Pancasila Sakti

Photo :
  • ANTARA/Widodo S. Jusuf

Tawaran itu dijawab Sudaryanto yang mengaku bahwa pemulihan statusnya sebagai WNI sudah direncanakan tetapi ia masih perlu meyakinkan keluarganya di Rusia, termasuk tiga orang cucunya.

Jokowi dan Gibran Tak Dianggap Kader Lagi oleh PDIP, Qodari: Kesalahan Fatal

Presiden Jokowi menanggapi dengan memahami bahwa keluarga Sudaryanto belum tentu menghendaki apabila ditawari menjadi WNI. Tapi Sudaryanto meyakini mereka bersedia kalau terus diyakinkan.

Jaroni Soerjomartono menyatakan belum memiliki rencana lebih lanjut mengenai pemulihan status WNI-nya. Pasalnya, pria yang kini berusia 80 tahun itu bahkan mengaku tidak menyangka bahwa ia akan mendapat tawaran dan menerima pemulihan hak semasa hidupnya.

"Situasi yang semacam ini buat saya kejutan. Saya tidak mengira bahwa bisa terjadi langkah-langkah [pemulihan hak] di dalam [semasa] saya masih hidup," kata Jaroni Soerjomartono.

Presiden Joko Widodo (kiri) meluncurkan program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat di Tanah Air di Rumoh Geudong, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, Selasa, 27 Juni 2023.

Photo :
  • ANTARA

Jaroni Soerjomartono menilai bahwa langkah-langkah pemulihan hak tersebut sesuatu yang bersejarah terutama bagi generasi muda Indonesia agar bisa menatap maju ke depan tak terjebak pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Terus terang saja, ini adalah sesuatu yang sangat bersejarah bukan saja buat saya, saya sih sudah tidak bukan apa-apa lagi, yang terutama buat generasi muda maju ke depan," katanya.

Presiden Jokowi menekankan bahwa apabila Sudaryanto dan Jaroni Soerjomartono berkenan memulihkan status kewarganegaraan mereka, maka pemerintah siap menindaklanjuti.

"Jika ingin kembali jadi WNI, saya gembira dan kita semua saya kira gembira. Untuk menunjukkan bahwa memang negara ini melindungi warganya," kata Jokowi.

Jaroni Soerjomartono sempat bercerita bahwa dirinya berkuliah di Cekoslowakia (kini Republik Ceko, red.) dengan beasiswa pemerintah, tetapi paspornya bersama 16 mahasiswa Indonesia lainnya dicabut setelah menolak menandatangani persetujuan atas pemerintahan yang baru selepas Peristiwa 1965-1966.

Sedangkan Sudaryanto yang berkuliah di Moskow, Rusia, atas beasiswa Pemerintah Uni Soviet harus mendapati paspor dan kewarganegaraan Indonesianya dicabut lantaran menolak mengutuk Bung Karno.

Di Pidie, Sudaryanto dan Jaroni Soerjomartono menerima pemulihan hak awal dalam bentuk bebas tarif untuk pembuatan kartu izin tinggal terbatas (Kitas).

Dalam peluncuran tersebut, Presiden menekankan bahwa luka akibat pelanggaran HAM berat masa lalu harus segera dipulihkan agar Indonesia dapat bergerak maju.

"Ini untuk memulihkan luka bangsa akibat pelanggaran HAM berat masa lalu yang meninggalkan beban berat bagi para korban dan keluarga korban. Karena itu, luka ini harus segera dipulihkan agar kita mampu bergerak maju," ujar Jokowi.

Program tersebut menjadi tindak lanjut pernyataan Presiden Jokowi pada 11 Januari 2023 bahwa Pemerintah Indonesia mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat dalam 12 peristiwa di masa lampau.

Ke-12 peristiwa tersebut adalah Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari di Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989, Peristiwa Penghilang Orang Secara Paksa 1997-1998, dan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.

Kemudian Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999, Peristiwa Wasior Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003. (ant)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya