Petani Sawit Kirim Surat Terbuka ke Jokowi, Ini Permintaannya

Petani Sawit
Sumber :

VIVA Bisnis – Petani Sawit anggota Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mengirimkan surat terbuka untuk Presiden RI Joko Widodo. Isinya adalah permintaan mulai dari dari pencabutan Domestic Market Obligation (DMO) hingga penghapusan pungutan ekspor (PE).

Ratusan Hektare Sawah di Bombana Sultra Gagal Panen akibat Banjir, Pemkab Minta Bantuan Pusat

Surat ini disampaikan Apkasindo kepada Presiden RI Joko Widodo pada Kamis kemarin. Dalam surat tersebut, ada 5 saran kepada Pemerintah demi keberlanjutan kesejahteraan para petani dan buruh sawit. 

"Perlu dilakukan langkah strategis kebijakan dalam upaya percepatan menseimbangkan antara ketersediaan, kebutuhan dan keterjangkauan minyak goreng dengan tata kelola perkelapasawitan Indonesia," tulis surat tersebut dikutip, Jumat, 15 Juli 2022.

Polemik Hulu Migas di Area Persawahan Perlu Diselesaikan, Petani Harus Dapat Ganti Untung

Dijabarkan, pada butir pertamanya, Apkasindo menyarankan pencabutan Domestic Market Obligation (DMO), Domestic Price Obligation dan Flush Out (FO). Sebab, ketiga beban ini dianggap sudah tidak efektif pada saat ini.

Petani kelapa sawit memanen tandan buah kelapa sawit saat banjir di Kabupaten Kampar, Riau (Fotoi ilustrasi).

Photo :
  • ANTARA FOTO/Hadly V
Pencurian TBS Kelapa Sawit Makin Marak, Gapki: Ganggu Iklim Investasi

Berikutnya, peniadaan Pungutan Ekspor (PE) dan Bea Keluar (BK) untuk sementara waktu pun perlu dilakukan. Atau paling tidak, Pemerintah dapat melakukan penurunan PE dari US$200 menjadi US$100 dan menurunkan Bea Keluar dari US$288 menjadi US$100 serta menghapus Flush Out US$200 per ton.

"Asumsi yang digunakan adalah jika beban CPO sudah diturunkan maka harga CPO domestik akan terangkat, harga TBS kembali baik, Ekspor akan kembali lancar, dan kondisi saat ini harga Minyak Bumi di atas harga CPO," tambahnya.

Selain itu, Pemerintah dapat melakukan peningkatan konsumsi CPO dalam negeri melalui memberlakukan mandatori Biodiesel dari B30 ke B40. Hal ini dilakukan untuk menjaga supaya harga CPO global tidak terkoreksi (turun) akibat ekspor (stok CPO Indonesia).

"Supaya ketersediaan CPO dalam negeri yang diperkirakan mencapai 7 juta ton bisa segera terserap paling tidak 3 juta ton untuk peningkatan dari B30 ke B40," ungkapnya.

Lebih lanjut Apkasindo juga memerintahkan Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian dan Kementerian BUMN melakukan pengawasan melekat kepada Kantor Pemasaran Bersama (KPBN).

Supaya proses tender di KPBN patuh terhadap harga referensi Kementerian Perdagangan sebagaimana diatur dalam Permendag No.55 Tahun 2015. Dan, memastikan tidak ada yang mengambil keuntungan sepihak di masa pemulihan ini.

Pada butir terakhir atau yang kelima, para petani sawit ini meminta Kementerian Pertanian untuk segara merevisi Permentan 01 Tahun 2018 tentang Tataniaga TBS. Sebab, ternyata Permentan ini hanya diperuntukkan bagi Petani yang bermitra.

"Faktanya luas kebun petani yang bermitra tidak lebih dari 7 persen dari total luas perkebunan rakyat (6,72 juta hektare), sisanya adalah petani swadaya yang melakukan usahataninya secara mandiri dan menggunakan harga referensi Kemendag untuk menjadi referensi perhitungan tandan buah segar (TBS)," tulis surat itu.

Dalam surat tersebut Apkasindo juga menjabarkan kondisi di lapangan. Khususnya mengenai harga TBS yang tengah mengancam kesejahteraan petani dan buruh sawit. 

"Kondisi petani sawit saat ini sangat memprihatinkan karena harga TBS (tandan buah sawit) di PKS berada pada angka rerata Rp.800/kg TBS untuk petani swadaya dan Rp.1.200/kg untuk petani bermitra. Harga ini akan lebih 
rendah jika petani sawit menjualnya ke pedagang pengumpul yaitu kisaran Rp.300-600/kg TBS," bebernya.

Padahal biaya produksi (HPP) saat ini sudah mencapai Rp.1.850-Rp.2.250/kg. Di mana enam bulan lalu biaya produksinya hanya Rp.1.200/kg. Kenaikan biaya produksi ini cenderung diakibatkan kenaikan saprodi, terkhusus pupuk dan herbisida yang sudah mencapai 300 persen. 

Harga pupuk tidak terkendali dan tidak ada kebijakan kementerian terkait untuk mengendalikannya, padahal komponen Pupuk 60 persen dari total biaya produksi TBS (HPP).

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya