KPAI Sorot Hukuman AG dalam Kasus Mario Dandy: Perlakukan Secara Manusiawi

Sidang Vonis, AG Pacar Mario Dandy Divonis 3,5 Tahun Penjara
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA Lifestyle – Kasus penganiayaan Mario Dandy terhadap David Ozora melibatkan anak di bawah umur, AG (Agnes). Meski sempat disorot mengenai persetubuhannya AG dan Mario Dandy yang diduga memicu konflik penganiayaan, namun Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai bahwa korban anak berhak diperlakukan adil agar tak ada trauma yang dialami.

Kejari Jaksel Blak-blakan soal Nasib Rubicon Mario Dandy Pasca Gak Laku Dilelang

Sebelumnya, Majelis Hakim Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis terhadap terdakwa AG selama tiga tahun enam bulan setelah dirinya bersalah dalam kasus penganiayaan berencana bersama Mario Dandy terhadap David Ozora.

"Menyatakan anak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan penganiayaan berat dengan rencana terlebih dahulu sebagaimana dalam dakwaan primer. Menjatuhkan pidana terhadap anak dengan pidana penjara pidana selama 3 tahun 6 bulan di LPKA," ungkapan Sri Wahyuni Batubara, Ketua Hakim Pengadilan.

Irak Sahkan UU Anti LGBT, Melanggar Bisa Dipenjara 15 Tahun

Sidang Vonis, AG Pacar Mario Dandy Divonis 3,5 Tahun Penjara

Photo :
  • VIVA/M Ali Wafa

Dalam persidangan, Ketua Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjelaskan bawa AG terbukti hanya mengarang cerita mengenai klaim dirinya yang diperkosa oleh David Ozora. Karena dia tidak trauma dan malah melakukan hubungan intim dengan Mario Dandy.

Viral Remaja Aniaya Bocah di Bandung, Ngaku Keponakan Jenderal TNI

"Pengakuan anak tersebut mengenai dipaksa itu tidak benar, karena ketika seorang anak dipaksa berhubungan, maka akan mengalami trauma. Sedangkan anak tidak mengalami trauma," ujar Sri.

KPAI menilai bahwa anak berhadapan hukum diperlakukan secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak (Pasal 64 UU Perlindungan Anak). Semangat sistem peradilan pidana adalah menjauhkan dampak buruk peradilan pidana terhadap anak. Sehingga digunakan pendekatan keadilan restoratif yang menganut prinsip proporsionalitas dan menghindarkan pembalasan sesuai amanah Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 

"Penjatuhan pidana pada anak mendukung pemulihan dan perubahan perilaku anak, bukan dalam rangka memberikan efek jera," tutur Anggota KPAI Kluster Anak Berhadapan Hukum; Anak Korban Kekerasaan Seksual; Anak Minoritas dan Terisolasi, Dian Sasmita, dalam keterangannya.

Perkara pidana yang melibatkan anak marak beberapa bulan terakhir, salah satunya adalah anak AG yang tersangkut dalam kasus penganiayaan. Oleh karenanya proses peradilan pidana anak bersifat khusus dan berfokus pada masa depan anak. KPAI sepakat dengan proses hukum sebagai aspek pendidikan dan mendukung tanggung jawab anak atas kesalahannya. 

"Namun proses hukum tersebut harus dipastikan tidak melanggar hak anak dan serius mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak," terangnya.

Sidang Vonis, Pacar Mario Dandy Divonis 3,5 Tahun Penjara

Photo :
  • VIVA/M Ali Wafa

Beberapa hal yang menjadi perhatian KPAI terkait persidangan AG seperti identitas anak berhadapan hukum wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak dan elektronik. Yang termasuk identitas anak adalah nama, alamat, nama orang tua, nama sekolah, termasuk wajah anak. 

"Berdasarkan hasil pemantauan media, terdapat beberapa media online dan televisi yang mencantumkan identitas anak secara jelas dan rinci terhadap anak dan keluarganya. Praktek ini telah melanggar Pasal 19 UU SPPA dan ancaman pidana paling lama 5 tahun dan denda Rp200 juta (Pasal 97 UU SPPA)," tambah Dian Sasmita.

Perihal lainnya berupa pemeriksaan anak selama di kepolisian menyita perhatian publik. Tampak kerumunan media yang mencegat AG ketika hendak masuk ke mobil. Keterangan psikolog dan pekerja sosial pendamping AG menyebutkan kejadian tersebut membuat anak trauma. 

"Selain itu, berdasarkan keterangan kuasa hukum, terdapat beberapa surat terdakwa Mario kepada AG yang difasilitasi oknum penyidik menjadi konsumsi publik. Setiap anak yang berhadapan hukum memiliki hak untuk dihindarkan dari publikasi identitasnya dan pemberian kehidupan pribadi (Pasal 7 PP no.78 tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak)," terangnya.

Selain itu, General Comment no 24 tahun 2019 dari Komite Hak-hak Anak menyebutkan putusan di persidangan terbuka namun identitas anak harus tetap dirahasiakan. Tak hanya itu, pertimbangan hakim yang dibacakan dalam sidang terbuka menyebutkan aktivitas seksual anak dengan Mario (terdakwa dewasa) cenderung rinci, bertentangan dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yakni berperilaku arif dan bijaksana. 

"Di mana hakim diharapkan memiliki sikap tenggang rasa yang tinggi, hati-hati, dan memperhitungkan akibat dari tindakannya. Dampak dari pembacaan tersebut adalah meningkatnya frekuensi labelling pada anak," bebernya.

Berdasarkan pengawasan KPAI pada saat persidangan dan dikonfirmasi oleh Kuasa Hukum AG bahwa bukti petunjuk berupa analisis pemeriksaan dari psikolog forensik terhadap AG tidak disampaikan di persidangan (nihil). Padahal sebelumnya AG telah diperiksa psikolog forensik sebanyak 3 (tiga) kali. 

Hasil telaah psikologis anak menjadi penting, selain hasil penelitian kemasyarakatan (Litmas) Bapas, karena dua dokumen tersebut membantu aparat penegak hukum melihat kondisi psikis dan sosial anak secara utuh. Perbuatan anak tidak pernah bebas dari pengaruh di luar dirinya.

Hal yang juga disorot berupa perampasan kemerdekaan anak adalah upaya terakhir dan sesingkat mungkin (Pasal 37 ayat B Konvensi Hak Anak). Umur kurang dari 18 tahun adalah periode perkembangan kepribadian, hubungan emosional dengan sesama, kecakapan sosial dan pendidikan, serta talenta anak. Oleh karenanya UU SPPA memberikan banyak pilihan lain dalam pidana pokok untuk perkara anak, dan menempatkan pidana penjara sebagai urutan terakhir. 

"Penempatan AG di LPKS selama proses hukum telah tepat karena anak mendapatkan pendampingan psikososial oleh psikolog dan pekerja sosial. Namun vonis AG berupa pidana penjara di LPKA justru menghambat keberlanjutan rehabilitasi psikososial anak. Karena keterbatasan sarana kamar anak perempuan dan belum adanya psikolog di LPKA," tandasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya