Tsunami Palu dan Luputnya Sirine Bahaya

Masjid Baiturrahman dan sekitarnya di Palu Barat setelah tsunami pascagempa
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA –  Gempa Lombok yang terjadi pada pertengahan Agustus 2018 belum hilang dari ingatan, puing-puing masih berserakan, dan pemulihan masih terus dilakukan. Tapi alam sepertinya masih belum ingin diam.

Kebut Pembangunan Pasca Gempa-Tsunami di Sulteng, Lebih 5 Ribu Huntap Disiapkan

Senja yang riang di pesisir pantai Talise, Palu, pada Jumat, 28 September 2018, berubah kelam. Pekik ketakutan, tangisan, dan kepanikan berbaur menjadi satu. Guncangan gempa yang sangat keras membuat warga berhamburan, berlarian, keluar dari rumah masing-masing dan menyelamatkan diri. Tak ada benda yang bisa mereka bawa. Hanya pakaian dan pelukan erat keluarga terdekat. 

Belum usai kepanikan dan ketakutan, alam terus menghantam. Teriakan baru berhamburan. "Air naik, air naik, tsunami, tsunamiiii...," tiba-tiba teriakan itu terdengar saling bersahutan.

Geger Penimbunan 53 Ribu Liter Minyak Goreng di Sulteng

Afdal, seorang warga yang tinggal di pesisir pantai Palu dan hanya berjarak 150 meter dari pantai segera berlari membawa tiga anaknya. Sekuat tenaga ia menjauh dari terjangan air.

Afdal beruntung. Ia dan tiga anaknya selamat, tapi lima anggota keluarga besarnya tak ada kabar.

Tinjau Vaksinasi di Palu, Jokowi: Tetap Disiplin Prokes

Ketika diwawancara oleh tvOne, Minggu, 30 September 2018, Afdal mengaku menemukan bibinya sekitar 200 meter dari tempat mereka tinggal. Namun sang bibi sudah meninggal dunia. "Sampai saat ini di keluarga kami, ada lima tercatat hilang. Salah satunya keponakan yang baru berusia dua tahun," ujarnya. 

Gempa yang melanda Palu dan Donggala pada Jumat, 28 September 2018, menjelang maghrib itu sangat kuat. Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika menyebut magnitudo gempa tersebut mencapai 7,4 pada Skala Richter. Gempa tersebut menimbulkan tsunami di pesisir pantai Palu. Dua peristiwa alam yang berbarengan itu mengakibatkan angka korban jiwa yang tinggi.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB merilis kabar pada Minggu, 30 Maret 2018. Menurut BNPB, hingga Minggu, pukul 13.00 WIB, sudah 832 orang tewas, 821 orang tewas di Palu dan 11 lainnya korban di Donggala. Korban luka berat tercata 540 orang, dan jumlah pengungsi mencapai 16.732 jiwa. 

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengakui, jumlah korban masih bisa terus bertambah. Sebab masih banyak korban yang masih terjebak di dalam reruntuhan, namun tak bisa dikeluarkan karena tak ada alat berat yang bisa digunakan untuk membantu menemukan mereka. Ada enam bangunan yang dicurigai masih banyak terdapat warga yang terjebak. "Di hotel Roa Roa diperkirakan masih ada 50 hingga 60 orang yang terjebak reruntuhan, kemudian di mal Ramayana, lalu di restoran Dunia Baru, Pantai Talise, perumahan Bala Roa, dan sejumlah bangunan rubuh lainnya," ujar Sutopo kepada wartawan.

Aktivitas sosial di Palu dan Donggala juga lumpuh total. Listrik yang padam dan jaringan telepon yang tak berfungsi membuat sengsara warga semakin nyata. Komunikasi menjadi sulit, dan warga tak bisa beraktivitas dengan nyaman karena suasana yang gelap.

Menkopolhukam Wiranto yang sudah lebih dulu berada di Palu mengaku sudah memerintahkan pada jajaran PLN agar listrik bisa segera dinormalkan kembali. "Sebab kebutuhan listrik sangat vital, dan masyarakat sangat perlu untuk kembali menjalankan hidupnya," ujar Wiranto.

BMKG Terjebak

Gempa dan tsunami Palu menyisakan tanya. Sebab, ketika pertama kali BMKG mengumumkan terjadinya gempa di Palu dengan kekuatan hingga 7,4 pada Skala Richter, peringatan tsunami disampaikan. Namun tak sampai 30 menit, BMKG menyatakan peringatan tersebut diakhiri. Tapi kemudian, tsunami benar-benar terjadi. 

Nyaris seluruh bangunan yang berada di bibir pantai tersapu habis. Dalam sebuah rekaman video amatir yang menjadi viral, terlihat warga yang berteriak-teriak dari dalam Palu Grand Mall, yang berlokasi tak jauh dari pantai, memperingati orang-orang yang berada di bawah untuk segera naik. Mereka terus berteriak hingga ombak tinggi akhirnya benar-benar menerjang dan menghantam. 

Dikutip dari BBC, Minggu, 30 September 2018, gempa yang melanda Kota Palu dan Donggala pada Jumat, 28 September 2018, pertama kali terjadi pada pukul 13:59:56 WIB dengan kekuatan 6 pada skala Richter (SR). Gempa berikutnya kembali terjadi pada pukul 17.02.45 WIB dengan berkekuatan 7,4 SR di kedalaman gempa 10 km pada 0.18 LS 119.85 BT.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dengan parameter yang dimiliki, menyatakan bahwa gempa bumi ini berpotensi menimbulkan tsunami dengan level tertinggi SIAGA di Donggala Barat dengan estimasi ketinggian gelombang tsunami 0,58 m dan estimasi waktu tiba 17.22.43 WIB, atau sekitar 20 menit sejak gempa terakhir dirasakan. Maka BMKG mengeluarkan Peringatan Dini Tsunami (PDT).  

Kemudian setelah dilakukan observasi, BMKG menyakan bahwa telah terlewatinya perkiraan waktu kedatangan tsunami, maka Peringatan Dini Tsunami (PDT) ini diakhiri pada pukul 17.36.12 WIB, atau sekitar 34 menit setelah gempa terjadi dan Peringatan Dini Tsunami disampaikan. Tapi, selang beberapa menit setelah Peringatan Dini Tsunami (PDT) ini diakhiri, gelombang tsunami benar-benar menerjang dengan ketinggian 1,5 meter. Dan BMKG mengonfirmasi kebenaran kabar tersebut. 

Kondisi ini membuat BMKG terjebak dilema. Publik marah dan menganggap BMKG terlalu dini mengakhiri peringatan tsunami sehingga tak banyak warga yang menyadari bahwa mereka masih berada dalam kondisi bahaya.

Widji Kongko, peneliti tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) saat diwawancara oleh Deutsch Welle mengatakan, dengan menimbang sumber tsunami susulan, seharusnya BMKG menahan peringatan dini di Palu. "Tsunami itu harusnya sampai di sekitar pantai Donggala dan Palu dalam waktu lima sampai 10 menit. Kemudian sampai di Mamuju 30 hingga 35 menit. Dan model ini sudah divalidasi dengan data di lapangan. Tetapi setelah tsunami  yang dianggap dari gempa utama itu tidak kunjung muncul, lalu peringatan dini dihentikan," ujarnya. 

Widji menganalisa, setelah gempa pertama terjadi rekahan. Dan setelah ada gempa susulan beberapa kali yang cukup besar, rekahan itu jadi longsoran di bawah laut yang kemudian menyebabkan tsunami. Namun ia mengakui, analisa ini masih membutuhkan kajian dan waktu untuk membuktikan. Meski demikian, menurutnya seharusnya BMKG tak perlu buru-buru mengakhiri peringatan dini tersebut, melainkan menunggu hingga sekitar satu jam.

Argumen Widji tak ditolak oleh Patra Rina Dewi, seorang aktivis dari Komunitas Siaga Tsunami. Menurut Patra Rina, BMKG tak bisa sepenuhnya disalahkan karena telah mengakhiri peringatan dini lebih cepat. Menurutnya, BMKG memang bertanggungjawab mengeluarkan info gempa dan peringatan dini tsunami, namun BMKG tak punya kewenangan memberikan perintah evakuasi. "Pemerintah Daerah yang berkewajiban mengeluarkan perintah evakuasi berdasarkan info dari BMKG," ujar Patra Rina. 

Ia mempertanyakan Pemerintah Daerah soal kesigapan menghadapi bencana, apakah pemerintah daerah sudah punya prosedur, sdm, dan peralatan untuk menyebarluaskannya kepada publik? Ia juga mempertanyakan, apakah Pemerintah Daerah sudah memberikan edukasi yang benar pada warganya agar siap ketika bencana besar terjadi.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho mengatakan ada dua penyebab terjadinya tsunami. Hal tersebut disimpulk setelah pihaknya berkoordinasi dengan para ahli gempa dan tsunami dari IPB, LIPI dan BPPT. Pertama, longsoran sedimen sedalam 200-300 meter di dasar laut. Teluk Palu merupakan muara beberapa sungai sehingga menimbun endapan sendimen. "Saat gempa terjadi longsor dan membangkitkan tsunami," katanya saat jumpa pers di kantornya, Sabtu 29 September 2018. K

Kedua,tsunami di bagian luar Teluk Palu yang tidak sebesar akibat longsoran dasar laut. BMKG akan mengirimkan ahli ke lokasi gempa dan tsunami untuk meneliti pemicu tsunami yang tidak hanya terjai karena gempa tapi juga akibat dasar laut yang longsor.

Nyaris 1.000 Korban

Jumlah korban dalam tragedi ini juga terhitung tinggi. Hingga Minggu, 30 September 2018, pukul 13.00 WIb,BNPB mencstat jumlah korban mencapai 832 jiwa, Sebian besar korban tewas karena tertima reruntuhan. Angka ini diperkirakan masih bisa bertambah karena diperkirakan masih banyak korban yang terjebak di reruntuhan bangunan. Tak jauh berbeda dengan Lombok, Pemerintah Daerah mengaku kesulitan menyelamatkan korban karena kesulitan alat. Tak ada alat berat yang bisa digunakan untuk segera menyelamatkan mereka yang terjebak di reruntuhan.

Menkopolhukam Wiranto mengatakan, ia sudah meminta agar mayat yang sudah teridentifikasi segera dikuburkan. Hal itu perlu segera dilakukan untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit akibat banyaknya jasad yang sudah membusuk yang tak segera dikuburkan.

Ucapan Wiranto disepakati oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto. Panglima mengatakan, pihaknya sudah menyiapkan tempat pemakaman massal untuk menguburkan korban meninggal dunia akibat gempa bumi dan tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah.

Menurut Hadi, pemakaman massal para korban gempa bumi dan tsunami akan dilakukan setelah proses identifikasi korban selesai. Saat ini, proses identifikasi masih dilakukan Tim DVI Mabes Polri. Ia menegaskan, pemakaman massal juga dilakukan demi pertimbangan kesehatan para korban selamat yang saat ini berada di sejumlah titik lokasi pengungsian. "Saya sebelum pulang tadi sempat ke tempat pemakaman massal. Jadi kita jadikan satu nanti," kata Hadi di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, seperti diberitakan oleh VIVA, Minggu 30 September 2018.

Melalui akun Twitternya Sutopo menyampaikan penyebab tingginya jumlah korban dalam gempa dan tsunami yang terjadi di Palu. Salah satunya karena tidak ada sirine peringatan dini tsunami.

Sutopo mengatakan, saat gempa terjadi masih banyak masyarakat yang beraktivitas di sekitar pantai. Warga tidak waspada lantaran tidak ada sirine atau penanda potensi terjadinya tsunami, masyarakat tetap beraktivitas seperti biasa dan tidak segera mencari tempat yang lebih aman. "Tidak ada sirine berbunyi. Masyarakat banyak yang tidak tahu ancamannya sehingga masih melakukan aktivitas di pantai.  Akhirnya banyak korban akibat tsunami," tulis Sutopo di akun Twitternya.

Selain terbatasnya peringatan dini, tulis Sutopo, pengetahuan dan perilaku antisipasi tsunami, shelter dan tata ruang juga menjadi faktor yang menyebabkan masih banyak korban akibat tsunami.

Di negeri yang rawan bencana ini, ternyata peringatan akan bahaya yang mengintai akibat bencana alam seperti gunung meletus, gempa bumi, dan tsunami masih belum maksimal. Publik seperti gagap setiap kali bencana besar terjadi. Meski sosialisasi kerap dilakukan, namun sepertinya tak ada upaya yang sangat serius untuk memberikan peringatan dini, yang berpotensi menekan jumlah korban jiwa jika bencana terjadi. 

Gempa dan tsunami Aceh, gempa Padang, gempa Yogyakarta, gempa Lombok, dan sekarang gempa dan tsunami di Palu dan Donggala harusnya menjadi peringatan keras, sudah waktunya edukasi bencana disiapkan secara lebih serius dan matang. Publik perlu tahu, apa yang bisa mereka lakukan untuk melindungi nyawanya jika musibah sudah terjadi di depan mata. (Hd)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya