Kasus Pelajar SD Terancam Buta Permanen di Jombang Dapat Sorotan Aktivis Anak

Orang tua korban saat menunjukkan rekam medis dokter mata.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Uki Rama (Malang)

VIVA – Kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di lingkungan Sekolah Dasar (SD) yang ada di Kabupaten Jombang Jawa Timur mendapat perhatian serius dari aktivis pemerhati anak.

HUT Ke-129, BRI Luncurkan Web Series Pakai Hati Reborn Angkat Tema “Champion of Financial Inclusion”

Hal ini dikarenakan peristiwa nahas yang dialami pelajar kelas 4 sekolah dasar bukanlah yang pertama kali terjadi di kota santri.

Ketua Lembaga perlindungan Anak (LPA) Jombang, Solahudin mengatakan, berdasarkan catatan LPA peristiwa kekerasan yang dialami anak tercatat sebanyak 3 kali. Terakhir yang dialami siswa SD yang nyaris buta permanen itu.

Usulan Tugu Anti-Kekerasan di Bangkalan: DPR RI Dorong Simbol Perdamaian di Madura

"Kasus ini harus jadi yang terakhir dan evaluasi bersama. Dari catatan kami, ada tiga kasus menonjol, pertama di Kabuh anak SD, satu lagi di salah satu SLB kasusnya penusukan dan ketiga yang matanya rusak di SD juga ini," kata Solahudin, Kamis, 22 Februari 2024.

Ia menegaskan, rentetan tiga kasus menonjol itu harusnya jadi bahan evaluasi bersama, baik untuk sekolah, orang tua siswa hingga pemerintah daerah. Terutama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat.

Anggota Dewan Usul yang Terlibat Tawuran Dihukum Ikut Pendidikan Militer

"Bagi sekolah, tiga kasus itu harusnya jadi pelajaran penting bagaimana mengelola siswa dengan lebih baik saat jam kosong pelajaran atau waktu kosong pergantian guru. Karena tiga kasus itu seluruhnya terjadi di saat guru sedang tidak di kelas, entah waktu istirhat ataupun pergantian guru," ujar Solahudin.

Selain itu, Solahudin menuturkan sudah selayaknya pihak sekolah menjaga kenyamanan siswa dengan menjauhkan benda-benda yang bisa membahayakan bagi siswa.

"Misalnya benda tajam, mungkin bagi kita orang dewasa, itu aman saja, tapi buat anak yang mereka tidak mengerti dan lepas kontrl, bisa jadi benda yang membahayakan," tutur Solahudin. 

Ia menyebut peran sekolah untuk melakukan reaksi cepat dan tepat pun harusnya diperhatikan. Misalnya dengan cepat memberitahukan kondisinya ke orang tua dan penanganan maksimalnya termasuk jaminan keberlangsungan masa depan anak.

"Dengan itu, diharapkan orang tua cepat tahu dan ada tindakan, kalau memang UKS di sekolah tidak layak ya sudah seharusnya cepat dibawa ke lokasi pengobatan terdekat, agar tidak jadi masalah di kemudian hari," kata Solahudin. 

Sementara itu bagi orang tua, Solahudin menyoroti kasus ini juga harusnya jadi pelajaran bagaimana memperhatikan perkembangan dan perilaku anak. Karena hal ini sangat penting dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya hal serupa.

"Terlebih, dari beberapa kasus yang ada, kekerasan itu dilakukan atas dasar ketidaksengajaan namun karena pengetahuan anak akan kekerasan," tuturnya.

Ia pun mencontohkan salah satu kasus yang terjadi sebelum siswa SD Plus Darul Ulum Jombang terjadi.

"Seperti kasus di SLB itu, anaknya ini tuna grahita namun dia mengonsumsi game online yang berbau kekerasan, dan itu berdampak pada perilaku anaknya yang terdorong melakukan kekerasan. Karenanya, pendidikan dan pengawasan dari keluarga selalu menjadi unit terdekat dari anak juga harus dilakukan," ujar Solahudin. 

Sedangkan bagi pemerintah, Solahudin menyebut dari tiga kasus itu pelajaran pentingnya adalah bagaimana pengelolaan sekolah tak boleh sembarangan. UKS sebagai unit kesehatan terdekat di sekolah, harus benar-benar dioptimalkan.

"UKS yang ada kebanyakan masih hanya sekadar syarat pelengkap saja untuk penilaian sekolah. Tapi didalamnya cuma ruangan kosong yang isinya balsam dan minyak kayu putih saja misalnya, ini harusnya tidak boleh lagi," tuturnya.

UKS sebagai klinik dasar, harusnya mempunyai tenaga yang mumpuni dan peralatan standa yang bisa memberikan pertolongan pertama. 

"Pengobatan dan penanganan lanjutan tentu fungsi klinik, tapi minimal dengan alat dan fasilitas yang standar, ini bisa mencegah lebih dini akan pemburukan kondisi," katanya.

Selain itu, rekrutmen guru BK dan penempatan guru BK yang baik juga harusny jadi perhatian pemerintah. Terlebih, selama ini di sejumlah sekolah guru BK masih dianggap sebagai polisi sekolah.

"Padahal seharusnya guru BK ini sifatnya adalah konselor, otomatis minimal basicnya adalah psikologi, dengan itu dia tugasnya sesuai dan bisa mengarahkan anak yang punya kecenderungan lain," ujarnya.

Pihaknya juga berharap, kasus ini menjadi kasus terakhir di Jombang dan tak terulang lagi. Terlebih, dalam kasus seperti ini, anak sebagai terlapor tak akan bisa diproses hukum.

"Jadi sesuai aturan, jika pelaku di bawah 12 tahun ya memang akan dikembalikan ke orang tua. Karena itu, pencegahan yang harus didahulukan, agar tidak ada yang merasa dirugikan atau tidak mendapat keadilan," tuturnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, seorang pelajar di Jombang dinyatakan mata kanannya terancam mengalami buta permanen, usai tak sengaja terlempar kayu teman sekelasnya.

Peristiwa itu dialami korban pada 9 Januari 2024 kemarin. Saat itu, para siswa sekolah dasar tengah menunggu jam pergantian pelajaran.

Baca artikel Edukasi menarik lainnya di tautan ini.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya