Dahlan Iskan: Saya Harus Ucapkan Selamat ke Dirut Garuda Indonesia

Dahlan Iskan di acara Indonesia Business Forum tvOne
Sumber :
  • YouTube tvOne

VIVA – Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan mengucapkan selamat kepada Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra. Hal itu terkait dengan hasil voting sidang penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) Garuda Indonesia.

Ringankan APBN, Indonesia Re Godok Skema Pembiayaan Rekonstruksi Akibat Bencana

"Saya harus mengucapkan selamat kepada Direksi Garuda Indonesia. Lebih khusus kepada dirutnya, Irfan Setiaputra," ujar Dahlan dalam catatannya dikutip VIVA dari laman Disway.id, Senin 20 Juni 2022.

Dahlan mengungkapkan itu lantaran pada Jumat kemarin, Garuda Indonesia mencapai tahap 'homologasi'. Artinya maskapai pelat merah itu berhasil lolos dari ancaman pailit. 

Dukungan BUMN Bikin Olahraga Indonesia Semakin Moncer

"Hari itu para penagih utang sudah melakukan pemungutan suara: hampir 100 persen setuju skema penundaan pembayaran utang yang diajukan direksi Garuda," tulisnya. 

Untuk diketahui, homologasi adalah istilah untuk tercapainya kesepakatan perdamaian antara kreditur dan debitur dalam proses peradilan PKPU/pailit. Menurut Dahlan, pencapaian ini adalah seseuatu yang luar biasa hebat.

Kementerian BUMN Ungkap Nasib Indofarma yang Kesulitan Bayar Gaji Karyawan

"Itu hebat sekali. Hidup Garuda! para penagih rupanya sudah berhitung: kalau Garuda dibangkrutkan mereka malah tidak mendapat apa-apa," tulis Dahlan.

Jika Garuda Pailit, Penagih Utang Hanya Dapat Sedikit

Pesawat Garuda Indonesia jenis B777-300 ER.

Photo :
  • Dok. Garuda Indonesia

Memang, sambung Dahlan, kalau Garuda Indonesia dipailitkan, seluruh asetnya harus dijual. Itu akan sangat tidak cukup untuk mengembalikan utang yang mencapai ratusan triliun. 

Kalau pun aset Garuda Indonesia itu dijual, memang harus untuk membayar utang. Namun, kata Dahlan, itu tidak dibagi rata. Urutan pertama yang harus dibayar adalah tunggakan pajak. Urutan berikutnya adalah utang ke Bank. 

"Pajak dan bank harus diutamakan. Dalam UU, itu disebut sebagai kreditur preferensi. Lalu pesangon karyawan di urutan ketiga. Habis. Rasanya tidak tidak ada lagi hasil penjualan aset itu yang masih tersisa untuk para penagih utang," kata Mantan Dirut PT PLN itu. 

Belum lagi, lanjut Dahlan, proses sampai aset itu bisa terjual akan sangat lama. Belum tentu selesai dalam 10 tahun. 

"Maka lebih baik Garuda dibiarkan hidup, mencari uang, sehat dan akhirnya bisa membayar utang. Mungkin utang itu baru akan lunas dalam 50 tahun. Atau 100 tahun. Tapi akan lunas," tulisnya. 

Itu pun bisa terjadi jika Garuda Indonesia kembali sehat dan bisa memperoleh keuntungan.  "Mungkinkah Garuda kembali sehat? Dengan keputusan tersebut harusnya bisa. Garuda kini praktis tidak terbebani pembayaran cicilan dan bunga yang berat. Pemabayran cicilan dan bunganya sudah disesuaikan dengan kemampuan keuagan Garuda yang baru. Bunganya pun sudah dipangkas," jelasnya. 

Putusan Pengadilan dan PMN untuk Garuda Indonesia

Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra.

Photo :
  • VIVA/Anry Dhanniary

Masih lanjut Dahlan, Garuda justru bersyukur digugat pailit. Apalagi putusan pengadilan itu berdasarkan kesepakatan para penagih tersebut menerima proposal direksi Garuda. 

"Maka penghasilan Garuda tidak banyak lagi dipakai bayar cicilan, sewa, bunga dan denda," katanya. 

Salah satu yang menurut Dahlan menarik dari proposal direksi Garuda itu adalah terkait adanya penambahan modal dari negara atau penyertaan modal negara (PMN). 

"Garuda akan minta tambahan modal dari pemegang saham pemerintah. Dengan PMN itu, menurut direksi, Garuda bisa take off lagi. Toh PMN itu akan aman. Agak, setidaknya tidak akan dipakai untuk membayar utang. Berarti persentase saham negara pun bisa menjadi lebih besar," paparnya.

DPR pun dinilai akan menyetujui PMN itu. Menurut Dahlan, ini adalah skema cerdas untuk menyelesaikan utang perusahaan yang sangat jumbo itu.

"Utang Garuda memang sudah terlalu besar: Rp142 triliun. utang ke 123 perusahaan persewaan pesawat saja Rp104 triliun. Kepada bank, Pertamina, Angkasa Pura, dan lain-lainnya: dibayar Rp34 triliun. Sisanya untuk yang kecil-kecil – sekecil – Rp3 triliun," ucapnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya