-
VIVA – Deretan bangku berwarna perak berjejer rapi di sudut ruangan rumah sakit di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur. Sekitar 20 pasien terlihat mengantre di loket. Mereka ingin mendapatkan layanan jaminan kesehatan dari pemerintah.
Di gedung RS Persahabatan yang didominasi warna putih tersebut juga terlihat antrean panjang pasien lainnya. Kali ini mereka sedang menunggu obat dengan layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Dari sudut gedung yang menghadap langsung pintu masuk utama rumah sakit itu, layanan BPJS Kesehatan dibatasi hingga pukul 16.00 WIB setiap harinya untuk melayani masyarakat.
Layanan kesehatan yang memiliki landasan hukum Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial itu kini menuai kritik.
Kritik itu keluar lantaran BPJS Kesehatan menghentikan penjaminan obat kanker Trastuzumab. Obat ini sebelumnya dijamin penyediaannya, tetapi sejak 1 April 2018 BPJS menghentikan penjaminan obat kanker tersebut. Pemangkasan layanan BPJS Kesehatan juga dilakukan pada pelayanan katarak, persalinan bayi, dan rehabilitasi medik. Pengurangan itu sangat merugikan masyarakat dan juga dokter.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fahmi Idris
Berbagai upaya yang dilakukan BPJS Kesehatan tersebut kemudian ditengarai akibat dampak dari besarnya biaya operasional ketimbang pendapatan yang dihasilkan setiap tahunnya.
Lihat Juga
-
BPJS Tanggung Biaya Pasang Ring Jantung
-
Cukup Pakai Finger Print, Pasien Cuci Darah Gak Perlu Bawa Rujukan
-
-
Tanggapan Industri Farmasi atas Naiknya Iuran BPJS Kesehatan
-
Hari Kesehatan Nasional, Terawan Benahi Tata Kelola BPJS Kesehatan
-
Viral Video Ribka Tjiptaning Saat Marah-marah ke BPJS Kesehatan
-
Heboh Broadcast RS Tak Boleh Tanyakan Biaya ke Pasien, Ini Faktanya
Berdasarkan data Rencana Kerja dan Anggaran BPJS Kesehatan tahun 2018, pendapatan ditargetkan mencapai Rp79,77 triliun. Sementara itu, pembiayaan sebesar Rp87,8 triliun, sehingga defisit Rp8,03 triliun.
Bahkan, untuk tahun ini, BPJS Kesehatan memperkirakan defisit akan mencapai Rp11,2 triliun atau meningkat dari defisit 2017 yang telah mencapai Rp9,75 triliun.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fahmi Idris, mengakui besarnya defisit yang akan dihadapi lembaganya ke depan akan diselesaikan dengan berbagai upaya dan tidak akan mengandalkan pemerintah.
Menurut Fahmi, BPJS Kesehatan akan mencari solusi seperti penyesuaian tiga manfaat yang diterima masyarakat dan mengkaji kenaikan besaran biaya iuran.
"Kami terus berupaya agar pelayanan tidak berhenti," kata Fahmi saat ditemui di Istana Negara usai bertemu Presiden Joko Widodo, Senin 6 Agustus 2018.
Kepala Humas BPJS Kesehatan, Nopi Hidayat, menambahkan, masalah defisit keuangan di dalam lembaganya sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Dan itu adalah dapur pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab.
Namun, BPJS Kesehatan akan tetap berusaha memberikan layanan terbaik bagi kesehatan masyarakat. "Jadi masalah kesehatan masyarakat tetap diserahkan ke BPJS, dan keuangan jadi dapur pemerintah," ujarnya kepada VIVA.
-