- Pisabay/ anemone123
VIVA – Usai terjadi sebuah bencana, banyak orang menganggap bahwa anak lebih mudah pulih dari trauma karena bisa langsung bermain dan tertawa lebih cepat.
Padahal, psikolog anak Vera Itabiliana Hadiwidjojo mengatakan justru anaklah yang paling rentan untuk mengalami trauma pasca peristiwa bencana.
"Ada yang bilang anak akan cepet lupa padahal belum tentu. Karena anak masih tergantung orang dewasa, kalau orang dewasa dia lebih bisa menerima, lebih bisa mengendalikan diri. Sementara anak sangat bergantung pada orang dewasa di sekitarnya," ungkap Vera dalam talkshow ‘Menggunakan Bakat Kita untuk Meringankan Derita Korban Gempa’ yang diadakan Penerbit Erlangga, di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Meski sering terlihat tersenyum dan tertawa pada saat bermain, lanjut Vera, hal itu karena anak korban bencana masih sulit untuk mengekpresikan diri dan emosi serta kesedihan. Oleh sebab itu penanganan trauma untuk anak sendiri berbeda dengan remaja atau mungkin orang dewasa.
"Anak dan remaja ada bedanya, kalau dalam anak masih punya keterbatasan dalam memahami sesuatu, ini apa sih yang terjadi. Jadi yang harus dilakukan adalah menjelaskan dulu apa yang terjadi, membuat mereka menerima apa yang terjadi. Sehingga mereka memahami apa yang dirasakan," kata Vera.
Ia juga menjelaskan, bahwa anak laki-laki cenderung lebih sulit untuk mengekspresikan perasaan. Ini karena di Indonesia ada stigma yang menyebut bahwa laki-laki harus kuat dan tidak boleh menangis.
"Ini makanya bayak dari anak laki-laki justru larinya ke perilaku agresif karena tidak dapat mengekpresikan diri. Makanya sebetulnya mesti kita ubah, bahwa tidak apa-apa anak laki-laki menangis dan mengekpresikan diri," kata dia.
Sementara pada remaja atau mungkin dewasa, hal yang terpenting yang harus diberikan ialah dengan memenuhi kebutuhan pokok pasca bencana. Ini menurut Vera karena orang dewasa sudah berpikir jauh bagaimana cara bertahan hidup. Sebab itu dengan dipenuhinya kebutuhan pokok, mereka cenderung lebih bisa mengontrol diri.(je)