SOROT 318

Mengungsi di Negeri Sendiri

Pengungsi Syiah Sampang Direlokasi
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Dwi Agus Setiawan

VIVAnews - "Kami kaget Pak Presiden." Begitu bunyi kalimat pertama surat itu. Surat terbuka pengungsi Sampang yang kini tinggal di Rumah Susun Sewa Puspa Agro Sidoarjo. Surat itu ditujukan untuk Bupati Sampang Fannan Hasib, Gubernur Jawa Timur Soekarwo, dan Presiden Joko Widodo.

Mereka kaget. Pada 5 November lalu, warga yang sudah setahun lebih tinggal di rumah susun tiba-tiba mendengar berita menyakitkan. Wakil Bupati Sampang, Fadilah Budiono, berencana untuk menghapus status kependudukan pengungsi, dan mengalihkan ke Sidoarjo. Semua ini sudah diurus di Pemprov Jatim. Tinggal ketok palu.

Ya. Mereka ini penganut Syiah. 185 orang sudah lama meninggalkan kampung halamannya, sejak rumahnya di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben dan Desa Bluran, Kecamatan Karang Penang itu dibakar massa pada 26 Agustus 2012.

Luna Maya Hadirkan Karya Ayah dan Kakak dalam Pameran Bertajuk Double Flame

Mereka tak lagi pernah melihat kampung itu. Mereka diungsikan ke GOR Sampang. Kemudian, pada 20 Juni 2013 dipindah ke Sidoarjo.

"Ini ancaman baru bagi kami." Baginya, tidak ada satu undang-undang pun yang melegalkan pencabutan status kependudukan, cuma karena tidak pernah pulang. "Apa Anda tidak tahu kami meninggalkan kampung halaman bukan atas kemauan sendiri?"

Begitu, suratnya memelas. "Kami selalu berusaha pulang, tapi selalu dihalang-halangi oleh aparat. Kami yakin Anda tahu itu semua".

Kisah Warga di Desa Banuan NTT, Tempuh 5 Jam Jalan Kaki Demi Dapat Air Bersih

Sejak surat terbuka itu dipublikasikan pada 5 November, semua pengungsi tidak tenang. Mereka takut tak bisa kembali.

Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Universalia, Hertasning Ichlas, mengatakan, ketakutan itu cukup beralasan. Setahun lebih mereka tinggal di GOR, dan setahun lebih pula mereka tinggal di rumah susun.

"Penghasilan tak punya. Hak atas tanah dan bangunan dirampas," kata Tasning.

Puluhan hektare lahan milik pengungsi terabaikan. Bekas rumah yang dibakar kini sudah ditumbuhi ilalang. Tiga rumah yang tersisa sudah ambruk dimakan lapuk. Kekayaan hilang, anak kecil tak bisa sekolah, dan orang tua tak punya pekerjaan.

Kebutuhan hidup jauh dari cukup. Hampir dua tahun mereka makan dengan nasi jatah. Sehari tiga kali. Tentu saja dengan lauk seadanya. Baru pada April, uang makan itu dibayar tunai.

Setiap kepala dihargai Rp709 ribu per bulan. Tentu saja, keluarga yang anak-anaknya sekolah di daerah lain, tak bisa mengirimi jajan. Begitu juga yang punya anak kecil, juga sangat berat. "Mereka tak bisa beli susu," katanya.

Karenanya, sebagian memilih jadi kuli panggul di Pasar Puspa Agro, tak jauh dari rusun. "Lumayan, buat tambahan," kata Baidi. Tapi, impiannya satu, pulang kampung dan bertani.

Hanya Korban
Suatu saat, pada 23 September 2013, serombongan orang datang ke rumah susun lima lantai itu. Badannya tegap-tegap. Garang. Sebagian cacat.

Sinergi Menekraf dan PARFI 1956, Harapan Baru bagi Industri Film Indonesia

Para pengungsi kaget bukan kepalang. Karena orang-orang inilah yang membunuh saudaranya, Hamamah dan Thohir, serta yang membakar puluhan rumah pada Ahad kelabu dua tahun lalu itu. Baca:

"Kami memandangi mereka dengan perasaan takut," kata Nurcholis, salah satu pengungsi. "Kami takut caruk itu kembali terjadi lagi."

Tapi, semuanya berubah. Ternyata mereka cuma ingin meminta maaf. Maaf telah membunuh, maaf telah membakar rumah, dan maaf telah mengusir dari kampung halamannya. Tangis pun pecah. "Kami saling berpelukan," katanya.

Menurut Cholis, saat kunjungan ini, beberapa penyerang itu mengaku hanya sebagai korban. Katanya, saat semua terluka, cacat, masuk rumah sakit, dan masuk penjara, para provokator tak ada yang menengok. Tak ada yang memberi santunan.

Makanya, mereka kapok. Mereka meminta para pengungsi pulang, dan menjamin tak akan lagi ada penyerangan.

Tasning pun membenarkan. Aktivis lembaga bantuan hukum yang mendampingi para pengungsi ini melihat kasus ini tak cuma intoleransi semata. "Tapi, banyak kepentingan," kata alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini.

Dia yakin, bila tidak ada yang berkepentingan, kasus ini akan segera diselesaikan. "Tidak ada upaya yang serius dari mereka," katanya. "Kalau serius, pemerintah bisa menggunakan momen islah warga kampung yang berkunjung ke rumah susun."

Bahkan, kata dia, bila ada pengungsi yang pulang ke kampung halamannya, langsung ada aparat yang meminta kembali lagi ke rusun. Padahal, sudah tidak ada penolakan dari warga. "Ini artinya apa?"

Aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Andy Irfan, menuturkan, rencana pengalihan status kependudukan pengungsi Syiah dari warga Sampang menjadi warga Sidoarjo tidak menyelesaikan akar konflik. Pemerintah seharusnya mengembalikan pengungsi ke kampung halamannya dan menjaga keamanan mereka.

Wakil Gubernur Jawa Timur, Saifullah Yusuf, mengatakan, langkah polisi meminta kembali pengungsi ke rusun justru untuk memberi jaminan keamanan. Ini karena masih ada penolakan. "Itu artinya belum aman," katanya.

Menurut dia, tidak ada larangan, bagi siapa pun pulang ke kampung halaman, termasuk para pengungsi. Catatannya, bila semua sudah aman.

Soal tudingan uang makan yang tak layak, dia meminta masyarakat melihat sendiri di Rusunawa Puspa Agro. "Kami sediakan fasilitas dan kebutuhan hidup, pemerintah bertanggung jawab," katanya.

Nyaris Sama
Tidak cuma Syiah. Jemaat Ahmadiyah pun hampir sama. Nasibnya terkatung-katung. Bahkan, mereka sudah bertahun-tahun hidup di Transito, Lombok. Hingga kini, mereka belum ada harapan kembali ke kampungnya. Baca:

Intoleransi beragama yang berujung pada pemaksaan, intimidasi, dan pengusiran, sebenarnya jauh lebih turun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Setara Institute menyatakan, sepanjang Januari-Juni 2014 setidaknya 60 kasus intoleransi, jauh lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Pada periode Januari-Juni 2012 terdapat 129 kasus, dan turun lagi pada 2013 menjadi 122 kasus. Jauh sebelum itu, pada 2007-2012 angkanya meningkat, tapi 2013 dan 2014 mulai menurun.

"Angkanya fluktuatif, tapi cenderung turun," kata Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos. Selengkapnya lihat Infografik.

Sayangnya, kata Bonar, penurunan ini tidak dibarengi dengan tindakan nyata pemerintah. Dua kasus besar yang menyita perhatian publik nyaris tidak ada penyelesaian berarti, yaitu pembakaran dan pengusiran jemaah Syiah di Sampang dan Jemaat Ahmadiyah di Lombok.

"Pengungsi masih menumpuk di Sidoarjo dan Lombok," katanya.

Selain dua kasus besar, kasus-kasus lain juga nyaris sama. Penyegelan masjid-masjid Jemaat Ahmadiyah masih terjadi, nasib pembangunan Gereja Yasmin di Bogor juga belum jelas. "Mungkin karena 2014 tahun politik, jadi konsentrasi ke arah keagamaan menurun," kata Tigor.

Kasus intoleransi dan kekerasan agama di Indonesia selalu terkait dengan pendirian rumah ibadah kaum minoritas, tudingan aliran sesat, penganut kepercayaan, dan yang menyangkut individu seperti pernikahan serta pendidikan anak.

Kasus Syiah dan Ahmadiyah, misalnya, para pelaku intoleran menyerang dengan dalih aliran sesat, sehingga mereka terusir dari kampungnya. Sementara itu, yang menyangkut aliran kepercayaan biasanya mereka pojokkan dengan isu ketidaksetaraan antara kepercayaan dan agama.

Bonar mengatakan, kasus-kasus seperti ini akan terus tumbuh jika masih ada egoisme keagamaan, yang cenderung menganggap agamanya yang paling benar.

"Anggapan agama kita yang paling benar itu sebetulnya tidak bisa disalahkan, tetapi nilai ukuran itu tidak bisa diterapkan pada masyarakat Indonesia yang plural," kata Bonar.

Selain itu, pemahaman agama yang radikal bisa menyebabkan keretakan kerukunan umat beragama.

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ma'ruf Amin, menyarankan pemerintah agar memaksimalkan forum kerukunan umat beragama agar tak ada konflik berkepanjangan. "Radikalisme itu paham yang perlu diluruskan, sehingga tidak sampai melakukan kekerasan," katanya.

Pemerintah juga perlu memetakan kelompok-kelompok radikal, kemudian membina secara intensif dengan penyadaran. Dengan pemahaman yang benar, nantinya akan timbul sikap yang toleran.

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, Machasin, juga menyatakan pembinaan lah yang menjadi harapan utama menyelesaikan masalah ini. Karena itu, Kementerian Agama sangat memerlukan penyuluh agama. "Ini agar toleransi agama menyebar," katanya.

Tentu saja, harapannya tak ada lagi konflik atas nama agama. Dan tak ada lagi orang yang mengungsi di negeri sendiri. (art)

Ilustrasi belanja online

7 Tips Belanja saat Harbolnas, Hemat dan Cerdas Tanpa Boros!

Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) selalu menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang, terutama pecinta belanja.

img_title
VIVA.co.id
11 Desember 2024