Hensat: Jangan Berharap Jokowi akan Netral di Pilpres 2024

Pengamat politik Hendri Satrio
Sumber :

Jakarta - Pengamat Politik Hendri Satrio alias Hensat mengaku sulit mengharapkan netralitas aparat negara. Dia bilang demikian karena melihat kondisi saat ini yaitu salah satu kandidat kontestan Pilpres 2024 adalah anak Presiden Jokowi yang sedang berkuasa saat ini.

DPR Sudah Kantongi Nama Calon Deputi Gubernur Senior BI, Pekan Depan Seleksi

"Kita harus siap-siap kalau pada kenyataannya pemilu 2024 tidak netral. Nanti saya malah diiketawain karena berharap harap aparat negara netral," kata Hensat di Rumah Cemara 19, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 11 November 2023.

Dia bilang jika Jokowi mau netral maka seharusnya saat makan siang bareng tiga capres bicara kepada Prabowo Subianto. Kata dia, omongan Jokowi ke Prabowo itu misalnya dengan tak mengizinkan Gibran jadi bakal cawapres.

WWF 2024, Jokowi Banggakan RI Punya Waduk dengan PLTS Terapung Terbesar di Asia Tenggara

"Jokowi berkata kepada Prabowo, untuk menjaga netralitas saya maka saya tidak izinkan Gibran mendampingi Prabowo dan mempersilakan Prabowo mencari cawapres lain," jelas Hensat.

Presiden Jokowi

Photo :
  • Dok. Biro Pers Sekretariat Presiden
Perkenalkan Prabowo di Depan Tamu WWF Termasuk Elon Musk, Berikut Pidato Lengkap Jokowi

Menurut dia, jika pakai analogi sederhana, pihak yang melakukan kecurangan itu biasanya adalah pihak yang sebenarnya lemah dan pasti kalah.

"Dia melakukan kecurangan karena tahu dirinya akan kalah sehingga untuk mencapai kemenangan harus lewat jalan curang," tutur pendiri lembaga Survei Kedai Kopi itu.

Pun, dia menambahkan, sebaliknya apabila ada pihak yang takut terjadi kecurangan, maka biasanya dia adalah pihak yang sebenarnya kuat.

Namun, kata Hensat, kalau pihak yang kuat ternyata takut adanya kecurangan maka memunculkan keheranan. Sebab, menurut dia, ada kemungkinan pihak yang kuat itu tidak tahu mempunyai kekuatan. Ia menekankan pihak itu kemungkinan tak tahu bagaimana menggunakan kekuatannya itu.

Hensat memberikan satu contoh kasus kecurangan pemilu yang pernah terjadi di masa Orde Baru. Ia bilang kecurangan itu terjadi saat Pemilu 1992.

Dia menceritakan praktik kecurangan itu terjadi saat masa kampanye. Hal itu karena ada salah satu parpol yang dapat waktu berkampanye di satu tempat tapi terhalang. Alasannya karena izin kampanye di tempat itu dicabut rezim penguasa. Dengan demikian, parpol tersebut tidak bisa berkampanye.

"Saat itu ramai teriakan orang orang yang menyuarakan bahwa pemerintah ora adil yang diwujudkan dengan simbol warna putih yang artinya golput," kata Hensat.

Penghitungan surat suara Pilpres 2019 (Foto ilustrasi).

Photo :
  • VIVA/M Ali Wafa

Namun, menurut Hensat, untuk kondisi saat ini tidak tepat kalau untuk menyuarakan ketidakadilan dengan mengajak masyarakat golput di pemilu. Kata dia, justru masyarakat harus menggunakan hak pilihnya agar penguasa yang ingin terus menerus berkuasa tidak menang dalam pemilu.

"Saya sarankan kampanye dengan menggunakan satu simbol warna yang mencerminkan bahwa rakyat tidak menginginkan adanya kecurangan dan pemilu dan pilpres 2024," kata Hensat.

Kata Hensat, dalam gerakan massa menolak kecurangan pemilu, paslon capres dan cawapres yang bisa dirugikan harus melibatkan penguasa negeri ini yaitu mengajak rakyat untuk lantang bersuara tolak kecurangan pemilu 2024.

Dia pun menyinggung soal perjuangan reformasi yang ingin pembatasan kekuasaan. Namun, yang terjadi saat ini indikasinya mengarah ke penguasa yang ingin terus menerus berkuasa.

"Ini fenomena nepo baby, di mana anak-anak yang punya previlege mendapatkan akses tanpa melalui sebuah proses. Kondisi ini menurunkan semangat anak-anak muda yang sebetulnya berprestasi dan punya nilai juang proses dalam mencapai satu posisi," kata Hensat.

Bagi dia, istilah nepo baby ini terjadi di panggung politik nasional Pilpres 2024. "Saya lebih suka bilang ini anak presiden dan bukan anak berprestasi," ujarnya.

Menurut dia, separah-parahnya zaman orde Baru, Presiden Soeharto tidak pernah melanggar aturan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hensat kemudian juga mengkritisi alasan pembagian bantuan sosial (bansos) digelontorkan bersamaan dengan pelaksanaan pilpres.

"Parpol harus mengajak rakyat untuk melawan kecurangan pemilu dan pilpres 2024 dengan simbol warna. Sebab bahayanya kecurangan pemilu maka yang terpilih nantinya  bukan hasil sesungguhnya pilihan rakyat," kata Hensat.

Hensat menuturkan, dalam pelaksanaan pemilu, persoalannya bukan semata soal yang memilih tapi juga pihak yang menghitung perolehan suara. Dia pun memuji kubu Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD

"Saya angkat jempol TPN Ganjar-Mahfud yang terus menerus mengangkat suara soal kecurangan pemilu. Bagaimana bangsa kita mau maju kalau terjadi kecurangan pemilu dan menghasilkan pemenang pemilu yang curang," kata Hensat.

Hensat menambahkan, di pilpres kali ini dirinya cemas. Ia sulit membayangkan bagaimana mungkin seorang bapak yang menjabat presiden membiarkan anaknya kalah dalam pilpres.

"Jadi jangan berharap Jokowi akan netral. Tapi, kita harus memberikan dukungan ke KPU bahwa KPU dan segenap jajarannya akan baik-baik saja. Kalau KPU jujur dan tidak terjadi seperti apa yang terjadi di MK," imbuhnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya