Pakar: Hak Angket Itu Operasi Sesar yang Tidak Dikenal Dalam Penyelesaian Sengketa Pemilu Kita

Sumber :
  • VIVA.co.id/Edwin Firdaus

Jakarta – Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi, Fahri Bachmid, menanggapi wacana penggunaan hak angket oleh DPR RI untuk mengusut dugaan kecurangan pada Pemilu 2024. Capres Ganjar Pranowo mengusulkan ini. Sejumlah politisi PDIP juga menyuarakan ini.

Pengamat: PKB Bisa Saja Balas Budi dengan Dukung Calon PKS Sohibul Iman di Pilgub Jakarta

Untuk diketahui, hak angket adalah salah satu hak yang dimiliki DPR RI. Ini dilakukan, untuk mengusut atau melakukan penyelidikan terhadap suatu pelaksanaan perundang-undangan atau kebijakan pemerintah yang berdampak luas, dan diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.  

Menurut Fahri, pada hakikatnya pembentuk UUD telah meletakan mekanisme checks and balances dalam konteks relasi kelembagaan serta kewenangan atributif yang dimiliki oleh entitas lembaga negara, dalam penyelenggaraan negara. Termasuk DPR, Presiden, MK maupun KPU dalam rangka penyelenggaraan pemilu. 

Hadiri Sidang Forum Indonesia-Pasifik, Jokowi: Kemitraan Ini Penting untuk Hadapi Tantangan Global

Sehingga, lanjut dia, bangunan konstitusionalnya dapat dicermati pada kaidah Pasal 20A, yakni dalam melaksanakan fungsinya, DPR diperlengkapi dengan alat yang dinamakan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Namun, dalam konteks pengawasan terhadap lembaga eksekutif dalam menjalankan pemerintahan negara, bukan dimaksudkan untuk menilai atau membahas terkait proses atau hasil pemilu dengan segala implikasinya. 

Sedangkan konstruksi norma Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 tentang Pemilu, telah mengatur bahwa "Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.” 

KPU Dilaporkan ke DKPP terkait PKPU Nomor 8 Tahun 2024 karena Abaikan Putusan MK

Sehingga, dengan demikian, jika DPR mencoba membuat kebijakan ekstensifikasi kewenangannya termasuk menggunakan alat angket untuk menilai serta menyelidiki proses serta produk pemilu itu sendiri, kata dia adalah jalan yang keliru.

Tidak saja keliru, tetapi juga jauh dari prinsip konstitusi, yang telah secara tegas meletakan diferensiasi kewenangan konstitusional pada masing-masing lembaga negara. 

Fahri Bachmid menjelaskan, bahwa relasi penyelesaian sengketa pemilu telah ditentukan secara limitatif dalam konstitusi itu sendiri. Lagi pula, ditekankan Fahri, kanal penyelesaian secara konstitusional tidak dikenal digunakan di luar dari yang telah ditentukan. 

Menurutnya, ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 telah menegaskan bahwa MK berwenang memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Karena itu, menurutnya, jalan tersebut yang mestinya digunakan. Sebab jika angket yang mau dipaksakan maka tentu itu sangat destruktif terhadap sistem ketatanegaraan. 

“Angket adalah operasi sesar yang tidak dikenal dalam sistem penyelesaian sengketa pemilu di republik ini, tidak ada dalam kerangka hukum pemilu kita,” ujarnya kepada wartawan, Kamis, 22 Februari 2024.. 

Fahri Bachmid menambahkan, bahwa hak angket adalah suatu instrumen yang diberikan kepada DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintah yang dianggap memiliki dampak penting, strategis, dan luas pada kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara serta diduga melanggar peraturan perundang-undangan.

Landasan konstitusional penggunaan hak angket didasarkan pada UUD 1945, khususnya ketentuan Pasal 20A ayat (2), dan secara derivatif, pranata hak angket DPR mengacu pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD beserta Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014.

Fahri menguraikan bahwa dalam kerangka hukum tata negara, Hak Angket, bersama dengan Hak Menyatakan Pendapat dan Hak Interpelasi, adalah instrumen pengawasan legislatif terhadap berbagai kebijakan yang diambil oleh eksekutif atau pemerintah. Namun, dalam konteks permasalahan Pemilu, Fahri berpendapat bahwa penggunaan Hak Angket tersebut adalah absurd serta tentunya inkonstitusional. 

“Karena tidak dikenal dalam bangunan hukum pemilu kita. Penjelasan dalam Pasal 79 ayat (3) UU RI No. 17/2014 tentang MD3 dengan jelas juga menyatakan bahwa Hak Angket dimaksudkan untuk mengawasi lembaga eksekutif, yang mencakup Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, dan pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian,” ujarnya. 

Dengan demikian, ditegaskannya, jika Hak Angket digunakan sebagai alat untuk mengurai permasalahan Pemilu, maka pada hakikatnya itu telah masuk pada ranah sengketa Pemilu, yang tentunya merupakan yurisdiksi pengadilan, yang mana penyelesaiannya merupakan kompetensi absolut MK, bukan DPR. 

Fahri lalu menyarankan, agar para pihak yang tidak puas dengan hasil pemilu terutama Pilpres 2024, untuk tertib menggunakan instrumen hukum atau kerangka hukum pemilu yang tersedia. Menurutnya, ada banyak saluran konstitusional yang dapat ditempuh jika merasa ada kecurangan pada pelaksanaan pemilu, yakni melalui Bawaslu, DKPP, maupun mengajukan sengketa ke MK. 

“Itu lebih genuine yang tentunya berbasis pada prinsip-prinsip konstitusionalisme,” imbuhnya. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya