Murka Rakyat Mesir Pada Junta Militer

Demonstran berhadapan dengan pasukan keamanan di Kairo
Sumber :
  • REUTERS/Asmaa Waguih

VIVAnews - Berhasil menggulingkan diktator Hosni Mubarak belum menjamin Mesir langsung aman dan tentram. Beberapa bulan sejak Mubarak berhasil dilengserkan, Mesir kembali bergolak oleh demonstrasi di berbagai kota.

Menurut stasiun berita BBC, dalam beberapa hari terakhir Mesir dilanda  gelombang demonstrasi terbesar dan sekaligus berujung juga pada kekerasan paling brutal sejak Revolusi Rakyat Februari lalu, yang menyingkirkan Mubarak. Selain di Kairo, aksi protes yang dilanjutkan dengan kekerasan juga terjadi di Alexandria, Suez, dan Aswan. 

Sasaran kemarahan mereka bukan lagi Mubarak, melainkan  militer yang tengah mengambil alih kepemimpinan sementara di Mesir. Ada kecenderungan bahwa dewan militer itu sedang bergerilya untuk tetap bertahan di panggung kekuasaan. Militer pula yang selama ini diduga bertindak sewenang-wenang terhadap para pemrotes tanpa ada investigasi atas kejahatan mereka.

Belum Kepikiran Nikah, Ternyata Ini Kriteria Pria Idaman Ghea Indrawari

Maka, sejak akhir pekan lalu, para demostran menuntut militer agar tidak ingkar janji segera menyerahkan kekuasaan kepada sipil yang dipilih lewat Pemilu pekan depan. Para demonstran menuntut agar Mesir jangan jatuh di bawah cengkeraman junta militer setelah mereka susah payah menggulingkan kekuasaan diktator Hosni Mubarak Februari lalu.

Para demonstran tidak mau tirani di Mesir terulang. Tiga puluh tahun lalu, Mubarak pun merupakan seorang perwira tinggi militer Angkatan Udara, yang mengambil alih pemerintahan akibat pembunuhan Presiden Anwar Saddat. Selama Mubarak berkuasa, kebebasan berpolitik pun dipasung dan kemakmuran hanya diperuntukkan bagi penguasa dan kroni-kroninya. 

Namun, jawaban yang mereka terima sejauh ini adalah hantaman pukulan dari pasukan keamanan. Sedikitnya sudah 12 tewas dan ratusan luka-luka.

Menurut kantor berita Reuters, jumlah korban tewas bisa terus bertambah setelah para demonstran di Lapangan Tahrir menerima serangan brutal dari polisi, yang dibantu militer, sejak akhir pekan lalu.

Bukan Hina Pemain Korea Selatan, Ernando Minta Maaf dan Jelaskan Alasan Joget Usai Gagalkan Penalti

Apalagi, demonstrasi di Kairo itu dikhawatirkan masih berlangsung hingga awal pekan ini setelah para demonstran bertekad tetap berada di Lapangan Tahrir Senin malam, 21 November 2011. Padahal dalam seminggu ke depan Mesir akan mengadakan pemilu parlemen pertama sejak jatuhnya rezim Mubarak, yang berkuasa selama 30 tahun.

Aksi protes itu terus memakan korban jiwa. Namun para demonstran tampak tidak takut. Sementara ini, Mesir diperintah oleh Dewan Militer dan Mubarak beserta para kroninya sedang diadili.

Namun, para demonstran, yang mengaku sebagai kaum reformis, masih tidak puas dengan reformasi yang berjalan lambat, bahkan muncul kecenderungan bahwa Mesir akan terus diperintah militer.

Jenderal Mohamed Hussein Tantawi, yang kini memimpin Dewan Militer menjadi sasaran kemarahan para demonstran. Apalagi, dia pernah menjadi menteri pertahanan selama dua dekade semasa rezim Mubarak.

"Rakyat ingin menggulingkan sang jenderal," kata para pemrotes berkali-kali. "Saya tidak ingin Tantawi...saya ingin tetap bertahan malam ini," kata Ayman Ramadan, seorang pekerja yang kini menjadi demonstran pada Senin pagi waktu setempat.

Dia dan para demonstran lain tidak kapok kendati pasukan keamanan menembakkan gas air mata dan menyerbu mereka dengan pentungan pada Minggu malam. Korban pun berjatuhan.

"Militer telah bertindak brutal. Saya memang takut, belum pernah setakut ini sejak dimulai pergolakan. Namun, sudah terlambat untuk menyerah. Sudah terlambat pula untuk dibiarkan. Saya akan kembali lagi," kata seorang pemrotes, Amira Khalil, sambil berjalan kembali ke Lapangan Tahrir.

Namun, polisi mengaku tidak memakai peluru tajam saat menghadapi para demonstran. Stasiun televisi setempat mengungkapkan sedikitnya sepuluh orang tewas pada serangan Minggu malam.

Gibran Bantah Presiden Jokowi Gabung Golkar

Dengan demikian, bila digabung dengan jumlah korban tewas sejak Sabtu pekan lalu, angkanya bertambah jadi 12 jiwa. Ratusan orang pun terluka.

Sementara itu, pihak militer membantah niat untuk tetap berkuasa. Mereka pun menegaskan tidak akan membiarkan adanya gangguan yang bisa menunda jalannya pemilu parlemen, yang dijadwalkan pada 28 November 2011.

"Kami bertekad untuk menyelenggarakan pemilu tepat waktu," kata juru bicara kabinet, Mohamed Hegazy. Walau telah mengadakan pemilu parlemen dan parlemen baru dibentuk, militer tetap akan menjalankan pemerintahan hingga diadakannya pemilu presiden, selambat-lambatnya akhir 2012 atau awal 2013.

Gejolak itu sudah dimulai Jumat, 18 November 2011. Para aktivis saat itu merasa ada yang tidak beres saat kabinet sementara, yang didukung dewan militer, membuat sejumlah aturan untuk menyusun Konstitusi baru. Peraturan itu ternyata menjamin militer untuk tidak diselidiki secara hukum bila terjadi pelanggaran dan mereka pun diberi hak istimewa mengendalikan keamanan secara nasional.  

Kalangan politisi, menurut Reuters, melihat manuver itu sebagai langkah untuk tetap melanggengkan militer di puncak kekuasaan, walaupun tengah dipersiapkan pemerintahan sipil melalui pemilu.

"Sejak Mubarak mundur, kami telah dibodohi. Kami menyerahkan legitimasi kepada orang-orang yang tidak berhak dan mereka kini lengket dengan kekuasaan," kata seorang warga bernama Mahmoud Yassin.

Semena-mena

Kalangan pengamat, seperti dikutip VOA News, menilai bahwa nekadnya para demonstran untuk kembali ke Lapangan Tahrir dan berunjuk rasa di bawah ancaman senjata aparat juga menunjukkan bahwa rakyat Mesir tengah melampiaskan kemarahan dan frustrasi mereka kepada militer yang selama ini sudah bertindak sewenang-wenang.

Heba Fatma Morayef, pengamat dari Human Rights Watch (HRW) menilai bahwa rakyat marah karena militer belum juga menyelidiki para anggota mereka yang dicurigai melanggar HAM saat berlangsung gelombang unjuk rasa anti Mubarak awal tahun ini.

"Kami telah memantau tindakan dari polisi militer dan Pasukan Keamanan Pusat atas sejumlah demonstrasi dari awal. Dan sejak 21 Februari, polisi militer dan Pasukan Keamanan Pusat menggunakan kekuatan yang berlebihan untuk membubarkan para pemrotes," kata Morayef yang dikutip VOA News.

Menurut Morayef, rakyat masih sangat marah dengan militer. Bentrokan itu merupakan akumulasi dari kejadian berbulan-bulan atas meningkatnya kekerasan militer kepada para pemrotes yang bermaksud menggelar aksi damai.

"Semua insiden pelanggaran HAM oleh militer sampai sejauh belum diselidiki. Ini menjadi salah satu tuntutan utama dan keprihatinan para pemrotes yang telah dan sedang menyulut amarah mereka," lanjut Morayef. (eh) 

 



Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya