- VIVAnews/Dyah Ayu Pitaloka
VIVAnews – Kawasan Dinoyo di Kota Malang tak pernah sepi. Ratusan kendaraan lalu lalang. Kemacetan saat pagi dan sore bukan lagi pemandangan istimewa.
Maklum, di sepanjang Jalan Dinoyo Raya, berderet sekolah hingga perguruan tinggi. Denyut perekonomian juga menumpuk di lokasi itu.
Seperti terlihat pagi itu. Jarum jam telah menunjuk pukul 07:30 WIB. Matahari bersinar cerah. Aktivitas warga mulai menggeliat.
Mita salah satunya. Ibu rumah tangga berperawakan kecil ini mengawali tugas rutin setiap pagi. Mengantar Zen, putra keduanya, ke sebuah Play Group. Tak jauh, hanya berjarak satu kelurahan.
Warga Kelurahan Merjosari, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang itu cukup menghabiskan waktu 10 menit untuk sampai di sekolah Zen. Sejurus kemudian, pukul 08:00 WIB, wanita kelahiran Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah itu sudah berkutat dengan bisnis bakery di kafenya.
Mita datang ke Malang sejak kuliah di Universitas Muhammadiyah Malang, pada 2005. Di kota pelajar ini, dia mantap berkeluarga dan membangun bisnis bersama suaminya, Dliaulhaq (32).
“Di sini, bisnis apa pun tumbuh, kompetisinya ketat, pasarnya juga besar. Ada ribuan mahasiswa yang tidak pernah berkurang jumlahnya,” kata Dliaulhaq.
Pria kelahiran Cirebon ini sudah fasih berbahasa Malangan. Sejak kuliah pada 1998 di Universitas Brawijaya, dia mulai merintis usaha sampingan menjual baju.
Kini, usahanya menggurita dan punya merek sendiri yang menjelajah Kalimantan, Sumatera, Sulawesi hingga Papua. ”Tapi, saya tak berniat pindah ke luar Malang, meski transportasi membuat macet dan kompetisi semakin ketat,“ ujarnya.
Alasan Aul, sapaan Dliaulhaq, setidaknya ada 30 ribu mahasiswa baru yang masuk ke Malang tahun ini. Mereka berlomba masuk ke salah satu di antara 62 perguruan tinggi negeri dan swasta di Malang.
Seperti Mita dan Aul, tidak sedikit mahasiswa yang kemudian mencari penghidupan dan sukses di Kota Malang. Ibarat ada gula ada semut, legitnya perputaran uang di Malang menarik banyak peminat untuk ikut “berputar” di dalamnya.
“Produksi khas kaus saya adalah kaus couple atau sepasang. Pasarnya, ya mahasiswa. Kalau ramai, satu bulan bisa produksi sampai 2.000 pieces,” kata Aul.
Begitu pula kafe dan bakery yang dikelola istrinya. Harga roti mini sengaja dibanderol Rp1.000 per biji untuk memenuhi kantong mahasiswa, “Kan suka yang murah, tapi tongkrongannya bergengsi,” katanya.
Kota Peristirahatan
Jumlah pendatang dari kelompok pelajar, menambah angka penduduk tidak tetap di Kota Malang yang diperkirakan mencapai 200 ribu orang setiap tahun. Jumlah penduduk sementara akan membengkak pada setiap akhir pekan ataupun di saat libur panjang.
Sementara itu, penduduk tetap Kota Malang saat ini mencapai 877 ribu jiwa. Di benak Thomas H Karsten, Malang sengaja didesain sebagai kota peristirahatan.
Arsitek tenar asal Belanda di era kolonial itu menata Kota Malang dengan apik, sebagai kota hunian lengkap dengan fasilitas pendukung di awal 1900-an. Satu abad lebih telah berlalu, Malang tetap diserbu pendatang untuk sekadar berlibur atau menetap.
“Malang dikelilingi gunung, dan tiga sungai. Kondisi geografis ini membuat Malang sangat layak menjadi tempat hunian secara ekologis,” kata Budi Fathony, Kepala Laboratorium Sejarah, Kritik dan Arsitektur Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, Selasa 19 Agustus 2014.
Maka, bisnis properti pun berkembang pesat di Malang. Tak terhitung jumlah perumahan yang tersebar di penjuru Kota Malang, yang diiringi sekitar 80 hotel dan kondotel dengan 3.000 kamar yang telah berdiri hingga saat ini.
Tak mau kalah, Pemkot Malang juga selesai membangun dua rumah susun untuk menampung 196 warga yang tidak memiliki rumah layak huni pada awal 2014. Transportasi yang mudah serta beragamnya pilihan fasilitas umum yang lengkap serta berkualitas menambah pesona Malang sebagai tempat hunian.
“Tidak hanya hotel, usaha sewa indekos juga berkembang. Di wilayah Soekarno Hatta saja harga tanah per meternya bisa sampai Rp15 juta sekarang, harga sewa indekos satu bulan bisa sampai Rp1,5 juta dan itu juga ada pasarnya,” sebutnya.
Menurut dia, magnet Malang tak kalah kuat jika dibandingkan dengan Singapura, negeri seluas 137 kilometer persegi. Di Jawa Timur, Malang adalah homebase untuk kota dan kabupaten lain seperti Blitar, Kediri, Tulungagung, Batu, dan juga Kabupaten Malang. Fasilitas pendidikan dan rumah sakit yang lengkap jadi salah satu daya tarik yang dimiliki Malang.
Namun, soal transportasi menurut pakar tata kota ini, Malang masih tertinggal jauh dibandingkan Singapura. Bukan karena Singapura hanya lebih luas sekitar 20 km persegi dibanding Malang, tetapi karena penataan kota dan gaya hidup masyarakat yang berbeda.
Di Malang, Pemkot masih harus adu cepat dengan derasnya pertambahan penduduk yang masuk untuk mencari formula yang tepat mengusir ancaman macet yang semakin sering muncul.
“Jalan yang sempit sekarang harus bersaing dengan lahan parkir milik ruko yang memakan bahu jalan. Pedagang kaki lima juga semakin meluber, belum lagi jumlah kendaraan yang terus bertambah,” katanya.
Masalah yang menurut dia sangat mudah diatasi, jika melibatkan seluruh unsur warga Malang. Ada banyak komunitas dan forum yang rutin melakukan diskusi untuk wajah Malang yang lebih baik tanpa melupakan sejarah.
“Orang Malang ini sangat dinamis dan peduli dengan perkembangan wilayahnya. Dari industri persnya, akademisi hingga pengusaha, semuanya punya pemikiran dan ide kreatif untuk Malang yang lebih baik,” kata dia.
“Mereka suka pembangunan, tapi tak suka merusak sejarah, tinggal pintar-pintarnya pemerintah merangkul mereka,” katanya.
Salah satu topeng yang dijual di salah satu PKL di sudut kota Malang. (Foto: VIVAnews/Dyah Ayu Pitaloka)
Keunggulan yang Ditawarkan
Untuk makin menarik minat masyarakat dan calon investor, pembangunan jalan tol Pandaan-Malang juga sedang dikejar. Proyek nasional yang melibatkan pemerintah di Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Pasuruan ini muncul untuk memudahkan akses transportasi darat dari Surabaya ke Malang.
“Jarak tempuh Surabaya-Malang lewat tol Pandaan akan lebih pendek. Pintu masuk tol ada di Pandaan, pintu keluarnya di Kedungkandang, Kota Malang,” kata Kasubag Humas Pemkot Malang, Ali Moelyanto, Rabu 20 Agustus 2014.
Seluruh upaya itu dilakukan untuk meningkatkan kenyamanan warga Kota Malang. Tentu saja diikuti dengan pelayanan birokrasi yang lebih cepat, mudah, sederhana, dan murah bahkan gratis.
Upaya lain, Pemkot sedang getol membersihkan reklame liar yang mengotori pandangan tanda terjadi kebocoran pendapatan di sektor pajak reklame.
“Kota Malang dipercaya jadi kota layak huni, maka ini jadi pekerjaan rumah bagi kami agar lebih memperbaiki pelayanan dan fasilitas. Dari jalan yang tidak macet, kota yang bersih, sehat dan sejuk serta ketersediaan pendidikan dan kesehatan untuk semua masyarakat,” katanya.
Upaya peningkatan pelayanan di Malang juga datang dari parlemen. Wakil rakyat mengusulkan anggaran untuk pendataan Pedagang Kaki Lima (PKL) tahun ini. “Tujuannya agar berbagai rencana pembangunan tidak melupakan mereka,“ tuturnya.
Tahun ini didata. Jangka panjangnya pada 2015 ada night marker, pasar malam, untuk menampung PKL yang sekarang tercecer di tepi jalan. Kota lebih tertata, tidak macet dan pedagang juga tetap untung.
“Mereka, PKL lama, bukan pendatang baru,” kata Arief Wahyudi, Ketua Komisi A DPRD Kota Malang, Rabu 20 Agustus 2014. (Dyah Ayu Pitaloka/Malang)