Tekad Menyelamatkan si Mbah

- Facebook Yuniawan Nugroho
VIVAnews - Mengamuknya Merapi, gunung berapi berusia jutaan tahun silam itu, menjadi headlines di hampir media sejak pekan lalu. Yuniawan Wahyu Nugroho, seorang wartawan senior portal berita ini, VIVAnews.com, memantaunya dari newsroom kami di lantai 31, Menara Standard Chartered, Casablanca, Jakarta Pusat.
Bekerja sebagai wartawan lebih dari sepuluh tahun, Wawan--demikian Yuniawan biasa disapa, rajin mengontak sejumlah sumbernya di Yogyakarta. Dia juga teringat Mbah Maridjan, sang juru kunci Merapi yang sikapnya ditunggu masyarakat sekitar, setiap kali Kiai Merapi--nama mistik dari gunung itu--‘marah’.
Pada 2006, saat Merapi memuntahkan lahar, Maridjan memilih tetap tinggal di rumahnya, di Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, empat kilometer dari puncak Merapi yang membara.
Sultan Hamengkubuwono X pernah memerintahkannya turun, tapi Maridjan tak peduli. “Saya diberi amanah Sultan Hamengkubuwono IX menjaga Merapi,” begitu alasannya. Ulahnya terang membuat Raja Jawa itu sewot.
Sikap keras memegang amanah, dan nyaris naif itu, justru membuat nama Mbah Maridjan melambung. Selaku juru kunci, dia dipercaya bisa berbicara dengan Merapi, yang oleh masyarakat Jawa sekitar dianggap punya roh. Maridjan diyakini hafal perilaku gunung itu. Warga Kinahrejo pun menjadikannya panutan.
Apalagi, pada 2006, saat debu panas bak gumpalan bulu domba menyapu lereng Kinahrejo. Warga menyebut awan maut itu sebagai wedhus gembel. Semua tumbuhan dan hewan yang dilewatinya tumpas. Tapi Maridjan tetap bertahan di rumahnya. Dia tak mau mengungsi.
Inilah ajaibnya. Awan bersuhu 600-800 derajat Celsius, dan mampu lari 100-300 km per jam itu, seperti tak bisa melewati Kinahrejo. Wedhus gembel itu berhenti, tak jauh di belakang rumah Mbah Maridjan. Masyarakat tercengang. Mbah Maridjan sontak dianggap punya daya linuwih: kekuatan melebihi manusia biasa.
Namanya melejit. Di Jakarta, satu produk minuman berenergi menjadikan dia ikon iklan.