Pelaku Kekerasan Anak Minim Empati, Tanggung Jawab Siapa?

Sejumlah siswa mengikuti kampanye
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Septianda Perdana

VIVA – Kasus kekerasan yang dialami remaja asal Pontianak, AU memicu banyak kecaman di masyarakat. Beragam masyarakat dari berbagai latar belakang juga turut menyampaikan solidaritasnya di media sosial.

Katakan Tidak pada Tindakan Bullying di Lingkungan Sekolah

Selain itu banyak juga pihak yang mengecam bahwa pelaku kekerasan yang juga masih dalam usia anak, seolah tidak mempunyai empati atas kasus yang mereka lakukan. Beberapa dari mereka justru terlihat santai bahkan membuat sebuah video boomerang saat di kantor polisi.

Psikolog Liza Djaprie menilai bahwa hal itu bisa terjadi lantaran anak tersebut mengalami defisit empati atau tengah melakukan mekanisme defensif. Kurangnya rasa empati itu, lanjut Liza, membuat mereka seolah tak merasa bersalah atas kekerasan yang dilakukannya.

Pelajar SD di Simalungun Jadi Tersangka Kasus Perundungan, Ini Penjelasan Polisi

Banyak pihak menyalahkan orangtua korban yang dinilai kurang menanamkan rasa empati pada anak-anak tersebut. Sementara yang lain beranggapan bahwa hal itu terjadi karena di masyarakat sendiri seringkali permisif terhadap kekerasan. Lalu, siapa yang mesti bertanggung jawab?

"Sama dengan kemampuan intelektual, kemampuan emosional juga harus dilatih. Jadi gimana mengajarkan anak berempati, bertanggung jawab pada sosial, manajemen stres dan juga mengontrol perilaku impulsif," ungkap Liza saat dihubungi VIVA, Rabu, 10 April 2019.

Marak Kejadian Perundungan, Kemenkes Lakukan Skrining Kesehatan Jiwa Pada Calon Dokter Spesialis

Menurutnya, rasa itu mesti ditanamkan sejak anak masih usia dini. Liza mengatakan, tanggung jawab orangtua sangat penting untuk menanamkan rasa empati maupun simpati. tak hanya orangtua, lembaga pendidikan dan juga masyarakat juga perlu ambil bagian.

"Jadi siapa yang bertanggung jawab? Ya semua. Dari lingkungan keluarga, kemudian sekolah, karena bagaimana pun itu hasil cetakan lingkungan, kecuali yang punya gangguan karakter atau kepribadian. Tapi 90 persen hasil cetakan keluarga, termasuk sekolah," kata dia.

Ia melanjutkan, bahwa rasa empati itu tidak cukup hanya untuk diberi tahu, melainkan juga dicontohkan. Ini menurut Liza karena pada usia anak, mereka masih kerap meniru lingkungan di sekitarnya.

"Kita contohkan itu dari rumah dulu, cuma balik lagi orangtua melakukan hal yang sama enggak? Jangan-jangan orangtuanya sikut-sikutan dengan tetangga sebelah. Sehingga anak mencontoh dari lingkungan,” ujarnya.

Liza juga mengatakan, baik keluarga dan masyarakat tak cukup hanya mengajarkan. Melainkan juga turut mencontohkan secara langsung. (tsy)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya