Dalam Diam, Tionghoa Ambil Peran

- VIVA.co,id/Adinda Permatasari
VIVA – Tahun ini, usia republik menjejak 74 tahun. Bilangan yang masih muda untuk sebuah negeri yang bersimbah darah demi mewujudkan kemerdekaannya.Â
Negeri yang sejak awal berdirinya sudah terbangun atas beragam etnis juga memiliki banyak kisah tentang proses menuju kemerdekaan. Perjuangan tak melulu dilakukan oleh pribumi, warga asli negeri ini. Tapi juga ada kontribusi dari mereka yang nenek moyangnya berada di belahan dunia yang berbeda, seperti etnis Tionghoa dan Arab.Â
Melalui jalur perdagangan, dua etnis ini datang dan akhirnya melebur dengan penduduk lokal. Berbeda dengan Belanda yang memposisikan diri lebih tinggi, orang Tionghoa dan Arab sama-sama merasakan penjajahan dan penindasan di bumi kaya rempah yang kakek dan nenek mereka telah lama datang dan berniaga.Â
Perjuangan yang dilakukan juga bukan perjalanan singkat. Etnis Tionghoa sudah terlibat bahkan berpuluh tahun sebelum kemerdekaan dideklarasikan. Kegelisahan kaum intelektual dari etnis Tionghoa menjadi cikal bakal kesadaran mereka untuk lepas dari diskriminasi dan penjajahan Belanda.Â
Tonggak awal munculnya nasionalisme Tionghoa adalah dengan didirikannya Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) atau perkumpulan Tionghoa di Jakarta oleh orang-orang Tionghoa berpendidikan Barat. Dikutip dari Tionghoa.info, kelompok ini menginginkan masyarakat Tionghoa yang sudah hidup turun-temurun di Hindia Belanda agar mengenal kebudayaan leluhurnya sendiri, sehingga mereka bisa bersatu sebagai satu kelompok masyarakat yang dihormati oleh pemerintah Hindia Belanda.
Kegiatan utama THHK yang utama adalah membangun dan membina sekolah-sekolah berbahasa Mandarin, yang berlandaskan pada ajaran Konghucu. Berdirinya sekolah-sekolah Tiong Hoa Hwee Koan ini merupakan reaksi masyarakat Tionghoa di Batavia terhadap pemerintah Belanda, yang tidak pernah memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka.
Di Indonesia, Tiong Hoa Kwee Koan menjadi perintis dan penyebar penggunaan istilah ‘Tionghoa‘ yang mengacu kepada masyarakat keturunan Tionghoa, lewat sekolah-sekolah yang didirikannya sekitar tahun 1900-an. Pada tahun 1920-an, ada kesepakatan antara pers Melayu dan pers Melayu – Tionghoa untuk saling mendukung dan menghormati perbedaan antaretnis, dengan menulis kata ‘Indonesia’ untuk menggantikan kata ‘Inlander’, dan ‘Tionghoa’ untuk menggantikan kata ‘Cina’ dalam setiap terbitan halaman korannya masing-masing.