SOROT 538

Dari Pedagang hingga Raja Gula

Sejumlah warga Tionghoa membersihkan patung dewa dewi di Klenteng Hok Tek Bio Salatiga, Jawa Tengah, Selasa, 29 Januari 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho

VIVA – Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Jawa sebutannya. Tercatat sebagai figur dalam sistem kapitalisme dunia abad ke-19. 

Sindikat Perdagangan Orang Mail Order Bride Rekayasa Umur Korban Supaya Bisa Jual ke WN China

Oei Tiong Ham Concern atau OTHC adalah perusahaan konglomerasi pertama di Hindia Belanda yang dibangunnya. Gurita bisnis taipan era kolonial itu tak tanggung-tanggung. OTHC meliputi perkebunan tebu dan pabrik gula, perusahaan dagang, konstruksi pelayaran, konstruksi, perbankan hingga real estate.

Cerita sukses Oei Tiong Ham dimulai dari sang ayah yang sudah menurunkan perusahaan bisnis. Bertahun-tahun kemudian, cikal bakal bisnis warisan itu meluas dengan akuisisi setidaknya lima pabrik gula pada 1880-an oleh Oei Tiong Ham dalam usianya yang relatif muda memimpin usaha keluarga.

Kiamat Teknologi di Depan Mata

Ayahnya bernama Oei Tjien Sien datang dari Provinsi Fujian yang berada di bagian selatan Tiongkok. Tiga tahun setelah keluarganya berimigrasi ke Indonesia yang kala itu masih disebut Hindia-Belanda, Oei Tiong Ham lahir yakni pada 19 November 1866.

Oei Tiong Ham, konglomerat pertama di Asia Tenggara

Tantangan Berat Toyota di Pasar China dan Jepang

Oey Tiong Ham, konglomerat pertama di Asia Tenggara

Namun, cerita para imigran asal China bukan melulu kisah sukses. hanya potret segelintir warga Tionghoa keturunan maupun totok yang mampu mengukir nama besar dalam sejarah China di Nusantara.

Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, warga Tionghoa, yang merupakan imigran maupun sudah keturunan imigran tersebar di wilayah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Mereka banyak bekerja di perkebunan-perkebunan sebagai buruh selain berdagang. Tak jarang mereka melakukan keduanya. 

Namun, kedatangan warga Tionghoa ke Tanah Air pula bisa dirujuk mundur jauh ke belakang, sampai pada abad ke-4 dan ke-5.

Tersebutlah nama Biksu Fa Hien atau Fa Hsien. Menurut berbagai sumber literatur, Fa Hsien termasuk orang Tionghoa pertama yang menginjakkan kaki di wilayah Nusantara pada abad ke-4. 

Pada awalnya dia sampai ke Jawa hanya untuk singgah saat menumpang kapal yang akan membawanya ke India. Wilayah Nusantara saat itu menjadi persinggahan alias transit, apabila mengikuti jalur yang dinamakan Jalur Sutra Maritim atau Nanhai maupun Nanyang.

Nanhai atau Nanyang merupakan jalur perdagangan yang sangat vital pada masanya. Melalui jalur ini, wilayah Tiongkok terhubungkan dengan Asia Tenggara, Asia Selatan, hingga semenanjung Arab terus ke Mesir bahkan benua Eropa. Nanyang sangat terkenal dan menjadi jalur utama perdagangan khususnya sejak abad ke-2 Sebelum Masehi hingga abad ke-15 Masehi.

Jalur perairan Nanyang antara lain Laut China Selatan, Selat Malaka, Samudra Hindia, Teluk Benggaa, Laut Arab, Teluk Persia, dan Laut Merah.

Peta Jalur Sutra dan Jalur Sutra Maritim China

Peta Jalur Sutra Maritim China

Disebutkan, setelah Fa Hsien yang berhubungan dengan Tarumanegara, arus masuk orang Tionghoa terus berlanjut masuk ke Indonesia. Pada abad ke-9 di Jawa, komunitas mereka makin tampak. 

Sebagian berdagang dan menetap secara temporal. Lainnya memilih untuk bermukim dan beranak-pinak, lantas hidup berbaur dengan masyarakat di Nusantara.

Peneliti dan pengamat pecinan Nusantara dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Agni Malagina, membenarkan soal sosok Fa Hsien yang termasuk pendatang awal dari China. Namun, menurut Agni, sejak abad ke-2, dengan adanya keberadaan Jalur Sutra, orang-orang luar memang sudah mulai masuk ke wilayah Nusantara termasuk para pedagang dari China.

Meski kedatangan mereka memang bukan untuk menetap, namun sebatas untuk kepentingan dagang. “Orang Tionghoa datang dan menetap setidaknya tercatat banyak mulai abad ke-14, ke-15, ke-16. Ramai datang dan mulai menetap,” kata Agni kepada VIVA, Kamis 31 Januari 2019.

Mereka masuk dengan menggunakan kapal atau dikenal dengan jung-jung yakni semacam kapal besar ekspedisi. Ekspedisi pada abad ke-15 utamanya diwarnai untuk kepentingan dagang dan diplomasi pada masa dinasti Ming.

Sebagian pedagang akan tinggal paling tidak untuk jangka waktu enam bulan, namun kembali lagi ke China. Lama-kelamaan ada yang berdagang dan menetap setelah membawa keluarga maupun menikahi perempuan Indonesia dan berketurunan di Nusantara.

Proses ini pula yang menjadi asal-muasal munculnya istilah sosiokultural China peranakan dan totok. China peranakan adalah mereka yang sudah lahir di wilayah Nusantara baik campuran maupun tidak. 

Sementara itu, istilah totok merujuk mereka yang masih asli lahir di China, kemudian menjadi imigran. Walau demikian, lama-kelamaan istilah ini tidak terlalu signifikan digunakan lagi kecuali untuk kepentingan menelisik aspek sosiokultural.

"Kalau abad ke-19, ke-20 orang Tionghoa datang bisa dengan kapal biasa, belakangan kapal uap (abad ke-20). Mereka datang dari pelabuhan-pelabuhan pesisir selatan China, wilayah Fujian, Guangdong," ujar Agni. 

Namun, selain faktor kepentingan dagang, diplomasi dan eksplorasi, kondisi tidak stabilnya politik dan keamanan di wilayah China menjadi alasan makin banyaknya orang Tionghoa yang masuk ke Nusantara. Kondisi politik rezim dinasti di China pada masa-masa tersebut penuh gejolak. Ekonomi pun cukup buruk.

Kondisi politik yang kacau akibat banyaknya pemberontakan dan kehidupan ekonomi masyarakat yang tertekan membuat orang-orang berusaha mencari tempat yang lebih baik untuk memulai hidup dan berpenghidupan. Tak heran, sebagian mereka akan menjadi tenaga kerja di wilayah tujuan baik secara legal maupun ilegal.

Pendatang China menumpang kapal biasanya tiba di wilayah dengan pantai-pantai dan pelabuhan di Nusantara. Di antaranya Aceh, Barus, Jambi, Palembang, Banten, Cirebon, Semarang, Lasem, Tuban, Gresik, Surabaya, Madura, Pasuruan, Bali, Sumba, Selayar, Makassar, Buton, Flores, Timor, Buton, Banda, dan Ambon. 

Mereka kemudian menyebar ke wilayah-wilayah lainnya termasuk ke pedalaman dengan berbagai moda transportasi. “Menjadi kuli, berdagang, kerja untuk Belanda, swasta dan lainnya,” tutur dia soal pekerjaan yang biasa digunakan para imigran asal China.

Relasi Kerajaan dan Islam

Setelah era biksu Fa Hsien, pada abad ke-7 terkenal nama tokoh agama asal China bernama I Ching yang ingin belajar agama Buddha ke India. Mirip dengan pengalaman Fa Hsien, dia melewati dan transit di Jawa. 

Pada akhirnya sempat belajar bahasa Sanskerta kepada guru yang bernama Jñânabhadra. Sementara itu, pada era-era tersebut, para pedagang di China disebutkan juga sudah menjalin hubungan dengan pihak kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Tak ayal, sebagian pedagang Tionghoa juga menikah dengan keluarga kerajaan. Sebagian bahkan diberikan wewenang yang cukup tinggi, misalnya pada era Kerajaan Majapahit. Selain I Ching, abad ke-7 dikenal pula Yi Jing, biksu senior di Dinasti Tang pernah singgah tiga kali ke wilayah Sriwijaya.

Dia dicatat pernah tinggal selama belasan tahun. Berikutnya adalah biksu Hui Ning yang juga tiba di Keling, Jawa.

Lokasi temuan candi zaman Kerajaan Sriwijaya di Palembang.

Lokasi temuan candi zaman Kerajaan Sriwijaya

Sementara itu, sejarah Tionghoa dan Islam di Nusantara juga menjadi catatan penting dalam relasi hubungan pendatang China dan masyarakat lokal. Pada 1407, Laksamana Cheng Ho dengan armadanya tiba di Kukang, Palembang, Sumatera Selatan. 

Dalam tulisan asisten Laksamana Cheng Ho, Mah Hwang disebutkan soal Muslim Tionghoa yang sudah menduduki Pulau Jawa pada masa itu. Sementara itu, asisten Laksamana Cheng Ho lainnya yang bernama Wang Jonghong disebutkan menetap di Simongan, Semarang. 

Keberadaan Cheng Ho dan asisten yang kemudian memeluk Islam itu juga memengaruhi berkembangnya Islam di Jawa Tengah khususnya Semarang dan sekitarnya.

Masa Kolonial

Pada awal abad ke-19, populasi warga Tionghoa di Jawa dan Madura disebut cukup signifikan. Dilaporkan ada lebih dari 100.000 orang. Angka itu relatif stabil bahkan cenderung meningkat pada masa penjajahan di Indonesia.

Tahun 1930-an lebih lanjut ditemukan komunitas-komunitas Tionghoa di berbagai wilayah Nusantara khususnya Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Komunitas itu teridentifikasi di area-area urban. 

Terbentuknya permukiman Tionghoa itu dipupuk sejak akhir abad ke-16 antara lain ada di Palembang, Gresik, Tuban, Jayakarta, Semarang, Surabaya, Borneo, dan Bali.

Kawasan Pecinan Padang

Kawasan Pecinan di Padang, Sumatera Barat

Oleh karena itu, warga Tionghoa yang hidup di Nusantara juga turut menjadi saksi dan merasakan masa penjajahan yang terjadi di Indonesia yang dimulai dengan masuknya Dutch East Indian Company atau VOC yang merupakan perusahaan dagang negara Belanda tersebut. 

Jurnal ilmiah berjudul “The Chinese Community in Dutch Indonesia: Population and Socio-economic Characteristics” yang ditulis oleh William TAI Yuen diterbitkan Malaysian Journal of Chinese Studies pada 2014 menyebutkan, bahwa pada 1900 hingga 1930 menjadi periode yang penting bagi imigran China masuk, menapak kuat hingga masuk dalam struktur ekonomi di Indonesia. 

Para imigran China pada 1930-an mulai membangun kehidupan yang lebih baik di Hindia Belanda dibandingkan hidup di negara yang mereka tinggalkan. Periode ini substantif karena komunitas Tionghoa mulai masuk hampir ke semua sektor ekonomi.

Apalagi kemudian muncul kebijakan Belanda untuk memenuhi pembiayaan dan pembangunan di negaranya yang membuat penjajah memberlakukan kebijakan liberal termasuk dalam hal pertanian dan perkebunan. Adanya sistem tanah paksa, Belanda mengubah sistem tanam dari produk yang biasanya untuk kebutuhan lokal yaitu padi menjadi komoditas yang bisa diperdagangkan secara internasional. 

Antara lain, teh, tembakau, kopi, gula, dan berbagai perkebunan lainnya. Untuk itu dibutuhkan banyak pekerja di berbagai perkebunan yang tersebar di nusantara.

Awal abad ke-19, dengan adanya kebijakan ini, Nusantara di bawah Hindia Belanda resmi menjadi bagian dari sistem kapitalis global.

Dari waktu ke waktu, angka populasi komunitas Tionghoa di wilayah Nusantara dicatat meningkat sebagai disebutkan jurnal tersebut. Angkanya pada 1860 hingga 1920 menunjukkan peningkatan.  Pada 1860 ada sekitar 221.438 jiwa, tahun 1880 menjadi 343.793 jiwa, kemudian 1890 sekitar 461.089 jiwa. Selanjutnya, pada 1900 terdapat 537.316 jiwa dan 1920 tercatat sudah ada 809.039 jiwa.

Untuk periode 1921 hingga 1930, populasi pendatang warga China dan keturunannya di Nusantara menyentuh angka 1.233.214 jiwa yakni 582.431 jiwa di Jawa dan Madura serta 650.783 jiwa di luar Jawa dan Madura.

Namun, angka masuknya imigran dari China dilaporkan menurun sejak 1930. Kondisi itu terjadi lantaran dunia tengah mengalami Great Depression yakni depresi ekonomi global terburuk yang pernah melanda kawasan global. 

Pada era depresi, kolonial memberlakukan pajak dan uang masuk yang cukup mahal bagi imigran yang akan masuk ke wilayah okupasinya. Saat itu, untuk imigran Tionghoa dipatok tarif 50 hingga 100 Guilders yang menyebabkan berkurangnya imigran legal yang masuk.  

Pada 1932, dicatat ada 7.069 imigran yang masuk, namun angka itu turun pada 1933 setelah tarif masuk berlaku, yakni menjadi 4.936 imigran China. Setelah itu, pertumbuhan populasi komunitas Tionghoa di Nusantara bertitik berat pada angka kelahiran dan penduduk Tionghoa yang sudah ada di Indonesia, bukan lagi pada pendatang langsung dari negeri Tirai Bambu.

Poligami

Perkembangan populasi Tionghoa di Indonesia tak terlepas dari tingginya tingkat kelahiran dan pertumbuhan di komunitasnya. Aspek kultural dan kebiasaan dalam perkawinan tak ketinggalan menggenjot angka populasi Tionghoa. 

Meski awalnya para imigran China masuk tanpa membawa istri maupun dalam keadaan lajang, mereka pada akhirnya akan hidup berkeluarga menjelang dan sesudah mapan. Para imigran China yang sudah mendapatkan pekerjaan di Nusantara dan berkeluarga akan mendatangkan keluarga mereka untuk menyusul. Akhirnya tinggal dari generasi ke generasi dan menjadi warga Indonesia.

Sementara itu, para lajang Tionghoa biasanya mencari potensi calon istri dari warga lokal yang biasanya dianggap tak menyusahkan dari aspek suku dan agama. Kecenderungan imigran pria Tionghoa pada masa itu akan mencari perempuan biasanya dari wilayah Jawa, Bali, dan Sulawesi. 

Kawasan Pecinan Pasar Lama Tangerang

Populasi warga Tionghoa di Tangerang

Perkembangan populasi Tionghoa di Jawa khususnya di Batavia kala itu juga bisa direkam dari catatan sensus yang dimiliki Kantor Administrasi Khusus China yang berdiri sejak 1717 dan wajib hingga 1919. 

Pada periode itu, aturan administrasi mewajibkan warga Tionghoa yang menikah, melahirkan dan bercerai harus mencatatkan diri di kantor yang belakangan diketahui disebut dengan Kong Koan. Setelah 1919 kewajiban terbilang longgar walau sensus tetap diadakan.

Data pada 1930 menunjukkan bahwa ada 10.791 perempuan lokal yang menikah dengan pria Tionghoa dan kemudian akan dihitung sebagai keturunannya. Hampir setengah perempuan itu disebut berdarah Jawa, meski angka itu diyakini sebenarnya lebih besar lantaran potensi orang tak mencatatkan pernikahan era itu pasti ada.

Populasi yang meningkat di komunitas Tionghoa juga tak terlepas dari kebiasaan poligami yang dimaklumi terjadi pada saat itu. Poligami menjadi praktik yang mafhum apalagi di kalangan warga Tionghoa yang sudah mampu secara ekonomi. 

Praktik inilah yang membuat keluarga komunitas Tionghoa biasanya merupakan keluarga besar. Jumlah anak bisa belasan bahkan di atas 20 orang.

Tersebut antara lain nama pejabat di Batavia yang terkenal yakni Khouw Tjeng Tjoan yang diketahui memiliki 15 istri dan 24 orang anak. Yang juga membangun keluarga super besar adalah Oei Tiong Ham, sang Raja Gula Jawa tersebut. Dia memiliki empat istri dan 26 anak. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya