Data Konsumen Transportasi Online Rawan Disalahgunakan

Papan larangan Gojek, GrabBike dan Uber Taxi.
Sumber :
  • Viva.co.id/Boby Andalan

VIVA.co.id – Ahli digital forensik Indonesia, Ruby Alamsyah, mengungkapkan adanya bahaya yang mengintai konsumen pengguna jasa transportasi berbasis aplikasi, terkait data pribadi yang mereka masukkan secara sukarela saat mendaftar penggunaan aplikasi.

Nyerah karena COVID-19, Aplikasi Transportasi Online Pilih PHK Massal

Data itu bisa secara bebas digunakan oleh perusahaan pengelola aplikasi, tanpa bisa mendapatkan perlindungan dari negara. Hal ini karena di Indonesia belum ada payung hukum yang mengatur mengenai perlindungan data pribadi.

"Mereka melakukan itu, (aplikasi) Grab, Uber, melakukan pengumpulan big data analisis, data intelijen itu semua, dan tidak bisa dilawan," jelas Ruby dalam acara Indonesia Lawyers Club di tvOne, Selasa, 15 Maret 2016.

Grab 'Bakar Duit' Rp7 Triliun di Vietnam, Takut Disalip Gojek

Tindakan pengumpulan data ini bisa diperjualbelikan pada perusahaan untuk mensurvei pangsa pasar mereka. Termasuk menyuguhkan iklan sesuai kebutuhan profil produk yang akan ditawarkan.

"Jadi kenapa Google besar dari advertising, mereka bisa memberikan data agar perusahaan bisa mengiklankan secara tepat," jelasnya.

Pesaing Gojek dan Grab Janji Tidak Menaikkan Tarif saat 'Rush Hour'

Saat ini, semua data konsumen yang sudah mendaftarkan diri secara sukarela, tersimpan di sebuah server yang lokasinya berada di luar negeri. Namun, negara tidak bisa memberikan garansi keamanan terhadap data itu, karena sepenuhnya menjadi milik perusahaan. 

"Apakah sisi itu akan melanggar kedaulatan negara atau privasi warga negara kita," katanya.

Untuk itu, dia menyarankan pemerintah agar terlebih dulu memberikan ketegasan pada perusahaan penyedia jasa transportasi berbasis aplikasi, agar menentukan bidang jasa mereka di transportasi atau teknologi. Hal ini untuk membuat aturan turunan mengenai persoalan ini.

"Kalau mau lihat playing field setara, mesti diputuskan ini perusahaan teknologi atau transportasi, kalau mau disatukan harus ada peraturan khusus," tuturnya.

Ruby pun meminta pemerintah bertindak secara tepat, agar masyarakat memiliki kejelasan dan merasa aman saat menggunakan jasa transportasi. "Saya tidak setuju dimatikan, tapi mesti dicari yang pas, dikembalikan ke spiritnya mau main ke mana," ujar Ruby.

Senada dengan Ruby, Inosentius Samsul, ahli hukum perlindungan konsumen, mengungkapkan tanpa kejelasan aturan, maka konsumen tidak memiliki jaminan atau pegangan hukum ketika menghadapi masalah terkait transportasi berbasis aplikasi.

"Status hukum pelaku usaha penting, misalnya tanggung jawab, katakan pengguna jasa harus jelas statusnya apa memiliki izin, sehingga ketika ada persoalan konsumen bisa menjawab," kata Inosentius.

Konsumen juga tidak bisa menggugat perusahaan penyedia jasa transportasi berbasis aplikasi ini, saat mereka merasa dirugikan karena datanya digunakan untuk kepentingan perusahaan. 

"Kita belum memiliki undang-undang perlindungan data pribadi, karena penggunaaan aplikasi adalah penggunaan teknologi menggunakan pendaftaran dan data pribadi digunakan di sana, persoalan kalau data itu disalahgunakan, sampai sekarang tidak ada perlindungan," bebernya. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya