Mun'im Idris Ungkap Bukti Baru Kasus Antasari

Sidang Vonis Antasari Azhar
Sumber :
  • VIVAnews/Tri Saputro

VIVAnews - Ahli forensik Mun'im Idris, mengungkapkan sejumlah kejanggalan dalam perkara pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Mun'im mengatakan, ada perbedaan antara jumlah peluru yang bersarang di tubuh Nasrudin.

"Saya temukan di tubuh korban dua peluru. Di pengadilan, seharusnya dua, ini ditambah satu lagi menjadi tiga," kata Mun'im sebelum dimintai keterangan di Gedung Komisi Yudisial (KY), Jakarta, Senin 25 April 2011.

Hal tersebut disampaikan Mun'im usai dimintai keterangan oleh KY. Menurut Juru Bicara KY, Asep Rachmat Fajar, pemeriksaan dilakukan untuk melengkapi data dalam rangka memastikan apakah ada atau tidaknya pelanggaran perilaku hakim dalam penanganan perkara pembunuhan itu. "KY ingin mendapatkan berbagai informasi berdasarkan keahliannya yang diharapkan bisa melengkapi data," kata Asep.

Mun'im juga pernah mengungkapkan bahwa kondisi mayat korban sudah dimanipulasi saat tiba di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. "Saat diantar ke RSCM mayatnya sudah tidak terjaga keasliannya," kata Mun'im.

Mun'im membenarkan memang pada saat itu ada permintaan dari penyidik untuk menghilangkan salah satu bagian dalam hasil visum, yakni pada bagian data-data, seperti diameter peluru. "Sejak saya menjadi dokter ahli forensik, tahun 1979, baru kali ini saya diminta menghilangkan data," tegasnya.

Selain itu, Mun'im pun membantah telah mengganti keterangan saat menjadi saksi dalam persidangan. Dia menegaskan tetap memberikan keterangan sesuai hasil pemeriksaan. "Dia [penyidik] meminta apakah tulisan ini bisa dihilangkan, saya katakan, ini wewenang saya," katanya.

Mun'in membantah ada pihak-pihak yang mengintervensi dirinya untuk tidak mengungkapkan fakta yang sebenarnya. "Kata-kata soal diameter peluru, mereka minta dihilangkan. Karena mereka itu tidak mengerti. Saya tidak diintervensi, tapi mereka tidak mengerti," tegasnya.

Menurut Mun'in, dia menduga hal itu merupakan kesalahan Jaksa Penuntut Umum perkara Antasari Azhar. "Saya rasa itu kesalahan Pak Cirus," ucapnya.

Meski begitu, Munim menyerahkan sepenuh keterangan yang telah diberikan pada Majelis Hakim. Dia pun tidak mempersalahkan jika keterangannya tak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim kasus Antasari. "Itu urusan hakim, dipakai atau tidak itu wewenang hakim," ujar Mun'im.

Seperti diketahui, KY mengungkapkan adanya indikasi pelanggaran profesionalisme dari majelis hakim perkara Antasari dari tingkat pertama sampai kasasi dengan mengabaikan beberapa bukti-bukti kunci dalam perkara tersebut.

Klub Milik Orang Indonesia, Como Resmi Promosi ke Serie A Italia

Bukti-bukti kuat yang dimaksud adalah adanya pengabaian keterangan ahli balistik dan forensik. Selain itu, juga pengabaian atas bukti berupa baju korban yakni Nasrudin Zulkarnain, yang tidak pernah dihadirkan dalam persidangan.

Keganjilan kasus Antasari

Pengacara Antasari, Maqdir Ismail, membeberkan sebenarnya dalam perkara tersebut terdapat 10 kejanggalan. "Paling kurang dapat dicatat 10 kejanggalan dalam perkara ini," kata Maqdir.

Keganjilan pertama, menurut Maqdir, berhubungan dengan penyitaan anak peluru dan celana jeans, almarhum Nasrudin Zulkarnaen, tanpa menyita baju korban. "Dan pemeriksaan forensik hanya terhadap anak peluru, tetapi tidak ada pemeriksaan terhadap mobil korban," ujarnya.

Keganjilan kedua yakni tentang luka tembak. Maqdir menjelaskan, berdasarkan visum, “...peluru pertama masuk dari arah belakang sisi kepala sebelah kiri dan peluru yang kedua masuk dari arah depan sisi kepala sebelah kiri diameter kedua anak peluru tersebut 9 (sembilan ) milimeter dengan ulir ke kanan”.

"Hal ini menjadi ganjil kalau dihubungkan dengan fakta bahwa bekas peluru ada pada kaca segitiga mobil almarhum yang hampir sejajar dan tidak ada bekas peluru yang dari belakang. Dalam kesaksian Suparmin, almarhum roboh ke kanan," jelasnya.

Keganjilan ketiga, tentang senjata api barang bukti. Keterangan Dr. Abdul Mun'in Idris, peluru pada kepala korban 9 mm dan berasal dari senjata yang baik. Keterangan ahli senjata Roy Harianto, bukti yang ditunjukkan adalah revolver 038. Spesial  dan rusak salah satu silendernya macet. Menembak dengan satu tangan dari kendaraan dan sasaran bergerak terlalu sulit untuk amatir, yang bisa lakukan penembakan seperti ini setelah  latihan dengan 3.000-4.000 peluru.

Keterangan terdakwa penjual senjata Teguh Minarto dalam perkaranya di PN Depok, senjata diperoleh di Aceh sesudah tsunami di bawah gardu PLN terapung dekat asrama polri; pertanyaan penyidik kepada Andreas Balthazar alias Andreas ketika melakukan konfirmasi kebenaran senjata dan peluru yang menjadi barang bukti di PN Depok adalah peluru 38 Spc," jelasnya.

Keganjilan keempat, bukti SMS Tidak jelasnya kepentingan dan hubungan saksi Jeffrey Lumampouw dan Etza Imelda Fitri dalam bersaksi mengenai SMS ancaman kepada almarhum Nasrudin Zulkarnaen, yang katanya tertulis nama Antasari.

Keterangan kedua saksi ini adalah rekaan dan pendapat hasil pemikiran. Ada 2005 SMS ke HP almarhum Nasrudin Zulkarnaen yang tidak jelas pengirimnya. Dan ada 35 SMS ke HP AA yang tidak jelas sumbernya, ada 1 (satu) SMS yang dikirim dan diterima oleh HP Antasari Azhar dan 5 (lima) SMS yang diterima dan dikirim ke HP Sigid Haryo Wibisono.

Ahli IT Dr. Agung Harsoyo menduga pengiriman SMS ini  dilakukan melalui web server. Agung juga mengatakan bahwa tidak ada SMS dari HP Antasari Azhar kepada Almarhum Nasrudin Zulkarnaen. Selain itu, chip HP almarhum Nasrudin Zulkarnaen, yang berisi SMS ancaman rusak tidak bisa dibuka.

Keganjilan kelima, dalam Keputusan di PN Tangerang dan di PN Jakarta Selatan ada perbedaan kualifikasi para terpidana, karena dalam pertimbangan PN Tangerang Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo dan Hendrikus hanya sebagai penganjur, sedangkan dalam pertimbangan PN Jakarta Selatan Antasari Azhar, Sigid Haryo Wibisono dan Wiliardi Wizar, mereka adalah sebagai pelaku dan penganjur.

Keganjilan keenam, dalam pertimbangan Majelis Hakim perkara Antasari Azhar (halaman 175), ada pertimbangan yang tidak jelas asalnya atau saksi yang menerangkannya, diduga dari pertimbangan perkara lain. Dalam pertimbangannya, Majelis menyatakan, "Menimbang bahwa Hendrikus mengikuti korban dalam waktu cukup lama, sampai akhirnya, sebagaimana keterangan saksi Parmin di persidangan…"

Keganjilan ketujuh, ada penyitaan bukti dari kamar kerja Antasari Azhar di KPK yang tidak berkaitan dengan perkara dan penyitaan tersebut tidak dilakukan atau dikonfirmasi kepada Terdakwa Antasari Azhar. Bukti yang disita ini dikembalikan kepada Chesna F Anwar.

Keganjilan kedelapan, ada penjagaan yang berlebihan oleh penyidik terhadap Rani Juliani sejak dimintai keterangan sebagai saksi dalam penyidikan hingga memberi keterangan sebagai saksi di persidangan. Hakim dalam mempertimbangkan keterangan Rani Juliani, hakim mengabaikan Pasal 185 ayat 6 huruf d  yaitu cara hidup dan kesusilaan saksi.

Keganjilan kesembilan, adanya pengakuan Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo diperiksa dengan cara dianiaya di luar lingkungan Polda Metro Jaya. "Sedangkan Rani Juliani mengaku diperiksa di Hotel, restoran dan apartemen," ujarnya.

Keganjilan kesepuluh, Hakim mengizinkan pemeriksaan penyidik di persidangan, yang serta merta dilakukan sesudah Wiliardi Wizar mencabut pengakuan adanya keterlibatan Antasari Azhar dalam perkara pembunuhan almarhum Nasrudin Zulkarnaen.

"Cara yang paling mudah untuk membuka adanya “rekayasa” terhadap perkara Antasari Azhar ini, adalah dengan menguak pengirim SMS ancaman terhadap almarhum Nasrudin dan mencari pengirim sms serta penelepon ancaman dan cerita tidak benar terhadap keluarga Antasari Azhar," jelasnya.

Tak ada campur tangan SBY

Mengenai temuan KY tersebut, beredar kabar, kasus Antasari tak lepas dari intervensi pemerintah karena KPK ketika itu mengusut kasus dugaan penyalahgunaan dana Teknologi Informasi KPU dan melakukan penahanan terhadap besan presiden, Aulia Pohan.

Pihak Istana membantah kabar tersebut. "Saya kira itu sudah selesai, tidak ada intervensi, campur tangan  presiden terkait kasus tersebut," kata Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha.

Julian mengatakan, tidak ada alasan, persoalan hukum Antasari dikaitkan dengan Presiden. Menurut dia, pengadilan merupakan instrumen untuk mengungkapkan fakta yang terjadi. "Biarkan pengadilan yang membuktikan karena memang pengadilan mempunyai akses dan hak," ujar dia.

Dia juga membantah, kasus Antasari tersebut ada kaitan dengan pemilihan presiden pada 2009. "Kenapa harus dikait-kaitkan dengan pilpres. Karena tidak ada kaitan, terus dikaitkan," kata dia.

Julian juga enggan berkomentar ketika ditanya soal kaitan penanganan kasus teknologi Informasi KPU dengan proses hukum Antasari. Menurut dia, kasus tersebut telah ditangani oleh lembaga-lembaga yang memiliki otoritas. "Bagaimana saya bisa menjawab pertanyaan serumit itu. Teknis sekali," ujarnya.

Menurut Julian, Presiden mengikuti perkembangan kasus Antasari Azhar saat ini. "Kita bersama-sama mencermati dan mengikuti dengan seksama," kata dia. Adalah kewajiban dari lembaga penegak hukum untuk mengungkapkan dan mengedepankan kebenaran.

Bantahan juga disampaikan oleh Mahkamah Agung. Ketua Mahkamah Agung, Harifin A Tumpa menegaskan, seorang hakim tidak bisa disalahkan selama pengambilan keputusannya sesuai dengan norma yang ada.

Menurut Harifin, seorang hakim juga tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pasca-pengambilan keputusan, karena putusan itu mempunyai kekuatan hukum. "Selama ini hakim sudah melalui prosedur," kata Harifin.

Jaksa Cirus Sinaga juga angkat bicara. Cirus selaku Kordinator Jaksa Penuntut Umum perkara Antasari, membantah tudingan telah melakukan rekayasa. "Bagaimana saya menanggapi. Tak ada apa-apa," kata Cirus.

Cirus mengaku heran mengapa dirinya selalu dikait-kaitkan dengan dugaan rekayasa kasus Antasari tersebut. "Cirus itu salah satu tim, timnya kan banyak, kok bisa begitu," kata dia.

Polisi pun sudah membantah merekayasa atau manipulasi pada jasad Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen sebelum diotopsi. Kepala Divisi Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Boy Rafli Amar menyatakan jasad Nasrudin berubah dari kondisi semula karena mendapat perawatan medis di dua rumah sakit, yakni Rumah Sakit Mayapada dan Rumah Sakit Gatot Subroto.

"Ini bukan manipulasi, terlalu esktrim itu," kata Boy, Jumat 12 Desember 2009.

Selain itu, kata dia, sebagian besar rambut Nasrudin pun sudah dicukur sebelum diotopsi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. "Perubahan itu wajar karena waktu dirawat medis, dia belum meninggal," kata Boy.

Terbukti melakukan pembunuhan

Dalam perkara ini, Antasari telah divonis bersalah oleh majelis kasasi yang terdiri dari Artidjo Alkostar, Moegihardjo, dan Surya Jaya menghukum Antasari dengan hukuman 18 tahun penjara. Majelis menilai Antasari bersama-sama dengan Sifid Haryo Wibisono, Komisaris Besar Williardi Wizar, dan Jerry Hermawan Lo melakukan pembunuhan berencana terhadap Nasrudin.

Artidjo menyatakan Antasari terbukti turut serta melakukan pembunuhan. "Kualifikasinya, MA menilai terdakwa turut serta lakukan pembunuhan seperti putusan di pengadilan negeri, bukan menganjurkan pembunuhan seperti putusan di pengadilan tinggi," kata Artidjo. "MA menilai hukuman yang tepat adalah sesuai dengan putusan pengadilan negeri yakni 18 tahun penjara."

Artidjo menjelaskan, majelis menemukan sejumlah kesesuaian antara Antasari, Sigit Haryo Wibisono, Williardi Wizar, dan Hermawan Lo dalam kasus pembunuhan berencana Nasrudin. "Dalam persidangan terungkap terdakwa pernah mengeluh tentang adanya ancaman ke Kapolri. Dan terdakwa merasa tidak puas dengan tim yang di bentuk Kapolri," jelasnya.

Selain itu, majelis juga melihat adanya kesaksian dari dua pegawai KPK. Mereka membenarkan adanya ancaman kepada Antasari. "Kemudian terdakwa menyatakan bahwa saya yang mati atau dia yang mati," jelasnya.

Majelis juga melihat adanya fakta persidangan bahwa pada saat Sigit akan menyerahkan uang kepada Williardi Wizar, terdakwa menyatakan, "Bayari dulu, nanti saya ganti."

Dalam putusan ini, Hakim Surya Jaya mengajukan perbedaan pendapat. Menurutnya, Antasari pantas dibebaskan dari tuduhannya.

Menurut dia, hakim dapat saja mengenyampingkan keterangan ahli sepanjang keterangan tersebut tidak relevan ataukah merupakan bidang kompetensi dari hakim yang memeriksa perkara.

Sebaliknya, kata dia, dapat menjadi imperatif manakala keterangan ahli tersebut bersifat menentukan, misalnya keterangan ahli pemeriksaan sidik jari, forensik atau balistik tidak dapat dikesampingkan. Oleh karena itu keterangan ahli dalam perkara a quo tidak dapat dikesampingkan berhubung sangat urgen dan bersifat guna menentukan siapa pelaku sesungguhnya.

Menurut  Surya, konsekuensi hukum yang ditimbulkan dengan tidak digunakannya keterangan ahli balistik dan forensik oleh Judex Facti, merupakan suatu kekeliruan karena telah mengesampingkan tujuan dari pemeriksaan perkara pidana untuk mencapai kebenaran materiil atau kebenaran yang sesungguhnya.

Tujuannya adalah untuk menghindari terjadi peradilan sesat (menghukum orang yang tidak bersalah). Adapun urgensinya hal tersebut adalah untuk menghilangkan keragu-raguan mengenai siapa sesungguhnya orang yang melakukan penembakan terhadap korban Nasaruddin, apakah betul Edo dan kawan-kawan?

Hal ini, kata Surya, harus dijelaskan secara benar, jujur dan obyektif dalam perkara a quo, sebab menjadi dasar bagi Jaksa Penuntut Umum mendakwa Antasari dalam perannya sebagai “penganjur pembunuhan berencana”.

Dalam perkara ini Sigid, Williardi, dan Jerry juga sudah divonis dengan hukuman berbeda. Wiliardi Wizar divonis 12 tahun, sementara pengusaha, Sigid Haryo Wibisono mendapat vonis 15 tahun. Lalu, Jerry Hermawan Lo, yang diduga berperan sebagai penghubung dijatuhi vonis 5 tahun. (sj)

Rizky Febian dan Mahalini

Terpopuler: Ekspresi Wajah Keluarga Mahalini, Gading Marten dan Gisel Dicurigai Rujuk

Rizky Febian dan Mahalini akhirnya resmi menikah. Berita-berita terkait hal ini pun sukses memantik perhatian pembaca. Satu yang tak kalah dilirik soal keluarga Mahalini.

img_title
VIVA.co.id
11 Mei 2024