Ketua DPR: Revisi UU KPK Sesuai Komitmen

Ketua DPR RI Ade Komarudin.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
VIVA.co.id
Cabut Revisi UU KPK, Demokrat Dekati PKS dan Gerindra
- Ketua DPR RI, Ade Komarudin mengaku terus memperhatikan setiap penolakan dari berbagai kalangan terhadap revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Soal Revisi UU KPK, Menteri Yasonna: Publik Salah Paham
Namun, menurut Ade, DPR tetap akan melakukan revisi undang-undang tersebut atas dasar putusan Badan Legilasi (Baleg) dan komitmen antara DPR dengan Pimpinan KPK yang lama.

Gerindra Curiga Barter Revisi UU KPK dan Pengampunan Pajak
"Saya perhatikan semua aspirasi. Tetapi, patokan saya adalah semacam komitmen yang terjadi antara pemerintah dengan KPK yang lama," katanya di gedung DPR RI, Jakarta, Kamis 11 Februari 2016.

Politikus Golkar ini menambahkan, DPR juga akan menjaga komitmen dengan merevisi hanya empat pasal sesuai dengan yang diajukan.  

"Tidak ada masalah bila empat hal itu, tidak boleh lebih. Saya akan jaga dengan baik komitmen itu. Jadi, itu komitmen institusi," tegasnya.

Ade juga mengatakan, dia memahami surat penolakan yang disampaikan pimpinan KPK ke Baleg DPR RI. 

"Saya tahu apirasi dan saya tahu di belakang itu, artinya saya dapat juga, kita harus berada pada posisi masing-masing, saya memahami itu," ungkapnya.

Terkait penolakan poin per poin dari revisi UU KPK, Ade enggan berkomentar. "Saya tidak mau mendahului materi per materi. Itu urusan nanti, kita lihat nanti perkembangan di pansus, kita di sini bukan rapat di pansus," paparnya.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly mengatakan, revisi Undang-undang KPK tetap bertumpu pada empat hal, yaitu penyadapan, penyidik independen, dewan pengawas, dan surat perintah penghentian penyidikan, atau SP3.

Sementara itu, kata Yasonna, izin penyadapan direncanakan melalui izin Dewan Pengawas KPK. Hal tersebut, menurut Politikus PDI Perjuangan ini, bakal lebih memudahkan, dibandingkan KPK harus memperoleh izin pengadilan.

"Kan, konsekuensi dari putusan MK," kata Yasonna di Istana Negara, Jakarta, Rabu 10 Februari 2016. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya