SOROT 501

Menakar Taktik Kikis Teroris

Operasi penangkapan terduga teroris beberapa waktu lalu (foto ilustrasi).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Didik Suhartono

VIVA – Pria itu berdiri tegap di hadapan sejumlah orang dalam sebuah diskusi di Gedung LIPI Jakarta, Kamis 17 Mei 2018.  Di situ, dia blak-blakan menceritakan pengalamannya menjadi teroris. Lelaki tersebut juga menyinggung soal aksi  terorisme yang melanda Tanah Air akhir-akhir ini.

Bantu Perangi Terorisme di Afrika, Adakah Niat Terselubung Amerika?

Adalah Ali Fauzi, namanya. Mantan narapidana teroris itu mengibaratkan terorisme seperti penyakit komplikasi. Adik Amrozi dan Ali Imron, pelaku Bom Bali 1 itu, pernah mengalami penyakit tersebut bertahun-tahun sejak umur 18 tahun.

Ali, yang merupakan peracik Bom Bali pada 2002 itu, sudah “sembuh”. Untuk tobat, dia melalui proses panjang. Mantan kepala instruktur perakit bom pada jaringan Jamaah Islamiyah tersebut memulainya dengan belajar memanusiakan manusia. “Bagaimana kita bisa berubah pikiran itu karena mau belajar,” ujar Ali.

Pemkab Tangerang Benarkan PNS Mereka Ditangkap Densus

Faktor Polri juga mendorongnya untuk berubah. Setelah ditangkap di Filipina, dia dipulangkan ke Indonesia. Saat itu, dia dalam keadaan sakit. Dia mendapat perlakuan yang manusiawi oleh para polisi. Dia pun mulai berpikir bahwa doktrin yang diterimanya dulu bahwa polisi jahat, adalah salah. “Tidak ada satu tangan polisi pukul saya,” ujarnya.

Bukan hanya itu. Pertemuan Ali dengan sejumlah korban ledakan bom di Indonesia, juga menyadarkannya. Melihat kondisi mereka yang mengenaskan, seperti melepuh dan tak punya kaki,  membuat dia menangis. Dia pun minta maaf kepada mereka. Para korban yang  berbeda keyakinan dengan Ali itu lantas memaafkannya.

IDI Sukoharjo Minta Kasus Sunardi Tak Dikaitan dengan Profesi Dokter

“Saya rangkul lagi dan menangis. Dan sejak itu kemudian betul-betul sempurna untuk afirmasi diri. Saya betul -betul harus menjadi Ali Fauzi baru, bukan Ali Fauzi bayangan,” ujarnya.

Ali Fauzi Manzi, adik Amrozi dan mantan instruktur bom Jamaah Islamiyah.

Ali Fauzi, adik Ali Imron mantan kepala instruktur perakit bom pada jaringan Jamaah Islamiyah

Kini, Ali telah tobat. Namun di sisi lain, ada juga mantan narapidana teroris yang tetap beraksi. Afif alias Sunakim, misalnya. Dia  pernah ditangkap lantaran melakukan latihan aksi teror pada tahun 2010 di Aceh. Setelah keluar penjara, dia ikut meledakkan bom di kawasan Thamrin, Jakarta, pada 14 Januari 2016. Dia melepaskan tembakan ke arah masyarakat. Polisi lantas menembaknya hingga tewas.

Usai Bom Thamrin, aksi terorisme masih terjadi di Tanah Air. Teranyar, teror beruntun melanda beberapa lokasi, akhir-akhir ini. Mulai dari kerusuhan di Rutan Cabang Salemba, di kompleks Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Selasa, 8 Mei 2018.

Kemudian, ledakan bom melanda tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur, Minggu pagi, 13 Mei 2018. Pada hari yang sama, sekitar pukul 21.00 WIB, ledakan bom terjadi di rumah susun sewa (rusunawa) Wonocolo, Sidoarjo, Jawa Timur.

Serangan terus berlanjut. Pada Senin, 14 Mei 2018,  ledakan bom terjadi di Mapolrestabes Surabaya, Jawa Timur. Lalu sekelompok orang  menyerang Mapolda Riau, Rabu, 16 Mei 2018.

Deradikalisasi: Berhasil atau Gagal?

Rentetan teror yang melanda Tanah Air itu lantas memunculkan pertanyaan terhadap efektivitas program deradikalisasi yang dijalankan pemerintah. Menurut penjelasan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM  dari Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, deradikalisasi merupakan tindakan preventif kontraterorisme atau strategi untuk menetralisir paham-paham yang dianggap radikal dan membahayakan, dengan cara pendekatan tanpa kekerasan.

Peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia, Solahudin menuturkan, bahwa sulit menentukan apakah program deradikalisasi berhasil atau gagal. Program yang dirintis sejak 2002 itu, kata Solahudin, tidak punya basis data untuk berpijak.

"Pertama, orang yang radikal kan harus diketahui tingkat radikalismenya. Setelah masuk program deradikalisasi, diintervensi, kita lihat ada hasilnya atau tidak. Nah, selama ini pernah diukur orang yang dikasih deradikalisasi tingkat radikalismenya seperti apa. Bisa dibandingin, sebelum diintervensi dan sesudah diintervensi. bisa diukur," ujarnya seperti dilansir BBC.

Pengamat terorisme Al Chaidar punya pendapat berbeda. Dia menilai, program deradikalisasi tidak efektif. Jika program itu berhasil, menurut dia, seharusnya tidak terjadi kerusuhan di Rutan Cabang Salemba, di Mako Brimob itu.

Menurut Chaidar, narapidana di rutan tersebut telah menjalani deradikalisasi. “Yang di sana itu kan cuma 10 orang yang belum jadi narapidana, selebihnya sudah narapidana mereka itu,” ujarnya saat dihubungi VIVA, Kamis 17 Mei 2018.

Petugas kepolisian membawa jenazah korban kerusuhan Rutan Mako Brimob

Polisi membawa jenazah korban kerusuhan di Rutan Cabang Salemba di Mako Brimob

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Polisi Suhardi Alius membantah jika penyerangan narapidana terorisme atau napiter di Rutan Cabang Salemba, Mako Brimob itu dianggap kegagalan deradikalisasi. Sebab, pihaknya belum intens menangani mereka.

Menurut dia, BNPT akan menangani mereka ketika sudah divonis, lalu menjadi narapidana, kemudian diserahkan ke lembaga pemasyarakatan. “Nah baru lah kita masuk di situ, program deradikalisasi,” ujarnya kepada VIVA.

Saat ini, menurut Suhardi, BNPT melaksanakan dua program besar. Pertama, program deradikalisasi yang ditujukan kepada para narapidana teroris di dalam lapas, mantan napi teroris di luar lapas atau yang sudah terpapar radikalisme, beserta keluarganya.

Dari sekitar 600 lebih mantan napi teroris yang sudah keluar dari lapas itu, 128 di antaranya itu sudah menjadi narasumber BNPT. Hanya tiga orang yang mengulangi perbuatannya, yaitu dalam  kasus Bom Thamrin, Bom Cicendo, dan Bom Samarinda. “Itu artinya program deradikalisasi yang dilakukan oleh BNPT itu bagus atau tidak? Silakan masyarakat yang menilai sendiri,” ujar Suhardi.

Program kedua yang dijalankan BNPT yaitu  kontraradikalisasi. Program ini ditujukan kepada masyarakat yang belum terpapar radikalisme, seperti di kalangan pemuda, perempuan. Program dilakukan antara lain dengan ceramah, sosialisasi.

“Kami kan punya 32 FKPT (Forum Kerjasama Perguruan Tinggi) di seluruh Indonesia. Mereka itu memberikan guidance kepada seluruh stakeholder, kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk berhati-hati dengan paham-paham radikal,” ujar Suhardi.

Radikalisme Anak Muda

Soal radikalisme, sejumlah lembaga pernah melakukan penelitian tentang pemahaman radikal di kalangan anak muda. Satu di antaranya penelitian oleh Setara Institute. Lembaga ini melakukan survei terhadap 760 responden dari 171 SMA negeri di Jakarta dan Bandung, pada 4-18 April 2016. Hasilnya menunjukkan, terdapat 61,6 persen siswa yang toleran, 35,7 persen yang intoleran pasif/puritan, 2,4 persen yang intoleran aktif/radikal, dan 0,3 persen yang berpotensi menjadi teroris.

“Meskipun angka (radikal) itu kecil tapi kan itu menjadi warning bagi kita semua. Peringatan bahwa di kalangan anak muda kita ada yang tertarik dengan ide-ide radikal bahkan ada yang tertarik dengan kelompok teror,” ujar Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos saat dihubungi VIVA, Kamis 17 Mei 2018.

Temuan lainnya datang dari Maarif Institute. Berdasarkan riset yang dilakukan lembaga tersebut di beberapa kota, pada tahun 2011, ditemukan bahwa gejala radikalisme sudah masuk ke sekolah.
Ada tiga pintu masuk radikalisasi di sekolah. Di antaranya, faktor eksternal akibat kebijakan sekolah terlalu longgar, serta tidak adanya  filter yang cukup kuat. Kemudian, kegiatan ekstra kurikuler menjadi akses bagi elemen luar untuk masuk menebar benih radikal di sekolah.

Dalam hal ini, alumni sekolah menjadi oknum yang turut berperan. Biasanya, mereka sudah terpapar radikalisasi secara intensif di tingkat perguruan tinggi. “Tingkatan ekstrakurikuler ini juga macam-macam yang bisa dimasuki (pihak luar). Salah satunya yang cukup kentara adalah Rohis (Kerohanian Islam) dan OSIS,” kata  Direktur Eksekutif Maarif Institute, M. Abdullah Darraz, kepada VIVA.  

Demo Rohis di Bundaran HI

Direktur Jenderal Pendidikan Islam dari Kementerian Agama, Kamaruddin Amin, meminta guru agama di sekolah harus terlibat melakukan pembinaan terhadap rohis. Kepala sekolah juga harus memastikan penceramah ke sekolah bukan dari kalangan ekstrem.

“Ini tantangan berat juga, di luar sana ada upaya-upaya yang dilakukan oleh kelompok tertentu yang berusaha secara sistematis terencana untuk menembus lembaga-lembaga pendidikan kita, ini yang harus dihadapi bersama-sama,” ujarnya saat dihubungi VIVA, Kamis 17 Mei 2018.

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Hamid Muhammad mengakui, pihaknya pernah menemukan ada sejumlah sekolah yang mengajarkan benih-benih intoleransi. “Mereka sudah dapat pembinaan dari dinas pendidikan setempat,” ujarnya.

Bagi guru yang mengajarkan intoleransi dan radikalisme, menurut  Hamid, dapat dikenakan sanksi oleh dinas pendidikan setempat. Mulai dari sanksi paling ringan, teguran sampai pemecatan. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya