SOROT 322

Lewat Alam Mereka Belajar

anak-anak sekolah alam bogor
Sumber :
  • sekolahalambogor.com
VIVAnews -
Enam saung menyembul di antara rimbunan pohon-pohon yang berdiri kokoh di sebuah bidang di pinggiran kota Depok. Saung dua lantai yang cukup luas itu beratap rumbia, tidak berdinding, dan tanpa sekat. Di halaman saung terlihat sarana dan prasarana bermain anak. Sekilas tempat ini seperti taman wisata.


Namun jika melihat berbagai macam hasil prakarya, lukisan dan tulisan yang bergantung di berbagai sudut saung, niscaya orang akan berpikir ulang. Ya, saung ini merupakan bagian dari Sekolah Alam Indonesia (SAI) di Jalan Meruyung, Pancoran Mas, Kota Depok. Sekolah alternatif ini memang tidak seperti sekolah-sekolah pada umumnya, yang berlomba-lomba mendirikan bangunan kokoh nan megah. Namun meski bangunannya hanya terbuat dari material kayu, sekolah ini tidak mengurangi kebersahajaannya.


Saung bagi SAI bukan tempat mengungkung anak didik, karenanya bangunan itu dibuat sangat terbuka. Saung di sini merupakan tempat berkumpul. Benar-benar hanya untuk berkumpul. Karena tempat belajar yang sebenarnya bagi sekolah ini adalah alam raya. Di sini belajar tidak melulu harus membuka buku pelajaran dan murid mendengarkan guru bicara di dalam kelas. Belajar di sekolah ini bisa di mana saja, di lapangan, di sawah, bahkan di atas pohon. Metode pun dikemas sedemikian rupa dalam bentuk permainan.


Saat
VIVAnews
menyambangi sekolah ini, Kamis siang 11 Desember 2014, terlihat aktivitas ratusan anak mulai dari Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Menengah Pertama. Kepala SAI Meruyung, Ludfiono, menuturkan, sekolah memang menerapkan konsep bermain dalam ajar mengajar. Di sini, masing-masing kelas dihuni 22 murid. Mereka didampingi sepasang guru, laki-laki dan perempuan. Kedua guru ini merupakanĀ  pengganti sosok ayah dan ibu. Pendekatan ini dinilai efektif membentuk karakter anak.


"Contoh, ada murid-murid perempuan yang lebih nyaman jika mereka bercerita kepada sesama perempuan atau sosok ibu. Ini membuat mereka menjadi lebih terbuka," kata dia.


Selain metode mendekatan ala orangtua, di SAI, murid didik juga diperkenalkan langsung kepada alam sehingga tidak membuat mereka jenuh enam jam menimba ilmu di sekolah.


"Jadi pada dasarnya sama, yang membedakan metode pengajarannya saja. Jadi pertama, anak belajar langsung pada sumbernya. Alam atau apapun. Kita menyebut guru di sini fasilitator. Pada dasarnya belajar itu fitrah setiap manusia. Kita pakai nilai Islam. Bentuk kegiatannya akhlak, leadership dan kognitif," kata Ludfiono.


Ludfiono yang bergabung di sekolah alam sejak 2005 lalu menyebut sebetulnya, metode pengajaran di sekolah alam yang dikelolanya, mirip dengan kurikulum 2013 yang baru saja dicabut pelaksanaannya oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan. Baginya, kurikulum itu bukanlah produk baru. Sebab, sejak tahun 1998 lalu, sekolah alam sudah menerapkan metode yang menyerupai kurikulum itu. Dimana siswa diajak lebih aktif melalui pendidikan karakter yang tematik.


Kenapa Sekolah Alam


Pembentukan karakter yang dibangun sekolah alternatif, seperti sekolah alam, diakui Achmad Fauzie (44). Fotografer di sebuah media massa nasional ini memilih menyekolahkan anak-anaknya di sekolah alternatif. Bahkan satu dari tiga anaknya memilih
home schooling
setingkat SMA. Sedangkan dua anak lainnya menuntut ilmu di sekolah alam setingkat SMP.

BMKG Sebut Gelombang hingga 2,5 Meter Bakal Terjadi di Perairan Indonesia, Ini Lokasinya

"Anak saya yang
Mobil Listrik Vinfast Pakai Sistem Sewa Baterai, Segini Biayanya
home schooling
memang nggak mau belajar di sekolah formal. Dan, saya mendukung keinginannya tersebut," kata Fauzie.
Dominasi Skuad Timnas U-23 di Piala Asia, Menpora Dito Akan Terus Maksimalkan PPLP dan SKO


Sulungnya itu tertarik belajar desain pakaian dan bisnis. Sementara dua hal ini tidak dipelajari di sekolah formal setingkat SMA. Fauzie pun mendukung keinginan sang anak, Zahratul Fauziah. Sebab ia juga bisa terlibat langsung dalam proses belajar dan pengawasan sang anak. Remaja berusia 15 tahun yang biasa dipanggil Rara ini sudah berencana menghabiskan waktu selama dua tahun untuk belajar desain pakaian dan bisnis. Sedangkan di tahun ketiga, Rara akan menyiapkan diriĀ  menghadapi ujian kejar paket C untuk masuk jenjang perguruan tinggi.

"Saya tidak khawatir dia tidak kuliah. Dengan ijazah paket C setara SMA, dia bisa kuliah di perguruan tinggi mana pun yang dia inginkan," kata Fauzie.

Bukan hanya tidak takut anaknya tak kuliah, Fauzie juga tak khawatir si anak akan menjadi "kuper" alias kurang pergaulan. Rara di matanya cukup gaul. Dia bahkan ikut sejumlah les dan bergabung dengan komunitas yang mendukung proses belajarnya. Misalnya, komunitas public speaking untuk mengasah kemampuan bahasa asingnya. Sebagai orangtua ia bertekad memfasilitasi apapun kebutuhan si anak.

Rara kepada
VIVAnews
menuturkan, sengaja memilih sekolah di rumah karena ingin fokus dengan bidang yang akan digelutinya kelak di masa depan. Rara merasa memiliki potensi di bidang desain pakaian dan bisnis, sehingga ia ingin memaksimalkan potensinya tersebut. "Saya tidak akan bisa mendapatkan pembelajaran yang fokus sesuai dengan minat saya itu di sekolah formal," kata Rara yang sudah tertarik metode
home schooling
sejak di sekolah dasar.


Baginya sekolah formal tidak efektif. Sebab kalau hanya agar bisa kuliah di perguruan tinggi, ia bisa ikut ujian kejar paket C. Karenanya, ketimbang menghabiskan waktu tiga tahun di sekolah formal dan mengejar Ujian Nasional, ia memilih menghabiskan waktu dua tahun mengejar sesuatu yang memang benar-benar diminatinya.


"Di Indonesia, ijazah itu penting sekali. Tapi buat aku tidak. Yang penting aku berprestasi. Aku suka desain baju dan bisnis, dan itu tidak ada di sekolah formal kecuali les," kata Rara yang juga memilih belajar mandiri untuk pelajaran setingkat SMA.


Meski membiarkan si sulung memilih jalur
home schooling
, untuk dua anaknya yang lain, Tsalitsah Alifah Mustagforoh dan Itsna Sukma Sakinah, Fauzie memilihkan sekolah alam. Alasannya, ia ingin kedua anaknya yang kini duduk di kursi setingkat SMP itu memiliki karakter dan akhlak yang baik. Sekolah alam dinilainya mengajarkan karakter dan kemandirian. Hal yang tidak didapat di sekolah formal yang lebih mengajarkan unsur kognitif dan pengetahuan semata. Sekolah formal dianggapnya hanya mengajarkan nilai, dan tidak jarang murid didik melakukan segala cara untuk mendapatkan nilai yang bagus.


"Saya tidak menginginkan nilai anak saya bagus. Yang saya inginkan anak saya memiliki karakter bagus, berakhlak, mandiri dan bertanggung jawab. Saya tidak mendapatkan pendidikan karakter, moral, akhlak dan tanggung jawab di sekolah umum. Itu poin penting mengapa saya menyekolahkan anak saya di sekolah alam," katanya.


Di sekolah alam, kata dia, semua pembiayaan ditanggung bersama. Orangtua hanya membiayai aktivitas siswa. Bahkan seringkali siswa mencari dana sendiri saat akan melakukan kegiatan. Seringkali siswa mencari dana dengan berjualan untuk pergi ke suatu tempat, misalnya mengunjungi situs sejarah. Mereka ke sana untuk belajar sejarah, keilmuan sekaligus praktik. Guru hanya menfasilitasi anak-anak didiknya yang hendak mencari dana untuk kegiatan tersebut. "Dengan cara itu anak-anak di sekolah alam juga dididik untuk mandiri," kata dia.Ā Ā Ā Ā  Ā 


Orangtua lain yang memilih alam sebagai ajang belajar buah hatinya adalah Inayatur Rahmania. Ina menyekolahkan Nayla Rizki Mufidah di sekolah Harmoni Alam. Nayla kini duduk di kelas 4. Bukan tanpa alasan kalau dosen di sebuah perguruan tinggi ini memilih sekolah alam untuk Nayla.


Kepada
VIVAnews
, Ina menceritakan pengalaman sang buah hati yang sempat mengikuti tes di sebuah Sekolah Dasar Islam Terpadu. Tes yang dilaksanakan dari pagi hingga sore hari itu membuat anaknya stres. Ia pun memilih alternatif lain, sekolah alam, yang tidak ada tes masuk sama sekali karena sekolah sudah siap mendidik anak dalam kondisi apapun.


Kurikulum sekolah alam dianggapnya unik karena anak belajar langsung dari alam dengan proses yang menyenangkan.Ā  Sehingga anak tidak sadar bahwa sebenarnya dia sedang belajar. "Saya juga tertarik dengan guru-guru pengajarnya. Terasa sekalu ruh pendidik mereka. Belum pernah saya melihat murid begitu akrab dengan guru seperti dengan orangtua mereka sendiri," kata dia.


Pilihan Ina terbukti positif untuk perkembangan emosi dan karakter anaknya. Baginya, nilai dalam raport bukanlah hasil akhir yang dapat dibanggakan dari seorang anak, tetapi justru kematangan pribadinya dan karakter yang kuat sehingga mampu survive di lingkungannya. Ina mencontohkan bagaimana Nayla mampu mengatasi masalah ketika mengalami konflik dengan teman-temannya, dan mampu berkomunikasi terhadap orang yang baru dikenal, serta mampu mensyukuri semua nikmat yang didapat.


Di sekolah sang anak, Ina menuturkan, ada kurikulum tidak biasa, yakni kurikulum 'aqil baligh'. DalamĀ  alquran, Allah selalu menyandarkan kalimat aqil setelah baligh, yang artinya seharusnya seorang anak sudah mampu memilih mana yang baik dan buruk (aqil) setelah dia memasuki usia baligh.


"Jadi orientasinya mendidik anak menjadi aqil dalam pendidikan 9 tahun, sehingga ketika baligh nanti mereka bisa mandiri dan bertanggung jawab pada diri mereka," katanya.


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya