- VIVAnews/Fernando Randy
VIVAnews – Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Pameo ini cocok menggambarkan kehidupan Muhammad Akbar Nasution. Memiliki ayah pelatih renang, Akbar, juga tumbuh sebagai perenang tanah air.
Tidak jauh berbeda dengan saudaranya yang lain, Elfira Rosa Nasution, Maya Masita Nasution, Elsa Manora Nasution, dan Kevin Rose Nasution, Akbar juga sempat menjadi tulang punggung Merah Putih di lintasan renang. Di usianya yang baru mencapai 17 tahun, Akbar bahkan pernah mewakili Indonesia di Olimpiade 2000 Sydney.
Tidak mudah bagi Akbar untuk tampil di pentas dunia. Sebaliknya, kerja keras mewarnai perjalanannya sebagai atlet renang. Tentu saja, di bawah bimbingan sang ayah, Radja Murnisal Nasution.
Akbar dulu merupakan perenang spesialis gaya dada, meskipun dia juga cukup berprestasi pada nomor gaya ganti perorangan dan jarak jauh. Sepanjang kariernya di dunia olahraga renang, Akbar telah mempersembahkan enam medali dari ajang SEA Games, tiga di antaranya medali perak dan tiga lainnya adalah medali perunggu.
Akbar sempat melanjutkan pendidikan ke Amerika Serikat. Kini Akbar melanjutkan jejak sang ayah sebagai pelatih renang.
Radja telah mengenalkan Akbar olahraga renang sejak usia lima tahun. Akbar terus dalam pengawasan sampai pada akhirnya berhasil masuk tim nasional renang pada 1999. "Papa dulu terkenal pelatih yang tegas dan saya sendiri sama sekali tak masalah," kata Akbar.
"Saat latihan, dia tidak memperlakukan saya berbeda atau spesial, tetap sama saja seperti murid-muridnya yang lain,” beber Akbar.
Menurut Akbar, Raja lebih banyak mengutamakan teknik. Tak jarang ini, membuat jenuh para perenang binaannya. "Tapi sebenarnya jadi pondasi yang bagus untuk atlet-atlet renang,” sambung Akbar.
Pria berusia 31 tahun ini juga kagum dengan kejelian sang ayah dalam melihat situasi dan kondisi murid-muridnya saat latihan. Menurut Akbar, hal itulah yang membuat ayahnya dianggap sebagai salah satu pelatih renang terbaik yang dimiliki Indonesia.
"Papa prinsip kuat dan murid-muridnya menjadikan dia panutan. Dia juga punya kreativitas untuk membuat sesi latihan jadi sangat efektif, papa punya formula yang tepat untuk kita,” ungkapnya.
Di tengah penyakit diabetes yang menggerogoti Radja Nasution, Akbar tak pernah melarang ayahnya terus melatih di Pari Sakti, klub renang milik keluarga Nasution. Walaupun Akbar sesungguhnya ingin melihat ayah menikmati buah kesuksesan anak-anaknya, namun dia tak tega memintanya berhenti melatih.
"Renang adalah hidupnya, saya yakin dengan tetap melatih anak-anak di kolam hampir setiap hari malah membuat tubuh dan pikirannya selalu sehat. Itu juga kemauan dia. Kita, anak-anaknya tidak tega merampas apa yang telah papa lakukan selama berpuluh-puluh tahun.”
Pengabdian bagi pembinaan atlet-atlet muda juga pernah dirasakan oleh pelatih Persebaya Surabaya, Rahmad Darmawan. Pria yang pernah menangani timnas U-23 dan senior itu tidak akan bisa melupakan peran Sugih Hendarto, sosok pelatih yang menanganinya di Persija.
Om Hen, begitu Rahmad memanggil pria berusia 80 tahun itu. Menurut RD, usai yang sudah sepuh tak membuat Hendarto pensiun sebagai pelatih. Sebaliknya, pengabdiannya yang tulus terhadap sepakbola membuatnya tetap aktif mencari dan mengasah bakat-bakat anak negeri lewat Akademi Sepakbola Intinusa Olah Prima (ASIOP).
"Saya mulai mengenal tangan dingin Om Hen (panggilan akrab RD terhadap Hendarto) pada tahun 1986. Ketika pertama kali masuk Persija,” terang RD. Kesan pertama yang dirasakannya, kesabaran Hendarto dalam mengasah kemampuan pemain-pemain yunior seperti RD.
"Tak mudah masuk skuad Persija. Banyak nama besar kala itu. Tapi saya justru dipercaya sering memimpin sesi latihan,” tambahnya.
Di situlah naluri Hendarto terlihat. Dia melihat potensi anak didiknya seperti RD yang punya bakat memimpin. "Om Hin memberi saya kepercayaan yang mempengaruhi saya dalam dunia sepakbola. Kepercayaan besar itu juga yang mempengaruhi saya ketika jadi pelatih seperti saat ini,” mantan pelatih Persipura Jayapura itu.
Tapi bukan hanya kesabaran yang jadi ciri khas Hendarto di mata eks pemain timnas Indonesia di era awal 1990-an tersebut. Hendarto diakui RD sebagai peletak filosofi dasar sepakbola yang mengkombinasikan pengembangan kualitas dan skill pemain dengan organisasi permainan, sebuah filosofi yang kini juga diterapkan di beberapa klub besar dunia seperti Barcelona maupun Bayern Munchen.
“Filosofi itu juga yang mempengaruhi pola melatih saya hingga kini,” terangnya. Selain teknik, pendekatan lain dalam membina anak asuhnya juga jadi nilai lebih Hendarto. Urusan ini bahkan sempat dirasakan efeknya oleh RD ketika masih aktif bermain.
"Saya merasa main sangat bagus dan mencetak gol kala itu. Tapi bukan pujian yang didapat tapi dimarahi,” ungkapnya.
Tentu saja reaksi tak terduga itu membuat bingung RD. Barulah, usai pertandingan setelah memberanikan diri menanyakan langsung, didapat penjelasan yang membuat RD merasa begitu beruntung dilatih Hendarto. “Ternyata gesture body language saya usai cetak gol yang dinilai Om Hin tidak tepat sebagai sosok kapten tim. Saya menunjukkan ekspresi kemarahan tapi itu yang disalahkan.”
Sikap tenang, sabar dan tak segan memarahi pemain pilar jika mencederai sportifitas itu, kini juga jadi rujukan RD. Dia mengaplikasikannya dalam setiap tim di mana dia berlabuh. Termasuk di Persebaya musim ini yang bertabur pemain bintang. Tak heran, Greg Nwokolo dkk sangat mematuhi RD yang mendapat ilmu lebih
Aktor Keren
Menjadi juara tidak hanya dari gelanggang olahraga. Dalam dunia hiburan dan seni peran bermunculan pula para juara yang dibina sejak belia oleh pengasah bakat.
Aditya Gumay merupakan salah satu pelatih seni berlatalenta yang dimiliki negeri ini, perannya dibindang seni tidak diragukan lagi, berkat keahliannya menjadi pelatih
sosok pria berbadan tinggin 170cm ini menjadi guru sekaligus panutan bagi setiap anak didiknya, yang belakangan ini banyak muncul menghiasi industri hiburan di Indonesia.
Salah satu anak didik Gumay adalah Dude Herlino. Sebelum menjadi aktor terkenal, Dude mengakui banyak pelajaran yang ia dapat di sanggar Ananda, yang didirikan oleh Gumay.
Aktor kelahiran tahun 1980 ini ikut kelas Sanggar Ananda sejak tahun 2002. Dia mengakui kehebatan sanggar Ananda sebagai tempat awal dimana ia berlatih akting. Di bawah naungan Gumay, kini wajah Dude kerap menghiasi layar kaca pertelevisian nasional.
”Saya masuk ke sanggar Ananda waktu baru masuk kuliah. Belajar akting disana, kemudian saya coba ikut-ikut casting. Terbukti sekarang banyak jebolan dari sanggar Ananda jadi artis terkenal” Ujar Dude saat ditemui dilokasi syuting di Pondok Indah.
Pria yang memiliki tinggi badan 178 cm ini juga membintangi beberapa film seperti Gue Kapok Jatuh Cinta dan Di Sini Ada Setan (The Movie). Pria ini turut meramaikan jagat sinetron di layar kaca Indonesia, seperti Di Sini Ada Setan, Ada Apa Denganmu, Cincin, Intan, Aisyah, Cahaya dan pada tahun 2009 semakin melejit namanya dengan sinetron "Nikita" bersama Nikita Willy dan Jonas Rivanno dan Manohara.
Hal serupa juga diungkapkan Oky Lukman. Pertama kali muncul di televisi tahun 1993 pada tayangan “Lenong Bocah," Oky sebelumnya berlatih peran di Sanggar Ananda karena bercita-cita ingin menjadi pemain teater. “Saya pertama kali muncul dilayar TV Tahun 1993 di acara lenong bocah diajakin sama mas gumay, aktingnya jadi pemain komedi,” ujar artis berdarah Minang ini.