SOROT 489

Kembalinya Trah Cendana

Konferensi Pers Partai Berkarya
Sumber :
  • VIVA.co.id/Yunisa Herawati

VIVA – Puluhan bendera warna kuning dengan lambang pohon beringin warna hijau berkibar-kibar di pagar sebuah bangunan dua lantai di Jalan Antasari nomor 20, Jakarta Selatan. Di dalam gedung, sejumlah orang terlihat sibuk. Ada yang mencatat tamu yang datang dan da yang berjaga-jaga. Ada pula yang tengah berdiskusi di salah satu ruangan. Sisanya tampak sedang mengepak kaos, topi warna kuning, dan sejumlah atribut lain.

YLBHI Samakan Jokowi dengan Soeharto, Ini Kata Istana

Spanduk berukuran besar bergambar Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto dan ayahnya, Soeharto terpasang di dinding ruangan. Bangunan berdinding kuning ini merupakan kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Beringin Karya atau lebih dikenal Partai Berkarya.

Sabtu, 17 Februari 2018 menjadi hari yang bersejarah bagi partai ini. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan partai yang lambangnya mirip Partai Golkar ini lolos verifikasi dan berhak ikut Pemilu dengan nomor urut tujuh. Wajah Sekjen Partai Berkarya, Badaruddin Andy Picunang dan puluhan kolegannya yang memadati Hotel Grand Mercure Harmoni, Jakarta terlihat semringah mendengar pengumuman tersebut.

Cerita Megawati Banyak Orang Takut Menyapanya di Era Orde Baru

Bersama 13 partai lain, partai besutan Tommy Soeharto ini lolos menjadi salah satu peserta Pemilu 2019. Siang itu, Kamis, 22 Februari 2018, Partai Berkarya hendak mendistribusikan logistik partai ke pengurus di daerah. Juga sedang menyiapkan rapat.

sorot partai garuda - berkarya

Film G30S PKI Dianggap Berlebihan, Aktivis 66: Itu Benar Adanya

Partai Berkarya mengikuti verifikasi Komisi Pemilihan Umum

Kembali ke Gelanggang

Lahirnya Partai Berkarya tidak bisa dilepaskan dari sosok Tommy Soeharto. Anak kelima dari almarhum mantan Presiden Soeharto ini menjadi orang yang disebut-sebut berperan besar di balik pendirian partai ini. Bersama Tommy ada Neneng A Tuty yang menjabat sebagai ketua umum dan Badarudin Andy Picunang sebagai sekretaris jenderal.

Sebelumnya, Tommy aktif di Partai Golkar menjadi anggota dewan pembina. Namun, posisi itu tidak cukup memberinya kesempatan untuk berbuat banyak dan eksis. "Maka saya dan Pak Tommy, dan juga Pak Badarudin dari Beringin Karya bergabung membentuk Partai Berkarya ini," ujar Neneng A Tuty saat VIVA berkunjung ke kantor DPP Berkarya, Kamis 22 Februari 2018.

Neneng menuturkan, embrio Partai Berkarya adalah Partai Nasional Republik atau Nasrep. Partai pimpinan Tommy ini tak lolos sebagai peserta Pemilu 2014. Partai besutan Tommy ini akhirnya digabungkan dengan Partai Beringin Karya agar bisa lolos. Jaringan Partai Nasional Republik menjadi alas. Sementara untuk pendaftaran di Kementeraian Hukum dan HAM mereka menggunakan nama Partai Berkarya.

"Jadi ada beberapa sih yang gabung di sini, ada beberapa dari Beringin Karya yang gabung, seperti Pak Sekjen kita Pak Badarudin, akhirnya kita bareng-barenglah," ujar Neneng menambahkan.

Tak heran, bila Tommy dipercaya untuk mengemban dua jabatan yang cukup prestisius sekaligus. Pertama adalah Ketua Majelis Tinggi Partai, dan kedua, Ketua Dewan Pembina.

Mengembalikan Orde Baru

Selain Tommy, Partai Berkarya juga diisi sejumlah purnawirawan TNI. Di antaranya mantan petinggi Badan Intelijen Negara Mayjen TNI (Purn) Muchdi Purwoprandjono yang menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan dan mantan Menko Polhukam, Laksamana TNI (Purn) Tedjo Edhy Purdijatno sebagai Ketua Dewan Pertimbangan.

"Visi misi kami tidak jauh dari apa yang dilakukan oleh Pak Harto. Yang pasti membangun ekonomi kerakyatan. Bagaimana caranya, ya tidak jauh bedalah dengan Pak Harto," ujar Neneng.

Menurut dia, alasan keluarga Cendana khususnya Tommy terjun ke politik bukan untuk tujuan pragmatis. Putera Mahkota Cendana itu disebut ingin melanjutkan cita-cita almarhum ayahnya. "Kita tahu ada Partai Golkar yang dulu juga didirikan oleh ayahnya. Tapi Mas Tommy tidak bisa melanjutkan di sana, maka dibuatlah (partai) sendiri dan kita perbesar bersama untuk bisa berkiprah sesuai dengan keinginannya, berkarya untuk Indonesia Raya," ujarnya menambahkan.

Neneng mengklaim, masyarakat sangat merindukan kepemimpinan tokoh seperti Soeharto. Hal itu berdasarkan pada pengalamannya sendiri yaitu dikejar-kejar masyarakat lantaran mobil yang dia tumpangi bergambar Soeharto. Karena itu dia yakin partainya akan mampu melenggang ke Senayan. "Kami berharap bisa menang di 2019 nanti. Target kursi di DPR tidak muluk ya, di bawah 13 persen."

sorot partai garuda - berkarya

Jajaran pengurus DPP Partai Garuda menggelar konferensi pers 

Selain Partai Berkarya, KPU juga meloloskan Partai Gerakan Perubahan Indonesia atau Garuda. Partai ini dipimpin Ahmad Ridha Sabana, mantan Presiden Direktur PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) milik Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut.

Sejumlah kalangan menuding, partai dengan nomor urut enam ini dekat dengan Orde Baru. Pasalnya, orang nomor satu di partai ini merupakan orang dekat dan kepercayaan Mbak Tutut. Namun, tudingan ini dibantah. Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana mengatakan, partai yang dideklarasikan pada 16 April 2015 itu tidak ada hubungannya dengan Cendana. "Enggak ada kaitannya," ujarnya kepada VIVA

Ridha mengaku sudah lama tidak di TPI. Selain itu, dia juga sudah tidak bekerjasama lagi dengan anak sulung Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana. "Ini benar-benar kami bangun partai dari nol. Bagaimana peran DPC, bagaimana peran luar biasa kader-kader. Lihat saja kantor kami sederhana, enggak mewah. Dengan diloloskan ke KPU, kami memenuhi syarat sesuai ketentuan," ujarnya bangga.

Dia menuturkan, Partai Garuda merupakan partai anak muda, punya pikiran harus ke arah perubahan lebih baik. Hal lain, mereka ingin mengajak pemuda bagaimana mendirikan partai dari bawah, bukan kelompok besar. "Artinya kembali dari rakyat." 

Tak Gentar

Kehadiran dua partai yang disinyalir berhubungan dengan keluarga Cendana itu tidak dikhawatirkan oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Mereka menilai, dalam demokrasi dan hukum di Indonesia, yang dilarang adalah menyebarkan ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Sedangkan ideologi lainnya sepanjang tidak mengajak orang untuk melakukan perbuatan kriminal tak dilarang hukum.

Artinya, bila ada parpol yang mau mengusung ajaran atau konsep Orde Baru bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan sepanjang tidak mengajak orang melakukan perbuatan yang dapat dipidanakan. "Kan membumikan terus ajaran Marhaenisme yang disusun Bung Karno juga tidak dilarang. Tentu kalau yang dimaksud adalah menyebarkan ajaran-ajaran Pak Harto yang baik tentang kerakyatan dan lain-lain boleh saja," kata Sekretaris Jenderal DPP PPP, Arsul Sani kepada VIVA, Kamis 22 Februari 2018.

Arsul menilai, lolosnya dua partai itu tak menunjukkan akan kembalinya Orde Baru. Dia yakin, situasi sosial kemasyarakatan saat ini sudah beda. Jauh dengan zaman Orba. Sehingga kalau pun ada partai yang menyatakan dirinya sebagai kekuatan baru Orba, belum tentu dipilih masyarakat. "Kita masih harus nunggu Pileg 2019, nanti," ujar anggota Komisi III DPR ini.

Arsul juga tidak melihat Berkarya dan Garuda sebagai ancaman. Namun, dia tidak membantah bahwa mereka merupakan kompetitor. Tapi tidak hanya untuk PPP melainkan semua partai kontestan Pemilu 2019.

Presiden Soeharto (kanan) sewaktu masih hidup.

Mantan Presiden Soeharto bersama Siti Hardiyanti Rukmana

Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding tidak menyalahkan pandangan, lolosnya dua partai itu berarti kembalinya Orde Baru. Karena, pendirinya adalah orang-orang Orba seperti sejumlah partai lain yang didirikan tokoh-tokoh Golkar. Namun, karena sudah punya kepentingan sendiri-sendiri, mereka cenderung memperjuangkan visi-misi partainya masing-masing.

Namun, Karding kurang sepakat bila dua partai itu disebut akan menghidupkan kembali ajaran Soeharto dan Orba. Selain tidak gampang, zaman juga sudah berubah. "Dan pihak-pihak yang mau menghidupkan lagi akan mikir panjang," katanya menambahkan.

Senada dengan Arsul, bagi Karding dan PKB, Partai Berkarya dan Garuda bukanlah ancaman. Tapi bagi partai-partai seperti Golkar dan pecahannya, atau yang dari birokrasi dan tentara dua partai tersebut bisa jadi ancaman.

Sikap serupa juga disampaikan Partai Amanat Nasional (PAN). Mereka tidak khawatir dengan keberadaan Partai Berkarya dan Garuda. Wakil Ketua Umum PAN Taufik Kurniawan mengatakan, saat ini sudah tak ada lagi Orba dan Orla. Semuanya kembali untuk membangun masyarakat Indonesia yang seutuhnya dan seluruhnya. Dua partai itu juga bukan ancaman bagi partai-partai lain.

"Tiap partai memiliki pasar tersendiri, dari pasar itu ada celah. Kita memiliki swing voters, kalau disurvei masih ada undecided voters belum menentukan pilihan. Itu jadi peluang bersama terutama pada partai baru," ujarnya kepada VIVA, Kamis 22 Februari 2018.

Takdir Demokrasi

Munculnya partai-partai baru yang disinyalir akan membawa aura Orde Baru dinilai merupakan bagian dari takdir demokrasi. Aktivis 1998 Savic Ali mengatakan, suka atau tidak suka publik di Tanah Air harus menerima. Meski demikian, ia mengaku tidak happy dengan munculnya partai-partai yang terkait atau menjadi jalan kembalinya Trah Cendana. Alasannya, selama berkuasa, rezim Orde Baru di bawah Soeharto tidak demokratis dan banyak melakukan pelanggaran HAM. Menculik dan membunuh orang. Selain itu, juga korup.

"Saya tidak happy dengan partai-partai yang bawa spirit Orde Baru. Tapi harus kita akui bahwa ini bagian dari konsekuensi demokrasi," ujar salah satu pendiri Forum Kota (Forkot), organ gerakan yang rajin ‘turun ke jalan’ menuntut Reformasi ini.

Menurut dia, yang harus dilakukan adalah mengedukasi masyarakat bahwa kembali ke masa lalu itu tidak baik. Dan partai-partai Cendana tidak layak didukung kalau negara ini ingin demokratis, aman, damai dan lebih maju.

Soal klaim adanya masyarakat yang merindukan masa Orde Baru, Savic tak membantah. Sebab, dari 250 jutaan penduduk, mungkin saja banyak dari mereka yang rindu. Apalagi, di banyak negara juga tidak sedikit ada orang yang rindu dengan rezim masa lalu.

Pendiri Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred) ini menilai, demokrasi selalu seperti itu. Sebagaimana ada juga yang menginginkan khilafah yang selalu memiliki pendukungnya. "Di sebuah negara tidak akan pernah tunggal. Kita bukan partai tunggal, semua pasti punya pendukungnya," ujar Pemimpin Redaksi NU Online ini.

Savic menilai, situasi itu merupakan tantangan bagi semua elemen yang pro dengan demokrasi, pro dengan pemerintahan yang bersih, yang pro kedamaian, agar mereka bekerja mendidik masyarakat agar tidak salah pilih partai politik.

Terlepas dari itu, dia tidak yakin keberadaan Partai Berkarya dan Garuda itu bukti Orde Baru solid lagi. Karena sejak Reformasi banyak elemen-elemen yang dulunya ada di Orde Baru, menyebar ke banyak tempat. Bila zaman dulu cuma ada 3 partai, Golkar, PPP, PDI. Praktis dulu kekuatannya di Golkar, dan TNI-Polri yang punya fraksi di parlemen.

Savic Ali

Setelah Reformasi, fraksi ABRI sudah tidak ada. Sementara Golkar juga sudah terjadi perubahan berkali-kali. Banyak orang-orang di daerah yang juga pindah partai. "Jadi saya kira peta politiknya berubah. Jadi ya tidak semudah itu juga Cendana untuk mengkonsolidasikan para pendukung lamanya," ujar pendiri dan aktivis Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) ini menambahkan.

Tapi soal berhasil tidaknya mereka di Pemilu 2019, Savic menyebut mungkin saja. Meskipun dia belum bisa mengatakan karena belum ada survei yang menunjukkan. Karena itu, dia tidak bisa menyebut berhasil atau tidak. "Ada negara-negara yang mampu melampaui transisi demokrasinya. Ada yang gagal melalui transisi demokrasi. Yang penting kita berdoa bangsa ini tidak gagal melalui transisi demokrasinya," ujarnya berharap.

Meski saat ini masih ada korupsi, partai banyak yang sibuk dengan kepentingannya sendiri dan ada yang terjebak oligarki, ada sentimen-sentimen SARA yang kembali marak, tapi menurutnya situasi saat ini lebih baik dari masa Orde Baru. "Jadi kekuatan yang justru antitesis terhadap demokrasi, ya menurut saya jangan sampai didukung."

Menjual Romantisme

Lolosnya Partai Berkarya dan Garuda dinilai cukup mengejutkan. Namun demokrasi memang sering kali memberi warna baru. "Lolos ke parlemen dulu saja sudah bagus. Itu juga butuh ekstra kerja keras, berdarah-darah," ujar pengamat politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio saat dihubungi VIVA, Senin, 19 Februari 2018.

Hendri menilai, kedua partai itu sulit 'menjual' program Orde Baru saat ini. Figur Tommy Soeharto dianggap belum bisa memberikan efek signifikan terhadap parpol. Namun, kenangan Orde Baru bisa dijual bila kinerja kabinet ekonomi pemerintahan Joko Widodo gagal. "Bila kondisi ekonomi tidak membaik maka kampanye keberhasilan zaman Orba lebih enak bisa ditelan. Jualan Orde Baru berhasil, enakan zaman Soeharto dibanding Reformasi," ujarnya menambahkan.

Pengamat politik lainnya, Adi Prayitno juga sependapat. Dia menilai, sulit menjual romantisme Orde Baru di masa sekarang ini. Menurut dia, jika masyarakat hanya berpikir pendek maka kenangan manis Orde Baru bisa diterima. Namun, sebaliknya jika berpikir rasional maka sulit. "Mengembalikan Orde Baru akan diterima bila berpikir pendek. Tapi, kalau berpikir rasional akan ditolak," ujarnya.

Selain itu, ada dua parpol baru lain yaitu Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Perindo yang akan menjadi lawan berat untuk lolos ke parlemen. Meski baru, dua parpol ini dinilai lebih siap. Pertama, PSI dengan kampanye anak muda menjadi andalan. Kemudian, Perindo dengan kekuatan jaringan media massa yang dimiliki Hary Tanoesoedibjo.

"Realistisnya susah. Karena ada PSI dan Perindo yang lebih siap. Secara sosialisasi, dua parpol ini sudah lebih dulu," ujarnya menambahkan.

Lolosnya Partai Garuda membuat pengamat politik dan Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago kaget. Menurut dia, nama dan logonya sedikit asing. Namun untuk Partai Berkarya, Pangi menilai publik tidak kaget. Karena dari awal publik tahu prosesnya dan bagaimana perjuangan partai tersebut.

"Partai Berkarya, jelas ada Tommy Soeharto, sementara partai Garuda diduga punya irisan ke mbak Tutut. Tanggapan saya, kembali menguatnya kembali trah Soeharto," kata Pangi kepada VIVA, Jumat 23 Februari 2018.

Dia melihat, lolosnya dua partai tersebut adalah sinyal mengeliatnya kembali harmoni Orde Baru. Ada kerinduan menjual kesuksesan Orde Baru membangun. Namun bagi kelompok melenial atau masyarakat generasi now kemungkinan anti-tesis Orba. "Kecuali generasi tua, merindukan Orba," ujarnya menambahkan.

Pangi menilai, Partai Berkarya punya kans bisa lolos ambang batas parlemen, sepanjang bisa menjadikan Soeharto sebagai komoditas politik. Hal itu mengacu pada apa yang dilakukan PDIP dengan menjadikan Soekarno dan Megawati sebagai ikon. "Sementara ikon Partai Berkarya adalah Soeharto dan Tommy Soeharto," katanya.

Dia mengatakan, Soeharto efect bisa mendongkrak elektabilitas Partai Berkarya. Segmen ceruk potensial pemilih melenial dan pemula ia melihat belum tergarap dengan baik oleh Partai Berkarya. Sementara pemilih yang tua-tua, yang merindukan kebahagiaan dan masa era romantisme era Soeharto, ada kemungkinan memilih partai tersebut. (mus)

Baca Juga:

Cengkam Klan Soeharto

Jejak Cendana di Pentas Politik Nasional

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya