Bos Huawei Ditangkap, Pengamat: Bahaya Sebenarnya adalah Trump

Sejumlah pengunjung menjajal perangkat ponsel buatan Huawei.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Agus Tri Haryanto

VIVA – Konflik Amerika Serikat dengan China makin meruncing. Puncaknya, penangkapan Direktur Keuangan Huawei, Meng Wanzhou, pada Jumat, 7 Desember lalu, di Kanada.

Soal Lemahnya Penegakkan Aturan ke Tiktok, Ekonom Singgung Ambisi Jalur Sutra Tiongkok

Satu sisi, langkah ini dinilai sejumlah pihak sangat berbahaya bagi pemerintahan Presiden Donald John Trump. Namun, sisi lain, AS seraya ingin menunjukkan ke China, khususnya, dan dunia bahwa dia lah satu-satunya negara superpower. Meski hal itu mendorong dunia ke arah bencana.

Mengutip tulisan guru besar politik asal AS, Jeffrey D. Sachs dari situs Project-syndicate, Jumat, 14 Desember 2018, AS tidak gegabah dalam membuat skenario penangkapan Meng.

Hajar China, Indonesia Juara EA Sports FC Pro Mobile Festival 2024

Paman Sam meminta Kanada, tetangga sedulurnya, menangkap Meng di Bandara Internasional Vancouver dalam perjalanan dari Hong Kong ke Meksiko.

Usai ditangkap, Meng langsung diekstradisi ke AS. Langkah semacam ini, menurut Sachs, sama dengan mendeklarasi 'perang' AS dengan komunitas bisnis China. Alasan Meng ditangkap lantaran Huawei dituding melanggar sanksi AS terhadap Iran.

Samsung Bakal Keluarin Ponsel Lipat Murah, Catat Waktunya

Sachs merasa heran dengan penangkapan Meng, karena AS sangat jarang menangkap para pejabat perusahaan, baik di AS maupun asing, atas dugaan kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan mereka.

Efek kejut yang luar biasa

Eksekutif perusahaan biasanya ditangkap karena dugaan kejahatan pribadi, seperti penggelapan, penyuapan, atau kekerasan, ketimbang dugaan penyimpangan perusahaan yang mereka pimpin. "Tapi, untuk kasus Meng ini sangat berbeda," ungkapnya.

Pada 2011, misalnya. JP Morgan Chase membayar denda sebesar US$88,3 juta, karena melanggar sanksi AS terhadap Kuba, Iran, dan Sudan. Meski begitu, Kepala Eksekutif JP Morgan Chase, Jamie Dimon, tidak pernah dicokok pihak berwajib, apalagi ditahan.

JP Morgan Chase tidak sendirian. Sejak 2010, deretan lembaga keuangan kakap global harus membayar denda karena melanggar sanksi AS, di antaranya Banco do Brasil, Bank of America, Bank of Guam, Bank of Moscow, Bank Tokyo-Mitsubishi, Barclays, BNP Paribas, Clearstream Banking, Commerzbank, Compass, dan Credit Agricole.

Selanjutnya, Deutsche Bank, HSBC, ING, Intesa Sanpaolo, Bank National Abu Dhabi, National Bank of Pakistan, PayPal, RBS (ABN Amro), Société Générale, Toronto-Dominion Bank, Trans-Pacific National Bank (sekarang dikenal sebagai Beacon Business Bank), Standard Chartered, dan Wells Fargo.

Dari sekian banyak lembaga keuangan kakap global yang diberi sanksi, tidak satu pun dari CEO maupun CFO ini ditangkap dan ditahan akibat pelanggaran tersebut. Jika pun dinyatakan bersalah, kebanyakan hanya terkena sanksi perdata, membayar denda.

Berdasarkan catatan ini, Sachs beranggapan bahwa penangkapan Meng ibarat 'memberikan efek kejut yang luar biasa'. Tak bisa dipungkiri bahwa tindakan AS terhadap Meng benar-benar bagian dari upaya pemerintahan Trump yang lebih luas untuk merusak ekonomi China.

Negara itu ingin adanya persamaan tarif, menutup pasar Barat untuk ekspor teknologi tinggi ke China, serta menghalang-halangi China untuk membeli perusahaan-perusahaan teknologi AS dan Eropa.

Sedangkan, Huawei adalah salah satu perusahaan teknologi paling penting di China. Oleh karena itu, pemerintahan Trump punya dua target, apakah memperlambat atau menghentikan kemajuan ekonomi China, ke dalam beberapa sektor, seperti teknologi tinggi.

"Motivasinya, apalagi, kalau bukan sebagai bagian dari strategi geopolitik dan geoekonomi AS," jelas Sachs. Terlebih, aksi AS ini tidak ada kaitannya dengan penegakan aturan hukum internasional.

Tak ada 'Dua Matahari'

Harus diingat juga, AS merasa khawatir dengan kemajuan Huawei yang berhasil menciptakan dan memasarkan teknologi mutakhir 5G secara global. Paman Sam mengklaim jika Huawei bisa menimbulkan risiko keamanan tertentu melalui kemampuan pengawasan tersembunyi di perangkat keras dan perangkat lunaknya.

Namun, seperti ciri khas pemerintah AS pada umumnya, klaim tersebut tidak bisa dibuktikan dengan benar. Tapi, sekali lagi, AS ingin tidak ada negara satu pun di dunia yang berupaya menyamai, apalagi melebihinya. China adalah ancaman nyata bagi Paman Sam.

Sachs mengingatkan pula jika apa yang dilakukan AS ini sangat tidak dibenarkan dan tidak boleh ditegakkan oleh satu negara saja. Tetapi, harus menurut kesepakatan yang dicapai lewat keputusan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Contohnya, Resolusi Dewan Keamanan PBB 2231, yang meminta semua negara untuk menjatuhkan sanksi terhadap Iran sebagai bagian dari perjanjian nuklir Iran 2015. Akan tetapi, AS menolak peran DK PBB dalam menyelesaikan masalah seperti itu.

Dengan demikian, Sachs memandang bahwa pemerintahan Trump lah, bukan Huawei maupun China, yang merupakan ancaman terbesar dan nyata saat ini terhadap semua aturan hukum internasional. Hal ini pula yang menjegal terciptanya perdamaian global.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya