Gejala TBC Mirip COVID-19, Pahami Perbedaannya

Ilustrasi COVID-19/virus corona
Sumber :
  • Pixabay/Tumisu

VIVA – Dokter Spesialis Paru dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan Erlina Burhan menuturkan bahwa kasus tuberkulosis (TBC) masih menjadi permasalahan yang sulit dituntaskan. Apalagi, pandemi COVID-19 yang melanda selama dua tahun terakhir membuat pasien takut datang ke rumah sakit.

Heru Budi Ingatkan Petugas Kesehatan Jangan Tolak Pasien TBC dari Luar Jakarta

Padahal, Erlina menegaskan bahwa berkurangnya waktu pasien TBC untuk rutin konsultasi menambah risiko kematian. Tak heran, risiko penularan juga bisa terjadi secara besar-besaran sehingga target pencapaian eliminasi TBC gagal dilakukan.

"Dampaknya karena pandemi adalah menambah kematian, transmisi dan target eliminasi TBC bagaimana? Kita tidak bisa mencapainya. Kita harus ganti segalanya dalam langkah target tersebut," tutur Erlina dalam acara virtual 1st Health Working Group Side Event on Tuberculosis-Day 2, Rabu 30 Maret 2022.

Kasus TBC di DKI Cukup Tinggi, Heru Budi Minta Camat Hingga Lurah Turun

Tingginya penularan TBC juga, kata Erlina, tak bisa diredam lantaran banyak orang takut memeriksakan diri ke rumah sakit. Apalagi di awal pandemi, banyak anggapan dan stigma buruk terkait COVID-19. Terlebih, gejala yang dialami pasiem TBC dan COVID-19 nyaris serupa.

"Banyak orang takut ke rumah sakit karena ada kemiripan gejala COVID dan TBC. COVID ada demam dan juga ada di TBC tapi bedanya pada COVID lebih dari 38 derajat. Pada TBC kurang dari itu," kata Erlina.

Indonesia Penyumbang Kasus TBC Terbesar Kedua Setelah India, Miris!

Kesamaan gejala juga pada batuk. Namun pada COVID, jenisnya berupa batuk kering dan pada TBC batuk berdahak. Pada kasus COVID varian Delta, sesak napas rentan terjadi yang juga menjadi gejala lain dari pasien TBC.

Ilustrasi sesak napas.

Photo :
  • U-Report

"Delta bikin sesak napas, TBC juga ada tapi pada COVID sesaknya dapat terjadi dengan mudah dan pada TBC seringnya butuh waktu lama," imbuhnya.

Maka dari itu, perlu tindakan tegas dalam mencapai target eliminasi TBC pada tahun 2030 kelak di Indonesia. Penyakit yang sudah lama menjadi endemik ini harus dituntaskan agar tak ada lagi masyarakat yang terjangkit dan rentan menulari.

“Jika kita melanjutkan ‘bisnis seperti biasa’, kita tidak akan dapat mencapai target eliminasi TBC pada tahun 2030. Jadi silahkan berinvestasi dan membuat 'kebisingan'. Ini yang saya katakan,” kata Erlina lagi.

Salah satu yang dapat dilakukan, kata Erlina, melihat dari protokol kesehatan COVID-19 yaitu memakai masker. Selain itu, jaga jarak dan rutin mencuci tangan sangat tepat diterapkan dalam mencegah ragam penyakit menular lainnya seperti tuberkulosis, SARS, Mers, Ebola, Zika ataupun pandemi yang disebabkan oleh infeksi lainnya.

Termasuk juga dalam pelacakan kasus tuberkulosis yang seharusnya bisa setara dengan COVID yang menggunakan aplikasi digital. Dengan begitu, pasien akan lebih mudah dilacak dan dipantau melalui aplikasi.

“Kita tahu digital platform digital. Katakanlah, pengobatan bagi para penderita lewat Video Observer Treatment (VOT). Saya kira platform digital perlu juga untuk TBC,” pungkasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya