SOROT 579

Berdaya dengan Dana Desa

VIVA –  "Sangat membantu sekali ya, khususnya untuk Kepala Desa."

Kalimat itu disampaikan Kepala Desa Warungbanten, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten, ?Jaro Ruhandi saat ditanya perihal dana desa. Pria ini menuturkan, desanya sangat tertolong dengan adanya dana desa dari pemerintah pusat. Sebelumnya, kata Jaro, kepala desa di seluruh Indonesia kesulitan membangun dan mengembangkan potensi yang ada di desanya karena terkendala dana.

Ia mencontohkan, sebelum UU Desa lahir, dia sempat menyebar proposal ke sejumlah instansi pemerintahan kabupaten. Itu ia lakukan guna menjalankan program desa, termasuk mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Namun, upaya itu tidak semulus yang diharapkan.

Kepala Desa Warungbanten, Lebak Jaro Ruhandi bersama pegiat literasiKepala Desa Warungbanten, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten, ?Jaro Ruhandi [baju hitam]

Impian Jaro berhasil menjadi kenyataan ketika pemerintah pusat menggelontorkan dana desa. Anggaran dana desa yang diperoleh desa di wilayah Kasepuhan Cibeber itu pun digunakan untuk menjalankan sejumlah program. Mulai infrastruktur fisik desa, jalan desa dan mendirikan TBM. Saat ini, TBM yang diberi nama Kuli Maca ini menjadi salah satu kebanggan warga desa. Karena, TBM itu dikenal banyak orang dari luar desanya, bahkan dari luar Kabupaten Lebak. Tak sedikit wisatawan lokal yang datang ke Warungbanten untuk datang melihat atau menyumbangkan buku-buku bacaan di desa yang terletak di perbatasan Kabupaten Lebak dan Pelabuhan Ratu, Sukabumi ini.

“Keberadaan Dana desa itu sangat bagus ya. Pastinya dana desa itu telah menyelamatkan kepala desa dan sangat membantu masyarakat desa,” ujarnya kepada VIVAnews, Kamis,14 November 2019.

Meningkatkan Perekonomian

Selain membangun infrastruktur desa dan membuat TBM, Jaro juga menggunakan dana desa untuk memperkuat perekonomian masyarakat. Tahun lalu, Desa Warungbanten mendirikan Badan Usaha Milik Desa atau BUMDes. BUMDes itu sebagai salah satu jenis usaha masyarakat yang menjual berbagai kebutuhan masyarakat desa. Selain itu, mereka juga mendirikan beberapa jenis usaha lainnya, seperti konveksi dan sablon. 

Usaha yang dimodali dari dana desa itu sudah dirasakan manfaatnya oleh warga. Menurut dia, usaha konveksi dan sablon itu kini sudah dapat menyerap tenaga kerja lokal, yaitu para pemuda di desanya. “Sekarang ini yang sudah kelihatan itu yaa. Lumayan banyak juga mereka yang tadinya kerja ke kota itu, mereka tidak lagi keluar dari desa,” ujarnya menerangkan.

Karyawan BUMDes Unit Pengolahan Jelantah Membawa Jerigen Berisi Jelantah dari Masyarakat.Ilustrasi: Salah satu unit bisnis Bumdes 

Jaro berharap, dana desa dari pemerintah pusat dapat memperkuat tingkat perekonomian warga, sehingga kemandirian masyarakat desa dapat terwujud. “Kalau sekarang kan sudah mulai kelihatan. Potensinya sudah jelas, pasarnya sudah jelas, makanya ke depan dana desa akan didorong lebih besar ke BUMDes dan membantu usaha mikro masyarakat. Karena itu membantu usaha ekonomi masyarakat.”

Hal yang sama disampaikan Pujiyono. Kepala Desa Sidoreja, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan itu mengatakan, keberadaan dana desa sangat positif untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat desa. Selain digunakan membenahi sarana dan prasarana di desa, dana desa juga dialokasikan untuk membangun BUMDesMart. Kini, pendapatan desa yang diperoleh dari BUMDesMart tersebut sudah mencapai Rp2,5 miliar pertahun.

“Alhamdulillah di pelaporan kita tahun 2018 itu bisa mencapai Rp2,5 M. Itu tahun pertama BUMDes kita buka itu. kita jual sembako, dan kebutuhan yang lain di BUMDes Mart itu,” kata Pujiyono kepada VIVAnews, Rabu,13 November 2019.

Ia yakin, jika dikelola dan dikembangkan dengan baik, dana desa dapat berdampak positif, yaitu terwujudnya kemandirian desa. “Untuk ke depannya kalau pun dana desa ini tidak dilanjutkan, yang jelas desa itu sudah tidak bingung lagi. Karena sudah ada penghasilan dari pengarahan dana desa itu,” ujarnya.

Pemanfaatan Dana Desa

Intip Cerita Desa Ibru Muaro Jambi, Pemenang Desa BRILian Paling Inovatif dan Digitalisasi Terbaik

Direktur Eksekutif Gedhe Foundation Yossi Suparyo mengatakan, keberadaan dana desa menjadi angin segar bagi tata kelola desa. Sebab, keberadaan Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 telah memposisikan desa tak sekadar mendapat wewenang untuk membangun wilayahnya, tapi juga dukungan anggaran yang lebih jelas.

“Spirit dasar UU Desa itu pemerintah memberi pengakuan dan penghargaan atas entitas kesatuan masyarakat hukum bernama desa atau nama lain sebagai pendiri republik,” ujarnya kepada VIVAnews Jumat, 15 November 2019.

Homestay di 21 Desa Wisata Sudah Disuntik SMF Rp 13,5 Miliar

Dalam UU Desa, pemanfaatan atau penggunaan belanja dana desa ditentukan melalui mekanisme musyawarah desa antara kepala desa dengan masyarakat desa, yang difasilitasi oleh pendamping desa. Sehingga pengambilan keputusan dalam menggunakan dana desa diharapkan dapat terpetakan sesuai dengan kebutuhan.

Meski demikian, pemerintah melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) juga memberikan pengarahan melalui Peraturan Menteri (Permen) tentang skala prioritas pemanfaatan dana desa yang dikeluarkan setiap tahun sebagai panduan bagi desa dalam mengalokasikan anggarannya.

Mau Rasakan Hidup di Desa Menggembala Kambing Hingga Ambil Air Nira? Di Sini Tempatnya

“Jadi Permendes itu sifatnya acuan desa dalam belanja anggaran dana desa. Kenapa acuan? Karena pada prinsipnya keputusan yang paling tepat adalah musyawarah desa. Musyawarah desa menjadi ruang dialog, negosiasi, dan pengambilan keputusan kolektif di desa,” ujarnya menambahkan.

Direktur Eksekutif Gedhe Foundation, Yossi SuparyoDirektur Eksekutif Gedhe Foundation Yossi Suparyo ?

Menurut pria yang concern dengan isu pemberdayaan desa ini, jumlah desa di seluruh Indonesia mencapai 74.945 desa. Faktanya, kesenjangan pengetahuan, pemahaman, orientasi di desa masih sangat tinggi. Ada desa yang dipimpin oleh kades yang memang mempunyai visi kuat, dukungan masyarakat yang kuat, dan jaringan kerja yang luas. Ada pula desa yang dipimpin oleh aktor-aktor yang sebaliknya, sehingga Permendesa menjadi jalan tengah bagi keduanya, menguatkan inisiatif yang baik dan mencegah praktik buruk penggunaan dana desa.

Selain itu, pada tataran teknis, Kemendes juga membantu desa untuk melakukan self assesment melalui survei Indeks Desa Membangun (IDM). Dari sana kemudian desa dapat mengetahui posisinya apakah desa tersebut berada dalam kategori desa maju, desa mandiri, desa berkembang, atau desa terbelakang dengan tool yang dirancang oleh para ahli.

“Setelah mengetahui posisinya, baru kemudian desa bisa mengacu skala prioritas pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang direkomendasikan dalam Permendesa,” katanya.

Dengan adanya supervisi, pengawasan dan pendampingan dari pemerintah pusat kepada pemerintahan desa, Yossi mengklaim, pemanfaatan dana desa telah berhasil membangun infrastruktur desa dan meningkatkan perekonomian desa.

“Survei BPS juga menunjukkan terjadi penurunan angka kemiskinan di wilayah perdesaan. Tentu, kita tak bisa klaim semata-mata akibat dana desa, tapi dana desa berkontribusi pada penurunan kemiskinan itu yes lah,” ujarnya. 

Belum Optimal

Yossi menyadari, saat ini pemanfaatan dana desa masih belum optimal menyentuh secara langsung ke arah peningkatan ekonomi masyarakat. Pasalnya, anggaran dana desa masih dominan diarahkan kepada pembangunan infrastruktur di desa. Meski begitu, kata Yossi, bukan berarti pengoptimalan pembangunan infrastruktur itu tidak bisa dilakukan, karena tanpa disadari, pembangunan infrastrukur itu dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat desa.

“Karena dengan begitu, akses pendidikan, kesehatan, layanan pemerintahan makin baik. Mungkin secara ekonomi mereka belum meningkat, tapi bila beban masyarakat dikurangi maka kualitas hidup masyarakat menjadi makin baik,” katanya.

Membuat saluran air, salah satu inisiatif warga untuk pengelolaan Dana Desa.Salah satu pemanfaatan dana desa, membuat saluran air

Ia menyadari, efek substansial dan diskruptif akibat dana desa pada tingkat ekonomi dan kesejahteraan prosentasenya masih kecil. Pada 2017 hanya ada 157 desa atau 0,001 persen yang memiliki Pendapatan Asli Desa (PAD) di atas Rp1 milyar. “Jadi, sebagian besar desa masih menempatkan DD dan ADD sebagai sumber pembiayaan tata kelola desa,” ujarnya menambahkan.

Namun, Yossi meyakini, apabila sistem ini berjalan dengan baik,  trend pertumbuhan ekonomi terus naik. Dan desa dapat menjadi benteng terdepan ekonomi nasional pada 2030.

Ditemui terpisah, Inisiator UU Desa, Budiman Sudjatmiko mengatakan, pemanfaatan dana desa untuk membangun masyarakat desa sudah on the track dengan semangat UU Desa itu lahir. Terkait dengan pemanfaatan yang hari ini cenderung mengarah pada infrastruktur fisik, Budiman menilai itu menjadi hal yang wajar. Karena pembangunan infrastruktur harus diakui masih jadi persoalan dalam konteks pemerataan pembangunan sejak jaman orde baru lalu.

“Karena kan ini bicara 74000 desa ya. Desa di Pulau Jawa dengan desa yang ada di luar pulau Jawa seperti di Papua, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera itu kan berbeda kondisinya. Dulu kan sentralistik sekali pembangunan di jaman orba kan, saat ini kita sudah desentralisasi. Jadi wajar penggunaan dana desa dominan diarahkan ke infrastruktur fisik,” kata Budiman.

Budiman Sudjatmiko Inisiator UU Desa Inisiator UU Desa, Budiman Sudjatmiko

Menurut Budiman, selain pembangunan infrastruktur, pemanfaatan dana desa untuk membangun jenis usaha desa yang diperuntukan meningkatkan dana desa juga sudah dilakukan di banyak desa. Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Asosiasi Kepala Desa Seluruh Indonesia itu mengatakan, setidaknya saat ini sudah ada sekitar 30000 BUMDes yang berdiri dari total 74000 desa yang ada di seluruh Indonesia.

“Artinya kan ini proses berjalan. Artinya hampir 50 persen sudah berjalan BUMDes kan. Artinya apakah wajib bikin BUMDes itu?  Tidak wajib juga, tapi boleh. Tapi Baiknya buat dong, karena BUMDes itu mesin uang untuk berbisnis, sahamnya dimiliki oleh orang desa, manajemennya harus profesional kan,” ujar politikus PDI Perjuangan ini.

Ia menyatakan, berhasil atau tidaknya pemanfaatan dana desa tidak dapat disimpulkan hari ini. Menurutnya, membangun desa dengan target menciptakan desa mandiri ini adalah program kerja jangka panjang. Dan mewujudkannya pun membutuhkan kerja-kerja yang tidak mudah.

Menurutnya, tugas berat pemerintah dan seluruh stakeholder dalam membangun desa ke depan adalah meningkatkan pengetahuan dan wawasan berfikir masyarakat desa. Sebab, selama ini masyarakat desa sudah lama mengalami keterbelakangan. Hal itu dapat dibuktikan masih tingginya jumlah masyarakat desa yang lebih memilih pergi meninggalkan desa dengan alasan desa tidak mampu memberikan harapan kepada masyarakat desa.

“Makanya ini jangka panjang. Kalau tujuannya dibilang apakah ini untuk memberantas kemiskinan? Tidak juga, bukan sebatas memberantas kemiskinan, tapi melahirkan kelas menengah dan enterpreneur baru di desa, melahirkan orang pintar baru di desa. Jadi target UU Desa ini bagaimana kita bisa menciptakan masyarakat desa yang go global, go digital, and go financial, but stay cultural.” 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya