Pergolakan Kekuasaan di Universitas Indonesia

rektor ui Gumilar Rusliwa Somantri
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVAnews – Siapa tak tahu Universitas Indonesia? Inilah salah satu institusi pendidikan terbaik di negeri ini. September 2011, UI dinobatkan menjadi universitas terbaik di Indonesia versi World University Ranking 2011. UI tercatat berada di peringkat 217 dunia. Reputasi akademik dan kualitas lulusan-lulusannya diakui unggul di banyak tempat.

Terpopuler: Sarwendah Ancam Netizen sampai Jokowi Hadir ke Nikahan Rizky Febian

Namun, UI kini dilanda pergolakan internal, seperti memendam bara dalam sekam. Bermula dari persoalan pemberian gelar Doctor Honoris Causa bidang Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan Teknologi kepada Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz oleh UI, kursi Rektor UI Prof. Dr. Gumilar Rosliwa Sumantri keras digoyang.

Civitas akademika UI menilai pemberian gelar tersebut tidak pantas, karena banyak Tenaga Kerja Indonesia disiksa di Arab Saudi. Gumilar sendiri telah memberikan jawabannya atas keputusan UI memberikan gelar itu. Namun, penjelasan Gumilar tak bergaung, bahkan sayup dan seakan lenyap terbawa angin. Bukannya mereda, perlawanan terhadap kepemimpinannya di UI semakin menjadi. Belakangan, dia dinilai menyalahi tata kelola UI.

Jadwal Mobil SIM Keliling DKI Jakarta, Bandung, Bogor, Bekasi Selasa 14 Mei 2024

Rabu, 21 Desember 2011, penentangan itu menajam dan berujung pada keputusan Majelis Wali Amanat (MWA) UI untuk memberhentikan Gumilar dari jabatannya sebagai rektor. Ade Armando, alumnus sekaligus dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI mengatakan keputusan MWA tersebut berlaku sejak hari itu juga.

“Surat MWA UI ditujukan kepada Gumilar tertanggal 20 Desember 2011. Sangat mungkin pimpinan UI untuk sementara akan diisi oleh Wakil Rektor UI yang didampingi sejumlah mantan rektor,” kata Ade. Ia menambahkan, dalam surat keputusan itu, Ketua MWA UI dr. Purnomo Prawiro juga meminta Gumilar untuk segera menyerahkan pertanggungjawabannya sebagai rektor, terkait bidang akademik, keuangan, dan sumber daya manusia.

KPU Verifikasi Faktual Calon Kepala Daerah dari Jalur Independen Pakai Metode Sensus

Surat Keputusan MWA ini, ujar Ade, merupakan jawaban MWA atas surat Gumilar tertanggal 15 Desember 2011 lalu. Dalam surat itu, terangnya, Gumilar menyatakan bahwa ia telah menjadi pejabat publik, yakni Kepala Satuan Kerja di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Gumilar menegaskan kepada MWA bahwa UI tidak lagi menjadi lembaga yang diatur oleh hukum perdata. 

“Dengan pernyataan seperti itu, menurut MWA, Gumilar pada dasarnya mengakhiri hubungan perdata dengan MWA UI. Ini berarti, surat pengangkatan Gumilar sebagai Rektor UI telah diakhiri secara sepihak. Dengan demikian, Gumilar berhenti menjadi Rektor UI pada 20 Desember,” Ade menafsirkan. 

Sebelumnya, Gumilar diangkat menjadi Rektor UI oleh MWA.

Rektor UI melawan

Menjawab soal itu, Gumilar menyatakan MWA tidak dapat memberhentikannya karena MWA sudah dibekukan secara hukum. “Semua pihak harus taat pada tata aturan yang ada,” kata Gumilar di sela-sela acara bedah buku "Green Science" di Kampus UI Depok.

Gumilar mengacu pada keputusan Mahkamah Agung (MA) sebagai landasan argumennya. Ia mengatakan surat MA menyatakan dengan jelas bahwa dalam PP No. 66/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan rektor UI merupakan pejabat publik, yakni Kepala Satuan Kerja di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Maka, kata dia, UI yang merupakan Perguruan Tinggi Pemerintah kini tidak mengenal institusi Majelis Wali Amanat.

“UI itu bukan BHMN (Badan Hukum Milik Negara), tapi PTP (Perguruan Tinggi Pemerintah). Di PTP itu tidak ada MWA, yang ada adalah Senat Universitas,” kata juru bicara Universitas Indonesia, Devi Rahmawati, membenarkan argumen Gumilar.

Di sisi lain, MWA bersikukuh bahwa keberadaan mereka tidaklah beku seperti yang dikatakan Gumilar. Sekretaris MWA UI Damona Poespa menegaskan institusinya sampai saat ini masih eksis sesuai koridor hukum yang berlaku.

Menurut Damona, dalam pesan singkat Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD kepada Dekan Fakultas Ekonomi UI Firmanzah tertanggal 20 Desember 2011, dikatakan bahwa MWA atau institusi apapun di UI boleh terus ada, asalkan itu bukan bentuk penyeragaman yang dipaksakan.

“Vonis MK itu simpel: tak boleh ada pemaksaan penyeragaman institusi oleh undang-undang. Tetapi, setiap universitas boleh mengikuti model BHP (Badan Hukum Pendidikan) atau lain-lain atas pilihannya sendiri-sendiri,” ujar Damona. Ia lantas menegaskan anggapan bahwa MA menetapkan MWA sudah dibekukan, sama sekali tidak benar.

“Benar ada pendapat hukum Ketua Muda MA Paulus Effendi Lotulung tanggal 27 Oktober 2011 yang menyatakan bahwa MWA tidak lagi memiliki kewenangan. Namun, Ketua MA Harifin Tumpa mengeluarkan pendapat hukum pada 6 Desember 2011, lebih baru daripada pendapat Paulus Lotulung,” ungkapnya. Dalam pendapat hukum yang dikeluarkan oleh Ketua MA, tutur Damona, dinyatakan bahwa pendapat hukum Paulus Lotulung tidak mengikat seperti halnya putusan pengadilan.

Hindari kudeta

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh pun turun tangan mencoba menengahi pergolakan di UI. Ia meminta MWA dan Rektor UI untuk saling mengakui keberadaan masing-masing. M. Nuh juga menegaskan Gumilar masih sah menjabat sebagai rektor.

“Keberadaan MWA harus tetap diakui. Keberadaan Rektor juga harus diakui. Kalau ada persoalan, harus kita selesaikan bersama,” kata Nuh. Toh, menurut dia, masa jabatan MWA dan Rektor UI tak lama lagi sama-sama akan berakhir. Oleh karena itu, ia meminta kedua pihak untuk menghargai perbedaan tafsir hukum yang ada.

Nuh juga mengatakan ia sudah menunjuk Dirjen Dikti untuk memfasilitasi proses perdamaian antara MWA dan Rektor UI. Sekaligus, dia menegaskan otoritas Kementerian Pendidikan untuk menetapkan acuan. “Silakan ada tafsir-tafsir. Tetapi Kementerian Pendidikan sebagai yang punya kewenangan dan otoritas, ingin mendamaikan dan mencari solusi. Intinya, semua perguruan tinggi, baik BHMN (Badan Hukum Milik Negara) maupun PTN (Perguruan Tinggi Negeri), berada di bawah Kemendikbud,” ujar Nuh.

Nuh berharap, menjelang akhir masa bakti MWA dan Rektor UI, mereka sama-sama bisa meredakan ketegangan, sehingga kedua belah pihak dapat mengakhiri masa tugas dengan baik. “Keanggotaan MWA berakhir 12 Januari 2012 mendatang. Pak Rektor habis pertengahan 2012,” kata Nuh.

Ia juga menekankan agar seluruh unsure pimpinan UI menjaga suasana akademis dan menghindari tarik-menarik kekuasaan, apalagi yang menjurus ke apa yang disebutnya sebagai kudeta, di kampus mereka. “Jangan sampai ada seperti model-model di dunia politik. Kita jaga tradisi akademik,” ujar menteri yang juga mantan Rektor ITS itu.

“Jangan sampai terjadi pecat-memecat dan saling meniadakan. Kita justru ingin saling mengakui,” tegas Nuh. Ia juga mengingatkan agar kisruh di UI ini tidak mengganggu proses belajar-mengajar. “Saya titip ke Pak Rektor, urusan akademik tidak boleh terganggu.” (kd)

 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya