SOROT 333

Cuaca Makin Ekstrem, Bencana Kian Sering

Ilustrasi/Pemotor melintasi banjir Jakarta
Sumber :
  • REUTERS/Darren Whiteside

VIVA.co.id - Wajah Sri Wahyuni tampak datar. Dia melihat dengan tenang banjir yang mengitari rumahnya di Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara. Kadang, tak ada hujan pun, air menggenang di jalanan dekat rumahnya. Dia sudah pasrah banjir menjadi teman hidup di kampung yang berbatasan dengan Teluk Jakarta itu.

Warga di kelurahannya sebenarnya belum pasrah. Bersama-sama mereka mengadakan pompa air untuk menyedot air keluar dari kelurahan mereka, dikirimkan ke kali terdekat. Namun jika sudah disatroni hujan, pompa air pun tak berguna banyak. Paling tidak, air semata kaki menimpa perumahan mereka.

"Sejak saya kecil, tahun 70-an sudah (kena) banjir,” kata Sri. “Di sini daerahnya rendah, dekat laut, kalau nemuin banjir itu tiap hari tergenang walau sedikit-sedikit, dulu setiap hari banjirnya segini," kata Sri kepada VIVA.co.id.

Salim, Ketua RT 5 RW 8, Kelurahan Penjaringan, mengatakan fenomena rob di Penjaringan salah satunya akibat tak adanya daerah resapan. Dulu ada daerah resepan, namun karena kepentingan bisnis, area itu akhirnya disulap jadi sentra bisnis hingga kini.

Kemudian, drainase yang buruk, kali yang tak pernah dikeruk, proses daur air pun mandek. Air dari selatan Jakarta bertumpuk di Penjaringan.

Belasan Basis Militer AS Bisa Lenyap Akibat Perubahan Iklim

 

Pengerukan Waduk Pluit
Bencana Perubahan Iklim Akan Berlangsung 10 Ribu Tahun
Pengerukan waduk Pluit di Jakarta Utara.

Riau Kembali Alami Musim Kemarau
Situasi agak membaik di Penjaringan ini setelah Joko Widodo menjadi Gubernur Jakarta. Rehabilitasi Waduk Pluit, pengerukan kali dan revitalisasi tanggul yang disertai penambahan pompa air mengurangi fenomena rob atau limpahan air laut. Kini, kata Sri, air rob tak seganas seperti beberapa tahun lalu yang bisa berlangsung setiap saat.

"Sekarang sih kalau musim hujan aja,” kata Sri. “Tapi kalau musim banjir bisa berhari-hari,” katanya.

Cuaca Makin Ekstrem
Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, menjelaskan bencana alam yang terjadi di Indonesia memang sebagian besar terkait dengan perubahan iklim. Salah satu tandanya adalah, musim hujan yang tidak lagi teratur.

Data BNPB mencatat perubahan iklim memang telah membawa dampak pada meningkatnya bencana hidrometeorologi di Indonesia. Hampir sekitar 91 persen bencana-bencana di Indonesia dari tahun 1825-2014 adalah bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, kekeringan, puting beliung, kebakaran hutan dan lahan, serta cuaca ekstrem.

"Dengan berubahnya iklim maka bencana-bencana tersebut akan meningkat," kata Sutopo, kepada VIVA.co.id, Kamis 27 Februari 2015.

Bencana di Jakarta dan sekitarnya, kata Sutopo, juga didominasi dampak dari perubahan pola hujan yang intensitasnya makin tinggi. Tahun 2013, 2014 dan 2015, curah hujan harian di Jakarta mencapai lebih dari 350 mm per hari.

Curah hujan itu setara dengan angka curah dua atau tiga minggu rata-rata Indonesia. Artinya, di Jakarta, hujan tiga minggu dijatuhkan dalam sehari. Masuk akal jika banjir kerap terjadi di Jakarta.

Tapi Sutopo buru-buru menambahkan, faktor utama banjir di Jakarta bukan hanya curah hujan. "Faktor utama banjir Jakarta lebih disebabkan oleh ulah manusia seperti permukiman di bantaran sungai, tata ruang yang buruk, degradasi lingkungan, sampah dan lainnya.”

Sinyal perubahan iklim memang bisa dilihat dari perubahan cuaca yang tergolong esktrem. Perubahan ini bisa dilihat dari masa musim yang lebih panjang maupun lebih pendek dibandingkan waktu yang sama puluhan tahun lalu. Suhu udara rata-rata juga meningkat.

Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Iskandar Zulkarnain, mengatakan sinyal perubahan iklim yaitu adanya curah hujan ekstrem atau iklim ekstrem. Kondisi ini misalnya musim panas terlalu panjang, sementara jika musim hujan maka curahnya ekstrem.

Zulkarnain berteori, bencana banjir yang melanda Indonesia bisa saja didorong dampak perubahan iklim. Misalnya, kata dia, suatu daerah tidak pernah banjir, kemudian tiba-tiba dilanda banjir. Curah hujan yang ekstrem bisa memicu banjir karena saluran air baik itu sungai, kanal, drainase, tak cukup memadai menampung curah yang lebih banyak.

"Artinya, bencana-bencana iklim sangat erat dengan perubahan iklim ini," ujar Zulkarnain saat dihubungi melalui telepon.
Para pengunjuk rasa membawa spanduk dalam demonstrasi perubahan iklim

Atasi Krisis Energi Harus dengan Kerja Lintas Sektoral

Ego sektoral masih menjadi problem bagi pemerintah daerah

img_title
VIVA.co.id
3 Agustus 2016