Geger, Penemuan Tikus Kawin Sesama Jenis Bisa Beranak

Ilustrasi tikus.
Sumber :
  • Pexels/Denitsa Kireva

VIVA Sainstek – Temuan terbaru, para ilmuwan telah menciptakan kelahiran seekor tikus dari dua orang tua biologis berjenis kelamin laki-laki. Temuan ini adalah yang pertama dalam sejarah, dan menjadi sebuah hal yang penting dalam reproduksi biologi.

Terungkap! Penemuan Rumah Leluhur Umat Manusia Menggemparkan Dunia

Temuan ini dicapai oleh tim yang dipimpin oleh Katsuhiko Hayashi, seorang profesor biologi genom di Universitas Osaka di Jepang. Menurut penelitian yang diterbitkan 15 Maret di jurnal Nature, ia berhasil menghasilkan telur dari sel kulit tikus jantaan yang ketika ditanamkan pada tikus betina, menghasilkan anak tikus yang sehat.

Ilustrasi tikus.

Photo :
  • Pexels/Denitsa Kireva
Berapa Usia Seseorang Dianggap Tua?

Penelitian proof-of-concept, puncak dari kerja laboratorium yang menyakitkan selama bertahun-tahun, dapat memperluas kemungkinan untuk penanganan kesuburan di masa depan. Termasuk untuk pasangan sesama jenis, dan mungkin membantu mencegah kepunahan hewan yang terancam punah.

Namun, para ilmuwan memperingatkan masih banyak yang harus dipelajari sebelum sel yang dibiakkan dapat digunakan untuk membuat telur manusia di piring laboratorium.

Mengenal Dickmorphia, Istilah Bagi Kaum Pria yang Khawatir dengan Ukuran Penis Kecil

"Diperkirakan aplikasi ke manusia membutuhkan waktu lama, mungkin 10 tahun atau lebih. Kalaupun diterapkan, kita tidak pernah tahu apakah telur tersebut cukup aman untuk menghasilkan (seorang) bayi," kata Hayashi, dikutip dari CNN Internasional, Senin, 3 April 2023.

Sel kulit diprogram ulang dari ekor tikus

Kembali lagi ke soal penemuan terbaru, para peneliti mengambil sel kulit dari ekor tikus lab jantan dewasa. Seperti pada manusia jantan, sel kulit tikus juga mengandung satu kromosom X dan satu Y.

Peneliti mengubahnya menjadi sel punca pluripoten yang diinduksi, atau iPSCs, yakni sejenis sel yang telah diprogram ulang oleh para ilmuwan menjadi keadaan embrionik.

Proses rekayasa genetika ini, yang memperkenalkan gen spesifik untuk membuat sel yang meniru sel punca embrionik. Ini dipelopori oleh ilmuwan pemenang Nobel Prize Shinya Yamanaka.

Ilustrasi tikus raksasa Uromys vika

Photo :
  • www.independent.co.uk/Velizar Simeonovski, The Field Museum

Hayashi menerangkan, ketika iPSC dibiakkan di laboratorium, beberapa secara spontan kehilangan kromosom Y yang tidak penting untuk pertumbuhan jenis sel khusus ini. Kemudian akan iPSC akan menghasilkan sel "XO".

Para peneliti membiakkan sel-sel XO dan menemukan bahwa beberapa sel mengembangkan dua kromosom X sebagai akibat dari kesalahan pembelahan sel. Sehingga mereka menjadi perempuan secara kromosom. Para peneliti menemukan, mengobati sel XO dengan senyawa yang disebut reversine meningkatkan jumlah sel XX.

Dari sana, tim mengubah sel XX menjadi sel germinal primordial, pelopor telur dan sperma, yang kemudian diprogram dengan sinyal untuk mengubahnya menjadi sel telur. Setelah dibuahi dengan sperma dan ditanamkan ke dalam rahim tikus, sel telur menghasilkan keturunan hidup.

"Penelitian ini sangat rapi karena mengambil keuntungan dari kesalahan yang diketahui terjadi selama pembiakan sel XY, yang menyebabkan hilangnya kromosom Y dan selanjutnya mendapatkan kromosom X kedua, menghasilkan sel XX yang mampu menghasilkan sel hidup keturunan," kata Rod Mitchell, seorang profesor endokrinologi perkembangan di MRC Center for Reproductive Health di University of Edinburgh di Skotlandia. Dia tidak terlibat dalam penelitian ini.

Ilustrasi tikus.

Photo :
  • Pixabay/sipa

Mitchell menambahkan, penerapan penelitian ini untuk manusia masih harus ditinjau lebih lanjut. Langkah terakhir penelitian yang diperlukan untuk mengubah sel germinal menjadi telur belum dapat direproduksi secara andal menggunakan sel manusia.

Adapun hanya 7 dari 630 embrio tikus yang ditanamkan yang menghasilkan anak tikus. Hayashi mengatakan tingkat keberhasilan yang rendah ini sekitar 1% tidak sampai pada proses konversi kromosom seks tetapi kenyataan bahwa sel yang dibiakkan di laboratorium biasanya lebih rendah daripada yang dibiakkan pada hewan hidup.

"Ini karena kondisi sistem budidaya yang belum optimal. Apalagi jika masa pembiakannya lama (dalam hal ini 5-6 minggu), maka potensi selnya terganggu," kata Hayashi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya